Quantcast
Channel: Qureta - Perempuan
Viewing all 72 articles
Browse latest View live

Barbie dan Ketidakpekaan Ras

$
0
0
Foto: pixabay.com

Pada bagian ini saya mau mulai dengan pertanyaan lain, “Apakah Barbie sungguh-sungguh merepresentasikan perempuan dari berbagai kalangan, ras, suku, kelas, dan golongan? Apakah Barbie merupakan simbol untuk perempuan secara umum?”

Pertanyaan tersebut muncul karena Barbie merupakan simbol yang terbuka untuk berbagai pemaknaan yang kadang saling bertentangan. Pemaknaan ini juga turut memperluas wilayah makna simbol ini, dan dengan demikian juga cakupan massa (dalam hal ini perempuan) yang disimbolkan olehnya.

Boneka Barbie tidak hanya dijadikan teman bermain, tapi juga koleksi bagi para penggilanya. Beberapa kolektor Barbie cenderung memilih Barbie edisi khusus, seperti Barbie Afro-American dalam edisi “Barbie Seri Dunia.” Namun sayangnya, boneka-boneka Barbie didominasi oleh Barbie kulit putih. Seperti ada perjanjian tidak tertulis bahwa Barbie yang diterima masyarakat luas adalah Barbie versi kulit putih.

Barbie versi “kulit berwarna” dianggap sebagai yang lain, yang diperlakukan sebagai sesuatu yang berbeda atau bahkan eksotis. Bagi kolektor Barbie, hal ini disayangkan karena Barbie versi “kulit berwarna” tersebut menjadi sangat jarang ditampilkan.

Walaupun ada beberapa Barbie versi “kulit berwarna”, namun sayangnya Mattel Inc. tidak menggambarkannya secara realistis. Hampir semua Barbie versi “kulit berwarna” ditampilkan dengan menggunakan tolok ukur Barbie kulit putih (MFR, hlm. 73-74).

Kondisi demikian seolah-olah merefleksikan adanya hierarki rasial dan etnik bahwa kulit putih dipahami sebagai yang lebih tinggi dan lebih menarik daripada kulit berwarna. Barbie membawa pesan tersebut dengan sangat jelas. Boneka-boneka versi “kulit berwarna” terlihat seperti peniru Barbie.

Boneka Afro-American Barbie digambarkan memiliki kulit hitam yang terlihat seperti “Barbie kulit putih yang dicat warna hitam” dan rambut yang sangat lurus seperti rambut pirang Barbie. Mattel mengeluarkan berbagai produk Barbie Afro-American atau Barbie Hispanik untuk merefleksikan keragaman budaya yang mereka wakili (MFR, hlm. 75-76).

Namun sayangnya, hanya sedikit kesempatan untuk membentuk citra boneka-boneka tersebut sebagaimana aslinya. Barbie cenderung membuat “gayanya” sendiri dalam merepresentasikan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Dengan demikian, Mattel terlihat seperti sedang mempromosikan pemikiran-pemikiran yang sempit dan stereotipikal mengenai beragamnya identitas rasial dan etnis (MFR, hlm. 79).

Pada tahun 1997, muncul film Barbie yang terbaru berjudul Barbie: Who’s The Boss? yang menceritakan tentang kehidupan sosial Barbie dan keponakannya Kate. Pada satu bagian cerita, diceritakan Barbie sedang menjemput Kate dan mengajaknya untuk makan siang.

Dalam adegan itu, para penonton dapat melihat keberadaan lima gadis lain di sekitar Barbie dan Kate. Salah satunya adalah gadis berkulit coklat dengan penampilan seperti gadis Afro-American yang mengenakan baju berwarna kuning cerah dan sepatu kets biru.

Empat gadis lainnya terlihat seperti gadis Asian-American atau gadis Hispanic-American dengan baju berwarna merah muda dan rambut berwarna hitam. Kate, keponakan Barbie, digambarkan sebagai juru bicara Everyone Plays Club dengan rambut pirang yang dikuncir kuda dan mata biru besar seperti Barbie, dan tentunya berkulit putih.

Dalam adegan itu, muncul seorang gadis yang mengganggu kesenangan kelima gadis di sekitar Barbie dan Kate dengan cara memerintah mereka untuk melakukan ini dan itu. Kelima gadis yang tidak terima kesenangannya diganggu memberikan perlawanan sehingga menimbulkan keributan kecil di antara mereka.

Pada akhir cerita, ditunjukkan bahwa Barbie mampu menyelesaikan masalah dengan menyarankan agar gadis-gadis itu menuliskan keinginan mereka pada secarik kertas lalu meletakkan kertas itu dalam sebuah topi—dalam adegan itu, Kate digambarkan memakai topi baseball—dan mengambilnya kembali, secara acak.

Melalui potongan adegan itu, digambarkan bahwa Barbie mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Adegan tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa kulit putih mampu mendominasi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Jika melihat keseluruhan karakter, mayoritas karakter adalah kulit putih dan hanya lima gadis di restoran itu saja yang bukan kulit putih.

Sekalipun Barbie bersifat multikultural, namun Barbie tetap mencerminkan gambaran perempuan kulit putih. Hal ini yang membuat sifat multikultural Barbie menjadi terlihat tidak konsisten (MFR, hlm. 82). Rogers, mengutip M.G Lord, menyatakan bahwa Barbie hadir untuk mewakili pandangan perempuan yang menentang batas-batas nasionalitas, etnik, dan regional.

Hal ini disebabkan oleh tolok ukur yang digunakan adalah Barbie berkulit putih, tanpa mengindahkan keragaman perempuan dari berbagai etnis dan ras. Bahkan diyakini bahwa Barbie—yang berkulit putih itu—mampu menjadi kulit hitam dengan menggunakan identitas kulit putihnya (MFR, hlm. 83).

*****

Barbie muncul pertama kali di pasaran pada 1959, tidak lama setelah gerakan perjuangan hak-hak asasi manusia ras Afro-American mendapat kemenangan pertama. Empat tahun setelah kemunculan Barbie di pasaran Amerika, tepatnya pada 1963, gerakan feminisme gelombang kedua pun lahir. Dalam ranah budaya yang seperti inilah Barbie melangkah.

Barbie adalah seorang perempuan kulit putih, berpenghasilan menengah, pekerja kantoran, dewasa muda yang tengah menyatakan banyak hal tentang apa yang sedang terjadi dalam masyarakat Amerika saat itu. Barbie merefleksikan seberapa jauh persoalan gender, ras, dan berbagai realitas sosial lainnya ada dalam pikiran kebanyakan orang selama tahun 1950-1960-an.

Secara disengaja atau tidak, citra Barbie yang selalu muda (dewasa muda) dan tidak pernah tua mementahkan persoalan diskriminasi karena usia (ageism) yang menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh feminis multikultural.

Diskriminasi karena usia ini berhubungan dengan pembentukan jati diri yang menjelaskan krisis identitas dalam hidup seseorang. Lihat Rosemarie Putnam-Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, (USA: West Views Press, 2009), hlm. 201-202.

Walaupun demikian, Barbie yang muncul tidak lama sebelum pergerakan feminis gelombang kedua muncul, mendapatkan pengaruhnya. Barbie lebih sering menampilkan dirinya sebagai perempuan kulit putih, kelas menengah, dengan kualitas melebihi ras lain. Seolah-olah melupakan aspek kultural yang membentuk pribadi setiap perempuan, sehingga menjadi demikian berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Sebelum terlalu jauh, saya akan ambil satu contoh kasus. Salah satu distributor boneka ini adalah Wal-Mart yang menjual Barbie kulit putih seharga US$5.99, sedangkan untuk Barbie berkulit hitam seharga US$2.99. Hal ini dilakukan secara sengaja karena penjualan Barbie kulit hitam tidak setinggi penjualan Barbie kulit putih.

Hal ini kemudian menimbulkan protes dari pihak perempuan Afro-American karena dianggap sebagai bentuk pelecehan. Di samping itu, pada foto di kotak boneka edisi Barbie-Teresa digambarkan, Barbie berada di depan Teresa si boneka Hispanik dan secara simbolis Barbie terlihat lebih mengungguli Teresa.

Jika dikaitkan dengan kajian feminis multikulturalis dalam menghadapi permasalah perempuan dari berbagai ras yang berbeda, akan diketahui bahwa masalah berasal dari tekanan yang diberikan secara sistematis kepada perempuan-perempuan bukan kulit putih. Tekanan yang mereka alami terbagi dalam tiga bagian yang saling berkaitan.

Pertama dalam bidang ekonomi, terutama pada pembedaan lingkup bidang pekerjaan. Dalam bukunya yang telah disebutkan di atas, Putnam-Tong menggunakan kata Ghettoization yang berarti cara hidup dan cara bekerja yang dipisah-pisahkan yang dihasilkan oleh stereotip tertentu atau dari paham-paham yang bias.

Kedua dalam bidang politik, penolakan atas hak-hak dan keistimewaan untuk perempuan Afro-American sebagaimana yang bisa dirasakan oleh laki-laki dan perempuan kulit putih, terutama soal hak mendapatkan pendidikan.

Tekanan ketiga dalam bidang ideologi, yang menurut Putnam-Tong, membatasi kebebasan perempuan kulit hitam melalui pencitraan tertentu terhadap perempuan kulit hitam, yang dapat digunakan sebagai pembenaran atas sikap (tidak menyenangkan) laki-laki dan perempuan kulit putih atas mereka.

Jika boleh saya membandingkan kasus yang dipaparkan oleh Rogers dengan teori Putnam-Tong, ada kesan bahwa diskriminasi terhadap perempuan kulit berwarna, datang dari hierarki rasial tertentu yang diterima begitu saja oleh masyarakat. Citra Barbie kulit putih yang terlihat lebih segar, lebih bersih, dan lebih anggun, diterima begitu saja oleh konsumen Barbie.

Jika masalah hierarki rasial pada kehidupan nyata berbentuk pembatasan kebebasan, maka hierarki rasial dalam dunia Barbie terlihat dalam “teman-teman Barbie.” Boneka-boneka kulit berwarna yang tidak pernah digambarkan mengungguli Barbie.

Peran boneka-boneka kulit berwarna tersebut tidak lain sebagai perantara kesuksesan Barbie (MFR, hlm. 81). Tidak ada boneka kulit berwarna yang dapat menggantikan posisi Barbie, mereka hanya bisa berada di posisi sebagai teman Barbie.

Namun, terlepas dari itu semua, sebagai simbol perempuan yang menentang batas-batas kebudayaan, Barbie merupakan simbol yang tepat karena Barbie tidak terpengaruh dengan kebudayaan patriarkat yang terkesan membatasi perempuan dan femininitasnya. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai film Barbie yang tidak pernah menggambarkan bahwa Barbie menjadikan orang lain, terutama laki-laki, di titik pusat kehidupan pribadinya.

Maria Brigita Blessty

Project Manager at Qureta | Philosophy reader

Barbie dan Ketidakpekaan Ras

Seri Sejarah Barbie (3)

Zinah dan Nafsu Berkuasa

$
0
0
pixabay.com

Ketika saya pacaran pertama kali, bapak saya menggunting beberapa artikel dari koran tentang apa yang terjadi pada perempuan yang melakukan extramarital sex. Dia juga menasehati tentang bagaimana laki-laki memandang perempuan yang mau bersetubuh dengannya tanpa menikah. Bagaimana laki-laki itu akan merendahkan dan tidak menghormati perempuan itu. 

Saya percaya 250 persen pada bapak saya, bukan karena guntingan koran yang nggak jelas kebenarannya tapi karena bapak saya adalah pelaku. Bapak saya pernah bercerita bahwa ia benci terpaksa menikah dengan ibu karena ibu hamil saya. Jadi kesimpulannya dia tidak senang dengan pernikahannya dan menyesali saya harus ada karena extramarital sex yang dia lakukan. Bapak saya juga bukan cuma sekali dua kali selingkuh. Thanks to him (and many other men) saya jadi percaya bahwa perempuan hanyalah segumpal daging pemuas nafsu bagi laki-laki.

Ketika saya masih lugu dan percaya bahwa guru itu jujur dan hanya menginginkan kebenaran bagi siswanya, dosen agama saya mengatakan bahwa zinah adalah ketika partner kita adalah segumpal daging pemuas napsu entah dalam pernikahan atau tidak. Untuk selanjutnya, ini definisi zinah yang saya pakai dalam tulisan ini. Dan bukankah zinah itu dosa?

Ketika saya menghadapi pengalaman seksual saya yang pertama, saya merasa kacau. Dan berdosa. Pacar saya (waktu itu) memang memuaskan saya. Saya juga tidak menganggap hubungan kami berdua itu hubungan yang suci dan Tuhan menginginkannya, saya bahkan tidak berpikir tentang Tuhan ketika melakukannya. Meski saya menghormati sepenuhnya pacar saya itu sebagai manusia bebas dan saya yakin dia juga menghormati saya.

Manusia sering begitu sombong menganggap dirinya lebih mulia dari semua makhluk lain, terutama binatang. Kita sering mengatakan seseorang "kelakuannya seperti binatang" hanya karena ia mengikuti instingnya yang tidak merugikan siapapun tapi bertentangan dengan norma dan kenyamanan "bersama". Mengapa kita begitu "gatel" mengurusi dan mengatur urusan privat orang lain?

Padahal kita hanya sedikit lebih beruntung dari hewan dengan tidak serta merta "berkembang biak dan memenuhi bumi dengan keturunan" kita. Kita bisa pakai kontrasepsi atau membungkusnya dalam institusi dulu sebelum memenuhi bumi lalu merasa lebih suci dan mengikuti perintah Tuhan karenanya.

Binatang yang kita tuduh hanya bisa mengikuti nafsu yang tidak suci itu, setahu saya tidak ada yang obesitas. Mereka tahu kapan merasa puas dan cukup. Kita tidak. Puas dan cukup sangat sulit kita pahami. Kabar yang lain, tak ada satupun binatang yang berhasil memenuhi muka bumi dan menggusur makhluk yang lain seperti manusia. Beberapa binatang bahkan punah karena manusia yang "lebih mulia". 

Jadi, begitu salahkah nafsu sehingga jadi awal segala penderitaan - dukkha? Seperti kata Sang Budha. Begitu nistakah seks sampai Maria-ibu Yesus harus tetap perawan ketika hamil Yesus, melahirkannya, bahkan selamanya? Meski ia punya suami yang sah. Begitu penting untuk menjauhkan simbol kesucian dari seks. 

Bila seks begitu buruk mengapa Tuhan meminta kita berkembang biak dan seks adalah cara melaksanakan perintah itu? Bila seks begitu dekat dengan dosa dan neraka, mengapa dari perkosaan Tuhan tetap bisa meniupkan kehidupan? Padahal dosa dan neraka adalah kematian abadi?

Adakah diantara kita yang bisa melihat partnernya melulu suci? Dan tetap bisa memenuhi bumi dengan keturunan? Yang di setiap intercoursenya siap untuk membesarkan satu anak lagi karena anak adalah anugerah Tuhan?

Apakah kita perlu merasa mulia dengan menuduh makhluk lain tidak suci? Begitu inginkah kita menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh bagi orang lain juga makhluk lain? Bahkan menentukan dosa orang lain. Kita jadi lebih tuhan dari Tuhan dan menjadi hakim bagiNya.

Dan yang lebih sedih, perempuan yang lebih sering jadi bulan-bulanan penghakiman itu. Bukankah PSK lebih disingkirkan dan dianggap sampah masyarakat dibanding pengunjungnya? Bukankah istri simpanan yang dianggap perusak rumah tangga orang lain dan bukan si suami yang memang tidak pernah ingin setia? Bukankah perempuan yang dipandang hina ketika tidak perawan saat menikah dan laki-laki dianggap penakluk yang hebat?

Ataukah karena seks begitu nikmat sehingga kita ingin menguasainya? Seperti juga dengan semua kekayaan lain di dunia ini? Begitu manusia menginginkan sesuatu, manusia segera menemukan cara untuk menginstitusikannya agar bisa dikuasai. Sehingga manusia lain harus mengakui kekuasaan tersebut.

Ingat harta, tahta, wanita? Seks (salah satu yang diwakili oleh kata wanita) adalah kepunyaan, kekayaan, dan kekuasaan. Semakin kaya dan berkuasa seorang laki-laki, semakin banyak istrinya (atau simpanannya) dalam "harem".

Dengan menguasai seks dan mengatur seks, menguasai orang lain menjadi lebih gampang karena seksualitas tak terpisahkankan dari kemanusiaan. Ini juga mengapa para feminis mengatakan perkosaan adalah masalah kekuasaan. Dengan memperkosa pelaku tanpa banyak kata-kata menekankan bahwa laki-laki yang lebih kuat, lebih berkuasa dan karenanya perempuan harus menjadi obyek, tinggal di rumah, dan menuruti kata laki-laki. 

Saya jadi kasihan pada Tuhan. Begitu seringnya Ia dijadikan "kaki tangan" manusia yang ingin menguasai sesamanya. Dosa diobral sebegitu murahnya dan Tuhan jadi monsternya.

Saya yakin tidak pernah ada yang memberi pesan pacar pertama saya itu seperti yang saya terima. Saya pacar pertamanya juga. Tapi apakah ada yang mengatakan padanya "Hati-hati, perempuan akan melihatmu rendah bila kamu tidak perjaka!". Setahu saya sih, adik laki-laki saya tidak pernah dapat pesan itu dari bapak saya.

#LombaEsaiKemanusiaan

Benedicta Herlina

Konselor perempuan dan anak | Suka belajar, suka bekerja, suka makan | Twitter: @b_herlina

Zinah dan Nafsu Berkuasa

Pelecehan Seksual: Korban Atau Pelaku

$
0
0

Pelecehan seksual merupakan salah satu permasalahan yang masih hangat dibicarakan di Indonesia, terutama sejak kasus pemerkosaan siswi SMP di Bengkulu. Menurut Catatan Tahunan 2016 Komnas Perempuan, dari kasus kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual mencapai hingga 166 kasus. Angka itu pun, saya yakin hanya sebagian kecil dari pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.

Saya telah membaca berbagai opini yang tersebar di berbagai media sosial mengenai pelecehan seksual, yaitu dimana hampir seluruhnya memperdebatkan siapa yang menyebabkan munculnya kasus pelecehan seksual; pelaku atau korban. Sebagian pendapat menyatakan bahwa korban yang salah, karena mengenakan pakaian yang terbuka. Sedangkan sebagian pendapat lainnya menyatakan bahwa pelaku yang salah, karena tidak bisa mengendalikan nafsunya sendiri.

Mengenai pendapat bahwa korban bersalah karena mengenakan pakaian yang terbuka, sebenarnya saya setuju, namun hal tersebut kurang valid karena saya sendiri pernah mengalaminya. Suatu malam, saya berjalan kaki di jalan gelap yang agak sepi.

Sebenarnya di ujung jalan cukup ramai dengan anak-anak muda yang berlatih skateboard dan modern dance, namun keberadaan mereka tidak membuat seorang pria paruh baya yang melalui jalan tersebut mengurungkan niatnya. Ia mengarahkan motornya menuju saya, memperlambat kecepatannya, kemudian memegang dada saya, lalu berlalu begitu saja. Perlu diketahui, saat itu saya mengenakan celana panjang longgar berwarna hitam serta jas almamater universitas yang kaku dan tebal, untungnya.

Mengenai pendapat bahwa pelaku bersalah karena tidak dapat mengendalikan nafsunya, saya juga setuju. Ketika seseorang mengenakan pakaian terbuka, tentu saja tidak serta merta seseorang boleh menontonnya lama, terlebih memegangnya.

Sama halnya dengan ketika seseorang memarkir motor di pinggir jalan, bukan berarti siapapun boleh mengambilnya. Sebenarnya, seseorang pelaku pelecehan seksual bukannya tanpa sebab melakukan hal tersebut. Salah satu penyebabnya adalah terlalu banyak ‘mengkonsumsi’ konten porno.

Sosialisasi, demonstrasi, atau gerakan apapun mengenai pornografi di Indonesia telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, pemblokiran situs-situs yang menyediakan konten porno. Pengguna internet saat ini tidak sebodoh itu, mereka dapat memanfaatkan proxy atau Virtual Private Network yang memungkinkan mereka untuk tetap dapat mengakses situs-situs yang telah diblokir.

Menurut saya hal tersebut jelas tidak efektif, dan tidak akan pernah efektif. Kecanduan konten porno bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk dihentikan. Tidak cukup sekadar dengan pemblokiran situs atau sosialisasi yang dilakukan sekian tahun sekali, namun diperlukan suatu tindakan rehabilitasi.

Pada salah satu situs Porn Addiction Rehab Center, disebutkan bahwa pengobatan terhadap pecandu pornografi dilakukan selama 30, 60, hingga 90 hari atau lebih. Sayangnya, candu pornografi belum dikaji secara serius di Negara Indonesia. Hal tersebut terlihat pada minimnya tindakan rehabilitasi untuk pecandu pornografi, terlebih jika dibandingkan dengan rehabilitasi untuk pecandu narkoba. Padahal, menurut saya pecandu pornografi jauh lebih menyeramkan dan jauh lebih berpotensi untuk menghancurkan generasi bangsa.

Salah seorang teman perempuan saya pernah naik motor sendiri, malam-malam. Sebelum ia berangkat, saya sudah menasehatinya untuk memindahkan tas selempangnya dari samping ke depan, namun ia tidak melakukannya. Esoknya, saya mendapat kabar bahwa ia kecopetan.

Apakah saya kesal dengan pencopetnya? Ya, tentu saja. Tapi, saya juga kesal pada teman saya. Kalau ada hal kecil yang setidaknya bisa mengurangi kemungkinan untuk kecopetan, kenapa tidak ia lakukan? Saya menggunakan perumpamaan tersebut terhadap kasus pelecehan seksual.

Saya memang menyetujui opini bahwa pelaku pelecehan seksual bersalah karena tidak mampu mengendalikan nafsunya sendiri, namun apakah wanita, sebagai pihak yang paling sering mengalami pelecehan, lantas hanya “menunggu” para pelaku untuk sembuh dari kecanduan pornografi sehingga berhenti melakukan pelecehan seksual begitu saja?

Saya rasa, hentikan saja perdebatan mengenai pihak yang memulai terjadinya pelecehan seksual. Mari memandangnya lebih pada cara mencegahnya. Sebab, kita tidak bisa berharap pada seorang penjahat, bukan?
Mengenai kasus pelecehan seksual yang menimpa saya, saya bersyukur.

Saya membayangkan apabila saat itu saya mengenakan kaos yang terbuka lebar di bagian dada, maka mungkin tangan pelaku akan langsung mengenai kulit saya, dan hal tersebut akan menyebabkan trauma yang lebih dalam. Maksud kalimat saya bukan untuk membatasi kaum wanita untuk berpakaian, karena saya tahu hal tersebut merupakan salah satu cara wanita untuk mengekspresikan diri.

Saya hanya menghimbau agar wanita menggunakan pakaian yang sesuai dengan waktu, tempat, dan kebiasaan di tempat tersebut. Sebagai contoh, apabila menggunakan bikini di Pantai Kuta di Bali, maka sah-sah saja, karena akan membaur dengan turis-turis asing di sana dan memang juga banyak orang-orang Indonesia yang berpakaian seperti itu.

Namun, jika berpakaian yang sama dan pergi ke Pantai Kenjeran di Surabaya, maka bersiap-siaplah untuk mendapatkan pelecehan seksual secara verbal, karena memang hal tersebut tidak wajar bagi masyarakat di sana.
Tidak perlu membanding-bandingkan dengan negara lain yang masyarakatnya memberikan kebebasan setiap orang untuk berpakaian, di manapun, bagaimanapun.

Kita tidak bisa memaksakan Negara Indonesia untuk memiliki standar norma yang sama dengan negara barat. Kita hidup di Negara Indonesia, maka sesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di negara ini.

Jika terdapat skeptis dengan membandingkan keadaan masyarakat Indonesia di masa lampau atau dengan keadaan masyarakat suku pedalaman yang dimanapun dan kapanpun menggunakan pakaian terbuka, maka sekali lagi saya sebutkan; gunakan pakaian yang sesuai dengan waktu, tempat, dan kebiasaan di tempat tersebut.

Jika ingin sebebas mereka, maka pergilah ke masa lampau dengan mesin waktu dan hiduplah di sana, atau pergilah ke daerah pedalaman dan sampaikan keinginan untuk bergabung dengan mereka.

#LombaEsaiKemanusiaan

Sarah Qodriyani

Poet, blogger

Pelecehan Seksual: Korban Atau Pelaku

Pria Nakal itu Tidak Merasa Bersalah

$
0
0
Google Image

Setiap mendengar opini para feminis menyikapi kasus pelecehan seksual, ada perasaan menggelitik dalam hati. Hemat saya, opini para feminis yang bisa diartikan: wanita bebas telanjang tanpa boleh dilecehkan, terdengar terlalu utopis. Itu seperti kisah Kerajaan Sima kuno di mana emas yang jatuh di jalanan tidak ada yang berani yang megambil selain para pemiliknya. Mungkinkah?

Saya dibesarkan oleh keluarga baik-baik dengan lingkungan yang juga baik-baik, tidak merokok apalagi mabok. Tapi jalan hidup membuat saya berkenalan dengan para "lelaki nakal", mendengar cerita mereka yang terdengar kriminal tanpa mereka merasa bersalah. Kusimpulkan bahwa: mereka tidak merasa bersalah karena mereka berbuat nakal pada wanita yang "pantas dinakali". Sebelum kamu protes, dengarkan beberapa kisah ini.

Beberapa tahun lalu saya sempat merantau dan bekerja di perkebunan akasia. Para pekerja di sana mayoritas punya hobi di saat senggang mereka: menelepon janda. Mereka ini dengan usia beragam, ada pria dewasa yang sudah menikah hingga remaja tanggung. Sebagai hiburan, kata mereka. Dan salah satu kesenangan mereka adalah adalah memalak pulsa. Terdengar sebagai kriminalitas ringan. Tapi dari sini terlihat pola pikir mereka: janda boleh diperlakukan seperti itu.

Cerita berikutnya. Ada pria yang membuatku tertarik. Penampilannya terlihat tampan, muda dan smart. Orang baik-baik, pikirku. Hingga dia bercerita yang membuatku terhenyak. Pada suatu ketika dia suka pada seorang gadis tapi ditolak. Dia pun berpikir, apakah karena tunggangannya cuma motor butut?

Lalu dia mengambil tabungannya, menyewa mobil, mengajak gadis itu jalan, dan diterima. Rupanya gadis itu dibawa ke hotel, dijual. Uangnya cukup untuk membayar sewa mobil dan foya-foya, katanya. Saat gadis itu sambil menangis protes kepadanya, "kok kamu tega?", dan dijawab ringan "cewek matre kayak kamu pantas diperlakukan seperti ini".

Cerita selanjutnya, saya pulang kampung dan bekerja di gudang. Rekan kerja saya punya hobi sama seperti yang dulu, menelepon janda. Teman punya cerita sedih, saat remaja cinta pertamanya ditolak. Sejak itu dia suka mabok-mabokan dan "memetik bunga". Tapi bukankah selama dilakukan suka sama suka bukanlah tindak kriminal? Hanya saja sebelum keluar kerja, dia nyerempet-nyerempet bahaya. Bermain dengan istri orang.

Lalu kisah lain. Bahwa ada kimcil yang dijual saudaranya. Dia butuh uang untuk bayar SPP karena uang itu habis untuk bersenang-senang. Ada lagi yang bercerita tentang bisyar yang bikin keki, lalu dipakai, bajunya diambil, dan ditinggalkan telanjang.

Moral of story, pria-pria ini tidak merasa bersalah karena mereka merasa kalau perempuan itu pantas diperlakukan seperti itu. Para perempuan bisa menyalahkan mereka, atau belajar menjaga diri.

Aminudin Aziz

Manusia random. Mengamati sebagai hobi

Pria Nakal itu Tidak Merasa Bersalah

Feminisme Semu

$
0
0
Kiri: Laksamana Madya Kathryn Janeway, USS Voyager (NCC-74656), Starfleet Command.

Tiga tahun yang silam, nenek saya meninggal dunia empat bulan setelah ulang tahunnya yang ke-100. Beliau telah mengisi lembaran-lembaran kehidupannya dengan tinta emas yang tak lekang dimakan zaman.

Ia berasal dari keluarga yang terpandang di masanya, dan dalam nadinya mengalir darah Kesultanan Mataram nan biru. Jangan tanya saya bagaimana orang tuanya bisa menjadi pengikut Kristus. Mungkin hasil konspirasi Dr. Snouck Hurgronje dengan kaum Illuminati dari Planet Nibiru.

Ia berkeras berjalan kaki sendiri ke sekolah, karena takut dicap orang kaya yang sombong oleh teman-temannya. Belakangan saya baru tahu kalau ia pernah mengatai tetangganya yang sok ningrat dengan makian Jawa yang tidak pantas saya tuliskan di sini.

Setelah lulus sekolah menengah, ia menjadi pegawai bank dan bisa mengendarai mobil. Kedengaran wajar? Sekedar informasi: tahunnya adalah 1930. Jadi bisa dibayangkan betapa anehnya di masa kolonial ada perempuan Jawa, belum menikah, bekerja di bank dan mengendarai mobil. (Dengan transmisi manual, starter engkol dan karburator.)

Ia menikah dengan kakek saya tak lama kemudian. Dibutuhkan sepuluh anak, penjajahan Kekaisaran Jepang, Proklamasi, perang kemerdekaan, tiga perjanjian dan satu konferensi dengan Kerajaan Belanda sebelum akhirnya ia melahirkan ibu saya.

Meskipun setelah melahirkan anak ia tidak lagi meniti karier, bukan berarti ia tidak bekerja. Ia dengan giat membantu kakek saya yang menjadi sekretaris daerah. Ia ikut mengungsi dan membantu pejuang Republik. Kakek dan Nenek membangun tim yang luar biasa untuk mendidik anak-anak mereka dalam iman dan kasih.

Nenek menghabiskan masa tuanya dengan memasak, mengurus kakek yang sudah buta sampai akhir hayatnya, jalan-jalan bersama anak cucu dan membaca Alkitab. Walaupun memakai gigi palsu, nenek tidak pernah punya diet atau pantangan khusus dalam soal makan. Bisa saja ia makan gulai kambing, asal sayur dan buah selalu tersedia. Ia meninggal karena kesepian setelah teman mengobrolnya, ayah saya, lebih dahulu pulang ke pangkuan Sang Khalik.

Nenek saya – walaupun mungkin tidak pernah mengenal, mengucapkan, apalagi mengkampanyekan istilah itu – adalah seorang feminis. Setidaknya dalam pandangan saya. Saya tidak tahu apakah keputusannya berhenti bekerja dan melahirkan sebelas anak bisa menghapus segala perjuangannya selama seabad.

Ibu saya merombak segala mitos tentang anak perempuan bungsu. Ketika semua kakak perempuannya (yang menurut banyak meme belakangan ini dijamin paling sukses) memilih menjadi ibu rumah tangga, ia memilih perguruan tinggi. Padahal sebagai anak bungsu orang tuanya tidak punya harapan muluk-muluk, sampai-sampai ia hanya disekolahkan di sekolah non-unggulan.

Tetapi kemauan keras dan sifat memberontaknya membuahkan hasil: Ia diterima di fakultas kedokteran salah satu universitas elite di negeri ini. Ia sekarang menjadi doktor di sana. Ia tidak mau menjadi profesor karena jijik pada elite kampus yang melacurkan diri dengan politisi demi gelar tersebut.

Hasratnya ialah mengajar, dan ia memilih menghasilkan dokter-dokter muda yang layak digaji dua digit daripada mengklaim jutaan rupiah itu untuk dirinya sendiri dari belakang meja praktek.

Tentu saja ibu dan juga ayah tidak secuil pun mengabaikan pendidikan kami demi karier. Mereka tidak pernah – dan juga tidak pernah mendidik kami – menghamba pada uang. Keluarga kami berkecukupan, tetapi tidak mewah. Saya kadang-kadang merasa dilematis karena tinggal di lingkungan menengah ke bawah tapi kami punya sebuah mobil, sementara di sekolah saya dikelilingi anak orang kaya yang jumlah mobilnya sama dengan anggota keluarga kami.

Rasanya, dengan ukuran apa pun, ibu saya layak disebut seorang feminis.

Ibu merawat ayah yang harus berjuang melawan penyakit di usia senja sampai akhir hidupnya. Ayah saya orang yang unik, dengan darah seni yang diwariskan kepada anak-anaknya. Ia meninggalkan bisnis kontraktor demi menyalurkan impiannya mengajar anak-anak bangsa untuk bernyanyi, walaupun itu berarti penghasilan ayah juga menjadi lebih kecil dari ibu.

Tunggu dulu... Penghasilan ayah lebih kecil daripada ibu? Apakah berarti uang yang ayah setor pada ibu tidak cukup? Tetapi saya tidak pernah melihat ayah menyetor uang pada ibu, atau sebaliknya ibu menagih uang pada ayah. Kami juga tidak pernah dididik demikian.

Mereka mengajarkan kami untuk memakai uang seperlunya, dan bersenang-senang memang butuh uang, tetapi jangan sampai uang mengatur kesenangan kita. Tentu saja ayah ibu pernah bertengkar, tapi tidak pernah soal uang. Padahal, portofolio finansial antara keduanya sudah cukup menjadi alasan (atau dasar hukum?) bagi ibu untuk menggugat cerai ayah, karena ayah tidak cukup menafkahi ibu.

Mohon koreksi kalau saya salah, tetapi saya pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa suami yang menahan sebagian penghasilannya, atau bersikap kurang transparan dalam keuangan pribadi, dapat dianggap melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT/domestic violence) terhadap istrinya.

Jadi, kalau ibu saya tidak memberontak dan menggugat cerai ayah karena tidak menafkahi istrinya, berarti segala gelar akademis ibu bisa runtuh karena ia tidak sungguh bebas dari ayah saya? Tidak sepenuhnya dominan atas ayah saya? Bahwa perjuangan dan kerja kerasnya tidak cukup membuktikan bahwa ia adalah seorang feminis?

Istri saya menggantikan peran ayahnya yang meninggal sebelum kami bertemu. Ibunya seorang ibu rumah tangga. Adik perempuannya ketika itu masih kuliah. Jadi saya bertemu, berkencan, pacaran dan akhirnya menikah dengan istri saya ketika ia sudah lebih berpengalaman sebagai kepala keluarga.

Memang gajinya lebih kecil dari gaji saya, tetapi ia tidak pernah menuntut saya menyerahkan gaji saya padanya. Kami sudah punya pos pengeluaran yang jelas: urusan mayor (rumah, mobil, listrik, sekolah anak)adalah urusan saya; urusan minor (jalan-jalan, makan-makan) adalah tanggung jawabnya.

Tidak ada pembagian jelas soal peran belanja: siapa yang sempat, dia yang belanja dan bayar. Kecuali dia kehabisan uang tunai di dompet, saya tidak pernah memberinya uang belanja.

Jadi, apakah saya suami yang buruk? Apakah saya menyiksa istri saya dengan tidak memberikan gaji saya? Terlebih, saya kalah pengalaman berkeluarga. Apakah dengan demikian hari-hari kebersamaan saya dengan putra saya adalah sia-sia?

Menggendongnya pertama kali, menidurkannya, mengganti popoknya, menyuapi MPASI perdana, mengajari berjalan, membacakan cerita, mengajari naik sepeda; semua itu tak berarti di hadapan perjuangan istri saya melahirkan dan menyusuinya?

Dan karena istri saya memutuskan tetap menjadi pendamping yang setia, maka ia berada dalam penindasan saya yang sebetulnya lebih payah dari dirinya? Yang hanya bisa menghamilinya saja?

Dan mengapa hal-hal demikian malah diributkan oleh banyak wanita kelas menengah atas yang sudah hidup mapan dan bahagia? Mengapa saya sering mendengar itu dari para sosialita? Mengapa mereka menyuarakan itu di media sosial berdampingan dengan foto-foto mereka di luar negeri?

Mengapa saya tidak pernah mendengar itu dari perempuan-perempuan yang harus bekerja keras membanting tulang demi menanggung beban keluarga? Perempuan-perempuan yang benar-benar berjuang karena hilangnya suami, baik secara fisik maupun tanggung jawab?

Mengapa mereka dengan bebas dan merdeka mengumbar betapa ngehek dan payahnya suami, tetapi di saat yang sama di depan umum mereka menindas perempuan lajang dan memaksanya menikah? Lebih lucu lagi, sudah mengutuk suami, mereka juga mengutuk lesbian yang jelas-jelas tidak akan bersuami.

Untuk apa mereka marah karena laki-laki memanfaatkan perempuan sebagai komoditas kekuasaan, kalau mereka turut bermain – dan menguasai – dalam perebutan komoditas itu? Bahkan mereka menjadi hakim atas perempuan lain menggunakan hukum yang dibuat laki-laki: Perhiasanmu bukan Bulgari, tasmu bukan Hermès, arlojimu bukan Patek Philippe, sepatumu bukan Manolo Blahnik, tubuhmu bukan biola Stradivarius.

Di mana mereka ketika banyak perempuan bukan hanya dijadikan komoditas kekuasaan, tetapi benar-benar diperdagangkan entah sebagai aset produksi atau alat pemuas selangkangan? Ternyata mereka sibuk mem-bully dan membela ikon media yang kebetulan perempuan. Di-bully habis jika dianggap amoral, dibela mati-matian ketika ada laki-laki yang terlibat.

Di mana mereka ketika gadis-gadis di bawah umur diperkosa sampai meregang nyawa? Tentu mereka ikut menyuarakan pandangan laki-laki yang menyalahkan pakaian mengumbar aurat yang dikenakan para gadis malang itu. Itu kalau mereka yang bicara, bukan laki-laki.

Di mana mereka ketika Ratu Atut, Artalyta Suryani, Neneng Sri Wahyuni, Andi Nurpati dan Angelina Sondakh mengenakan rompi oranye? Mereka malah dengan bangga membicarakan tas Hermès yang dibawa para pesakitan itu – dan cara mendapatkannya yang tidak halal – sebagai tanda kekuasaan wanita.

Di mana mereka ketika para srikandi kemanusiaan mempertaruhkan nyawa menyelamatkan perempuan-perempuan yang tertindas di sudut kelam dan lorong gelap kehidupan? Mereka berada di atas panggung, di bawah lampu sorot dan di depan mikrofon dunia nyata dan maya. Mereka berpura-pura mewakili perjuangan sesamanya yang diselimuti lumpur kesunyian, tapi tak rela paras halus mereka ternoda debu kesulitan.

Saya berandai-andai, di mana mereka ketika seorang perempuan memimpin misi ke planet Mars atau ke kuadran Delta di ujung Galaksi Bimasakti? Mungkin mereka masih berdebat mengapa pria berasal dari Mars dan wanita berasal dari Venus.

***

Saya ingin menutup dengan sebuah perumpamaan.

Kemarin saya menyaksikan pemandangan miris di minimarket. Dua gadis berhijab berceloteh begitu ramainya di sebelah saya tentang hiruk-pikuk cinta mereka. Seperti keluhan tentang kelakuan laki-laki di sekolah mereka, atau wanita yang menjadi pesaing mereka. Seharusnya cowok itu begini, aku kepingin dia begitu, cewek itu menikam dari belakang, dan seterusnya. Lalu mereka melenggang pergi meninggalkan sampah sisa makanan dan minuman di atas meja.

Kemudian datang gadis penjaga minimarket. Dengan diam ia membereskan sampah yang ditinggalkan kedua akhwat itu, termasuk remah-remah makanan dan bungkus plastik yang mereka jatuhkan di lantai.

Tempat sampah itu jaraknya hanya tiga meter dari tempat mereka duduk.

#LombaEsaiKemanusiaan

Andre Pramudya

Saya juga menulis di Kompasiana dengan nama Andre Panzer.

Feminisme Semu

Perempuan dan Kerentanan Eksploitasi Jaringan Narkoba

$
0
0
Foto: telegraph.uk

Saat berbicara kasus narkoba yang ada dalam pikiran sebagian orang adalah kejahatan luar biasa, dan negara menguatkan itu dengan menerapkan hukuman mati. Tentu, tidak ada yang salah dari menganggap kasus narkoba adalah kejahatan, karena itu memang adalah sebuah kejahatan sistematis, bisnis yang dibangun atas darah dan air mata manusia.

Namun, dalam jaringan narkoba ternyata ada begitu banyak kerumitan di dalamnya yang tidak semua orang tahu ataupun bersedia untuk mengetahui. Menilik kasus di Indonesia, seperti MU yang eksekusi matinya ditangguhkan ada banyak kerumitan yang kalau bisa dilihat secara utuh, sesungguhnya ia adalah korban.

Menyebut terpidana kasus narkoba sebagai ‘korban’ akan mendapat reaksi yang amat keras dari masyarakat dan pemerintah yang disebabkan karena keengganan untuk melihat suatu kasus secara utuh dan keengganan untuk memberikan psoses hukum yang adil terutama pada orang-orang yang terlibat kasus narkoba.

Stigma-stigma yang ditempelkan secara otomatis terhadap para terpidana membuat siapa pun yang terlibat di dalam proses tersebut tidak bersedia untuk melihat lebih dalam.

Dalam kasus MU, ia dibohongi oleh seorang laki-laki yang mengaku bernama J. Laki-laki itu mendekatinya dan memanjakannya baik secara materi maupun secara emosional. Lalu, MU diajak untuk liburan ke Nepal dan sesampainya di sana mereka berjalan-jalan selama beberapa hari.

Saat menjelang pulang, J meminta MU untuk tetap di sana selama beberapa hari karena akan ada orang yang mengantarkan tas tangan baru untuk MU dan contoh-contoh barang yang akan dibawa ke Indonesia untuk dijual – J mengaku bekerja di bidang perdagangan. Ternyata MU harus menunggu lebih dari seminggu dan ia kemudian dihubungi untuk bertemu dengan teman-teman J di sebuah kelab.

Di situlah MU diserahi tas tangan yang agak berat dan oleh teman J dikatakan tas itu berat karena dari kulit asli. Sesampainya di Indonesia, di bandara Soekarno Hatta, MU yang lupa mengambil kopernya saat sudah berada di luar bandara, sementara tas tangan hadiah dari J ia bawa di kabin, sebagaimana kita membawa tas jinjing biasa.

Setelah mengambil koper, petugas meminata untuk memeriksa tas tersebut dan karena tidak merasa apa-apa maka MU menyerahkannya, dan ternyata saat diperiksa di dalam lapisan dalam tas tersebut terdapat kokain seberat 1, 1 kg.

Sebelum menghakimi MU dengan pertanyaan kok mau aja dipacarin sama orang gak dikenal atau kok mau aja sih diajak liburan ke luar negeri sama orang yang baru dipacarin ada baiknya kita bersedia membuka mata kita mengenai kehidupan masa lalunya. Siapakah MU sebelum ia ditempeli label oleh para media yang provokatif sebagai ‘ratu heroin’?

MU adalah seorang perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terpaksa bekerja ke luar negeri untuk menghidupi keluarganya. Suaminya yang senang berjudi dan mabuk, selalu menghabiskan uang yang dikirimi oleh MU dari hasil kerja kerasnya di negara lain. Tidak sanggup menjalani rumah tangga dengan kekerasan baik secara fisik, psikis dan ekonomi, MU akhirnya memilih untuk berpisah dengan suaminya.

Sampai di sini bisa ditarik informasi kalau MU adalah korban kekerasan, tidak mendapat kasih sayang dan cinta dari seseorang yang seharusnya mencintai dan menyayanginya serta harus jauh dari anak-anaknya saat bekerja di luar negeri. Kerentanannya secara emosi dimanfaatkan oleh orang-orang yang berada dalam jaringan sindikat narkoba. Itu bukan hal baru dan sasarannya mayoritas adalah perempuan.

Dengan memanfaatkan kerentanan emosi, orang-orang seperti J mendekati perempuan-perempuan seperti MU dan berlagak seperti pahlawan. Mari bicara kenyataan, penipuan dengan menggunakan kerentanan emosi orang, bukan hanya di kasus narkoba tetapi juga di kasus penipuan uang seperti banyak terjadi di sosial media (penipu biasanya menggunakan foto curian dan mengaku sedang mencari pasangan).

Penipuan seperti itu terjadi, nyata dan memang ada. Jadi tidak perlu bingung atau menghakimi MU yang karena kerentanan dan ketidak berdayaannya akhirnya bersedia menjadi ‘teman dekat’ J. Bahkan dikatakan oleh MU bahwa J bukan hanya memanjakan MU tetapi juga orangtua MU dengan hadiah-hadiah.

Untuk kasus lain terjadi di Colombia pada 2013, seorang perempuan berinisial TR, warna negara Kanada, tertangkap di Bandara Bogota karena membawa dua kilogram kokain yang disembunyikan di dalam perut palsunya. Setelah diusut ternyata ada kenyataan pahit yang dialami oleh TR sampai ia bersedia menjadi kurir narkoba. TR kemudian ditipu dan ditahan oleh sekelompok laki-laki yang terlibat dalam jaringan narkoba.

Saat ditahan ia dipaksa terus-terusan untuk mengantarkan narkoba, ia nyaris tidak diberi makan selama satu minggu dan hanya minum air putih. Saat memohon untuk meminta makanan ia diberikan minuman seperti jus yang ternyata sudah diisi obat yang membuatnya tidak sadarkan diri. TR terbangun dan mendapatkan dirinya diperkosa.

Salah satu penculiknya kemudian kembali memaksanya untuk mengantarkan narkoba dan kali ini ancamannya adalah ia akan menjadikan TR sebagai pekerja seks dan TR tidak akan pernah kembali ke Kanada dan tidak akan pernah bertemu lagi dengan anak-anaknya.

Dalam keadaan putus asa, TR akhirnya menyetujui untuk membawa narkoba tersebut melalui bandara. Sekarang TR menjalani hukuman berupa tahanan rumah di sebuah gereja di Kolombia setelah delapan bulan di penjara, ia akan tetap di Colombia sampai 2017.

Dua contoh kasus di atas menunjukkan betapa kita tidak bisa melihat suatu kasus narkoba terutama penangkapan kurir-kurir narkoba ini sebagai kasus yang sederhana. Perempuan adalah pihak yang selalu rentan tereksploitasi dan hal ini sayang ya diketahui dengan amat baik oleh satu pihak, yaitu oleh jaringan sindikat narkoba.

Kerentanan seperti ini ditambah ancaman hukuman yang amat berat kemudian dimanfaatkan oleh oknum aparat penegak hukum berupa pemerasan, penyiksaan fisik dan juga pelecehan seksual dan pemerkosaan. MU mendapat kekerasan seksual pada proses pemeriksaan berupa pelecehan dan percobaan perkosaan, ia juga dipukuli dan dipaksa untuk mengaku bahwa heroin itu adalah milikinya.

Tidak berhenti sampai sana, penasihat hukum yang disediakan oleh kepolisian sangat tidak kredibel. Penasihat hukum itu hanya datang saat persidangan, tidak pernah mendiskusikan pembelaan dan malah meminta MU untuk mengakui bahwa heroin itu miliknya.

Penasihat hukum dari kepolisian ini mendampingi MU pada saat di pengadilan tingkat pertama, di mana MU dijatuhi hukuman mati (Putusan No.140/Pid.B/2002/PN.Tng. Saat mengajukan banding dan kasasi, MU didampingi penasihat hukum yang berbeda.

Ketidakmautahuan aparat, masyarakat dan pemerintah akan kerentanan eksploitasi perempuan dalam jaringan narkoba akan menghantarkan banyak nyawa dengan sia-sia. Mereka harus menghadapi hukuman mati padahal dalam kasusnya banyak fakta-fakta yang enggan dilihat bahkan oleh para penasehat hukumnya sendiri.

Stigma masyarakat karena lomba-lomba media untuk memberitakan dengan judul yang bombastis dan isi berita yang memuat stigma dan penghakiman, menambah kondisi buruk mereka. Tidak ada yang mau peduli bahwa mereka adalah korban, korban eksploitas. Tidak ada yang bersedia melihat kisah sebenarnya dari pada terpidana ini. Jilid-jilid hukuman mati dikeluarkan, proses hukum yang adil dan bebas kekerasan diabaikan.

Tulisan ini dibuat untuk mengajak masyarakat dan pemerintah mau melihat kasus dengan tidak hitam putih karena pada kenyataannya memang tidak pernah ada yang hitam putih di dunia ini. Sebelum kepala membuat penghakiman, ada baiknya telusuri dan ketahui dahulu apa yang terjadi sebenarnya, sebelum nyawa para orang-orang yang sebetulnya adalah korban meregang dan tidak akan pernah bisa dikembalikan dengan cara apa pun.

Mia Olivia

Bergerak di isu perempuan dan sosial, mengkhususkan diri berkampanye untuk pendidikan publik di bawah bendera komunitas PINK (Perempuan Indonesia Nir Kekerasan). Founder of PINK. Wife and mom.

Perempuan dan Kerentanan Eksploitasi Jaringan Narkoba

Laela Khaled, Pejuang Perempuan Palestina

$
0
0
Laela Khaled semasa muda

"Saya mewakili rakyat Palestina, bukan mewakili perempuan." -- Leila Khaled

Pas di hari libur Imlek kemarin, saya mendapatkan satu buku yang sangat menarik berjudul Leila Khaled (Kisah Pejuang Perempuan Palestina) yang ditulis oleh seorang wartawan Sarah Irving. Sewaktu buku ini masih dalam perjalanan, saya melakukan riset sedikit melalui Paman Google, untuk mengetahui kenapa sebuah percetakan seperti Marjin Kiri mau menerbitkan buku ini.

Sewaktu mendapatkan hasil pencarian siapa itu Leila Khaled ini maka pengetahuan akan perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Zionis, yang selama ini dalam pikiran kita adalah Hamas, Fatah, perang yang tidak seimbang antara batu dan peluru, syahidnya seorang pria, ibu-ibu yang melahirkan para syahid, akan bertambah. Karena Leila Khaled adalah seorang perempuan yang juga berjuang melawan penjajahan Zionis dengan mengangkat senjata.

Perjuangan seorang perempuan bernama Leila Khaled di Palestina tidak terlalu tampak ke permukaan selain peran media Barat yang mencapnya sebagai teroris namun juga karena dua hal ini, yaitu Leila adalah perempuan yang hidup di alam yang didonimasi oleh nilai-nilai patriarkat, dan haluan yang dipilihnya adalah haluan Kiri.

Leila yang memajang poster Che Guevara di kamarnya yang telah lama ia idolakan, selain itu Leila juga membaca beberapa tokoh ideolog kiri seperti Franz Fanon, Mao Zedong, Kim Il Sung, dan tentunya Che Guevara.

Ketika Leila bersekolah setingkat menengah, Ia disekolahkah di Sekolah Kristen Evangelis, di sinilah Leila mendapatkan pelajaran penting di mana perbedaan antara Zionis, Israel dan Yahudi. Dan di sini juga ia sudah memilih untuk melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata untuk membebaskan Palestina.

“Betapa dalam gerakan, ada yang lebih dari sekadar menulis, menyebar pamflet, berdemo, atau berorasi” inilah pilihan dari seorang Leila Khaled, sebuah pilihan yang akan membawanya ke tempat pelatihan paling berat di perbatasan Lebanon dan Palestina.

Tekad kuat dari Leila Khaled tak pernah luntur sejak pertama kali ditugaskan di depan pertempuran antara Palestina dan Zionis sebagai pengantar roti untuk para pejuang, sejak itulah gelora untuk melawan Zionis makin tinggi.

Perjuangan Leila Khaled atas rakyat Palestina melebihi perjuangannya atas memperjuangkan nasib perempuan di tengah keadaan perang. Leila Khaled menganggap bahwa memperjuangkan kemerdekaan atau hak pulang dari seluruh rakyat Palestina lebih utama dibanding memperjuangkan nasib perempuan.

George Habash sebagai pendiri PLFP, partai kiri di mana Leila Khaled bernaung, pernah meminta Leila untuk menjadi utusan partai dalam Serikat Umum Perempuan Palestina, dan Leila pun menjawab dengan sangat enggan.

“Aku menolak,” kata Leila Khaled. Kemudian Leila menjelaskan, “Kubilang pada mereka, aku ini prajurit, aku mau pegang senjata.” Partai menjawab, “Kau juga seorang perempuan, kau harus memperjuangkan hak-hak perempuan." Leila pun menegaskan, "Aku tidak bisa melakukannya, itu adalah sebuah misi yang di luar jangkauanku, dan aku tidak menyukainya.”

Ada dua pelajaran menakjubkan yang bisa kita ambil dari seorang Leila Khaled yaitu Leila adalah seseorang yang menolak pencitraan akan dirinya, yang terkenal setelah melakukan pembajakan, dia lebih memilih untuk menjadi komando lapangan yang terus bergerak untuk mencapai cita-citanya dan seluruh rakyat Palestina yaitu kemerdekaan Palestina.

Sedangkan yang kedua, Leila adalah manusia biasa yang tahu bahwa perjuangan memerdekakan Palestina bukan hanya tugas dia, juga tugas seluruh bangsa Palestina. Ada sebuah pernyataan terkenal dari seorang Leila Khaled, "Kupikir ini tak akan terjadi dalam hidupku, tapi kelak, di generasi berikutnya."

Leila Khaled mengatakan sambil bergurau, “Pensiun? Pensiun dari apa? Aku baru akan pensiun kalau sudah kembali ke Haifa.” Pernyataan ini menyiratkan semangat yang tidak pernah padam untuk memperjuangkan kemerdekaan atau hak pulang dari rakyat Palestina atas Zionis.

Sampai sekarang seluruh rakyat Palestina yang terusir selalu merindukan tanah airnya, tak terkecuali Leila Khaled yang juga masih membayangkan tanah kelahirannya dan rindu kembali kesana. “Bilamana aku pulang ke Palestina, aku akan tidur di bawah pohon jeruk selama tiga hari,” demikianlah kenang seorang Leila Khaled."

Supriansyah

Penyuka Kajian Sosial

Laela Khaled, Pejuang Perempuan Palestina

Barbie versus Janeway

$
0
0
Sumber: daviddarling.info

Pada tahun 1972 dan 1973, NASA berturut-turut meluncurkan wahana luar angkasa Pioneer 10 dan 11. Sampai dengan tulisan ini dibuat, keduanya adalah dua dari lima benda buatan manusia (selain Voyager 1, 2 dan New Horizons) yang telah pergi meninggalkan gugusan planet Tata Surya.

Pada kedua pesawat itu terpasang sebuah plakat dari emas, gagasan astronom Carl Sagan dan dibuat oleh istrinya, Linda, seorang seniwati. Pada plakat tersebut, Linda mengukir gambar dua orang, pria dan wanita, yang telanjang. Ditambah simbol-simbol seperti gambar wahana Pioneer dan Tata Surya yang disederhanakan. Diharapkan jika ada makhluk planet lain menemukannya, mereka bisa tahu bahwa wahana itu adalah buatan manusia yang berasal dari Bumi.

Sialnya, masyarakat awam banyak yang gagal paham, dan menghabiskan energi untuk menyerang gambar pasangan yang telanjang itu. Yang paling ramai, tentu saja: gambar itu dianggap porno.

Lalu postur si pria yang lebih tinggi dan tengah melambaikan tangan (seperti memberi salam dari jauh), sementara si wanita yang pendek tangannya tetap di bawah dan berdiri agak condong; semua itu dianggap merendahkan wanita. Terakhir, rupa keduanya yang kelihatan ‘bule’ dianggap sebagai ‘rasisme parah’ yang ‘blak-blakan menyingkirkan ras lain’.

Tuan dan Nyonya Sagan bersusah payah menjelaskan bahwa mereka hanya ingin membuat orang lain di luar sana yang mungkin buta sama sekali tentang Bumi dapat mengetahui keberadaan kita. Mengapa telanjang? Bagaimana kalau si alien berbentuk seperti kadal atau amuba, lalu disuguhi gambar manusia berpakaian menutupi bentuk sesungguhnya? Mengapa si pria lebih tinggi? Karena rata-rata begitu.

Mengapa tangan si pria saja yang terangkat? Supaya si alien tahu berbagai gerakan tubuh manusia. Mengapa kelihatan bule? Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk merangkum seluruh ras di dunia dalam satu ukiran kecil begitu.

Tetapi orang-orang itu tidak mau tahu: alasan Carl dan Linda dibuat-buat untuk menutupi budaya seksis dan rasis yang mereka wakili. Kalau mau dicari-cari bisa lebih banyak lagi salahnya. Mengapa yang digambarkan pasangan pria dan wanita saja, dan tidak ada pasangan gay atau lesbian?

Mana transgender atau penyandang disabilitas? Mana perwakilan agama-agama? Mengapa suami istri itu tidak mau mewakili tuntutan semua golongan untuk numpang eksis di papan persegi seukuran ubin kamar mandi itu

Menyedihkan, tujuan mulia untuk menampilkan sisi seni dan kemanusiaan dalam cita-cita luhur menemukan peradaban di ujung alam semesta, karam ditelan tuntutan political correctness oleh pihak-pihak yang ingin eksis di Bumi. Ya, Bumi, satu noktah kecil di tengah maha luasnya ciptaan Yang Esa.

Saya jujur saja tergelitik menulis ini setelah saya mendapati bahwa di bawah tulisan saya tentang Feminisme Semu, terdapat tautan artikel terkait dari Maria Brigita Blessty tentang TrilogiBonekaBarbie. Saya tertarik membacanya, dan mendapati kepala saya pusing pada akhirnya. Mungkin otak laki-laki saya yang seperti babi ini tidak cukup untuk memahaminya. (Meskipun babi adalah salah satu mamalia cerdas, mungkin melebihi anjing atau simpanse. Lezat pula.)

Bagi saya, Barbie adalah boneka. Mainan anak perempuan pada umumnya. Mainan yang dapat menjadi koleksi dari kecil sampai menjadi seorang ibu, untuk diwariskan kepada anak gadisnya. (Sungguh, ini adalah salah satu alasan mengapa  beberapa ibu sangat ngebet punya anak perempuan.) Secara sepintas, inilah ide utama dari pencetusnya dan pabrik yang memproduksinya. Semata-mata hobi dan profit.

Saya percaya bahwa melihat kutipan-kutipan yang dimuat Mbak Brigita, maka pandangannya tentang boneka Barbie tidak melulu merupakan pandangan pribadi beliau, tetapi juga formulasi dari pendapat berbagai pakar yang kompeten. Toh saya tetap tercengang melihat begitu banyak hal yang bisa dipolitisasi dari boneka setinggi sendok makan ini.

Barbie dianggap sebagai gambaran wanita yang ‘digemari’ pria: rambut pirang, tinggi semampai dan seksi. Hal ini dapat dianggap sebagai representasi pengerdilan wanita sebagai objek seksual oleh budaya patriarkat. Tetapi ketika digambarkan dalam film, Barbie tampak ‘merdeka’ dan menjalankan profesi yang umum digeluti pria. Setomboi-tomboinya ia berpakaian, tetap saja ada kesan ‘feminin’ yang dibentuk pikiran seksual laki-laki.

Di lain pihak, Barbie dianggap mempertahankan harapan ‘tradisional’ tentang wanita baik-baik. Lalu Barbie (dan pembuatnya) juga dituduh rasis karena berkulit putih dan berambut pirang, sementara usaha untuk menampilkan Barbie versi Afrika, Asia, Hispanik dan lainnya dianggap ‘kurang’ karena masih ada kesan ‘bule’; artinya tetap saja rasis.

Di satu sisi Barbie dianggap sebagai simbol penindasan wanita oleh budaya patriarkat laki-laki. Tetapi di sisi lain ia menjadi ikon feminisme. Ia menjadi representasi multietnis sekaligus rasisme tingkat Ku Klux Klan. Mana yang benar? Mungkin bagi Barbie tidak ada feminisme atau rasisme yang abadi, hanya ada pembenaran pendapat pribadi.

Maaf saya jadi iseng membayangkan pola pikir para idiot negeri ini dalam menyikapi si Barbie. Ia adalah produk kapitalisme dan imperialisme Barat. Pakaiannya mengumbar aurat. Barbie adalah konspirasi kaum kafir untuk melemahkan iman Muslimah.

Sekali lagi maaf, saya jadi tambah usil: Jika Barbie memakai hijab, apakah akan dianggap sebagai kemenangan Islam (“Subhanallah, Barbie jadi mualaf!”) atau usaha untuk menipu umat Islam? (“Astaghfirullah, Barbie berhijab untuk menipu umat supaya meninggalkan ibadah. Waspadalah!”)

Saya geli sekaligus miris melihat dalam banyak karya-karya indah buatan pria dan wanita di seluruh dunia dikerdilkan sebagai alat untuk membenarkan pandangan politik identitas: suatu bentuk politik praktis yang menurut saya sangat kuno, membuang waktu dan tidak berfaedah apa-apa bagi semua orang, termasuk mereka yang (katanya) diwakili oleh para politisi tersebut. Saya bisa menyebutkan banyak lagi: dari Tintin sampai Upin & Ipin.

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sempat berandai-andai bahwa sementara perempuan sejati sudah mendarat di Mars, para feminis semu masih sibuk berdebat mengapa pria berasal dari Mars dan wanita berasal dari Venus. Bukan tanpa alasan saya memilih Laksamana Madya Kathryn Janeway sebagai gambar di awal tulisan itu.

Saya tidak tahu berapa banyak perempuan yang menggemari Star Trek. Yang jelas, itu alasan mengapa saya jatuh cinta pada istri saya. Ia tidak pernah main boneka Barbie. Ia malah main PS, nonton Saint Seiya dan Kamen Rider di masa kecilnya; dan tentu saja nonton Star Trek dari zaman ABG hingga kini.

Ketika Kathryn Janeway masih berpangkat Kapten, ia menahkodai USS Voyager (NCC-74656), kapal tempur penjelajah bintang kelas Intrepid milik Armada Bintang (Starfleet) Federasi Planet. Kapal itu terbawa ke kuadran Delta, bagian Galaksi Bima Sakti yang belum pernah dijelajahi Federasi. Seluruh seri Star Trek: Voyager berkisah tentang usaha Janeway dan awaknya untuk pulang ke rumah.

Menarik melihat karakter Janeway. Dibanding kapten sebelumnya (Kirk dan Picard), kepribadiannya relatif sederhana, tanpa masa lalu yang kompleks, dan sangat teguh (kalau tidak mau dibilang kaku) menjalankan kode etik Starfleet. Ia bisa sangat keras dan tegas pada anak buahnya; bisa juga lembut, tetapi tidak keibuan.

Seperti kapten lainnya, ia benar-benar militer: tidak memperlakukan anak buah sebagai anak, melainkan orang dewasa yang bisa bekerja sama sebagai rekan, tetapi harus patuh pada perintah komandan.

Tetapi apakah ini adalah penggambaran yang disengaja untuk menonjolkan bahwa wanita lebih disiplin dari pria? Star Trek dengan rajin menampilkan perempuan Federasi yang bengal: Natasha Yar, Ro Laren, dan anak buah Janeway sendiri: B’Elanna Torres.

Sebaliknya Janeway dikelilingi perwira dan penasihat pria untuk memberi pertimbangan yang sehat: Komandan Chakotay yang Indian; Letnan Tuvok, seorang Vulcan yang terkenal kaku dan logis; dan Neelix, pria ceria asal planet Talax yang menjadi koki di Voyager.

Apakah status lajang Kapten Janeway menggambarkan pandangan kuno bahwa ‘wanita harus memilih antara keluarga dan karier’? Bagaimana dengan dr. Beverly Crusher, dokter di USS Enterprise (NCC-1701D) yang punya anak bernama Wesley, dan puluhan perwira wanita lainnya yang menikah? Ayah Janeway ternyata seorang laksamana Starfleet (yang menjelaskan sifat kerasnya). Apakah ini mewakili anggapan bahwa perempuan hanya bisa sukses karena nepotisme?

Bagaimana dengan pakaiannya? Agak sulit dibayangkan karena ia memakai seragam militer. Kecuali seragam upacara atau resepsi, pakaian dinas harian Starfleet tidak menggambarkan pembedaan gender apa pun. Pengecualian adalah Nyota Uhura, perwira komunikasi USS Enterprise (NCC-1701) yang memakai rok, serta Deanna Troi (Enterprise-D) dan Seven-of-Nine (Voyager) yang notabene bukan ‘perwira karier’.

Apakah ini bentuk ‘pemaksaan maskulinitas’ pada perempuan? Atau perempuan yang ‘mempertahankan femininitasnya’ harus puas dengan pangkat yang rendah?

Jadi apa yang harus disimpulkan dari seorang Kathryn Janeway? Ikon feminisme atau pemaksaan maskulinitas? Identitas gender yang bangga atau bungkam? Bagi saya, beliau adalah figur yang kepemimpinannya layak diteladani. Orang biasa yang melakukan hal yang luar biasa di saat penting dan genting. Seorang perwira Starfleet yang hebat. Itu sudah cukup, dan itu sangat baik.

***

Apakah anda tahu istilah Rosie the Riveter? Pada Perang Dunia II, sementara para pria Amerika Serikat bertempur di medan laga, para wanita menggerakkan roda perindustrian militer. Mereka merakit persenjataan di pabrik-pabrik, salah satunya pesawat terbang.

Pemerintah menyebarkan poster propaganda yang menggambarkan ‘Rosie’ yang tengah memasang paku keling (rivet) pada badan pesawat, untuk menggerakan para wanita bekerja mendukung pertempuran pria. Tak lama kemudian, foto-foto patriotis para wanita – kulit putih dan hitam – yang merakit C-47, F4U, P-51, B-25 dan B-29 beredar.

Andre Pramudya

Saya juga menulis di Kompasiana dengan nama Andre Panzer.

Barbie versus Janeway

Sejumlah Catatan untuk Maria Brigita Blessty

(Tidak) Menghargai Tubuh Wanita

$
0
0
Instagram.com

Dulu wanita diajarkan bahwa keperawanannya diserahkan hanya kepada suaminya. Di jaman sekarang ajaran itu disalahkan, karena merendahkan wanita katanya. Wanita dituntut perawan sementara laki2 tidak dituntut tetap perjaka.

Wanita lajang yang tidak perawan dicap rendahan, murahan, itu karena ajaran yang mengagungkan keperawanan wanita. Karena itu ajaran yang mengagungkan keperawanan wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Sepintas cukup logis. Tapi apa yang terjadi jika sebaliknya?

Akibat perkembangan jaman, seks bebas menjadi hal yang lumrah. Sekarang apa yang terjadi pada remaja putri kini? Atas nama cinta, keperawanan remaja putri diserahkan kepada pacar pertamanya. Namun, remaja kini dewasa sebelum waktunya. Anak SMP bahkan SD sudah jamak berpacaran.

Akibat usia yang masih muda, gonta-ganti pacar, hubungan dalam tempo singkat terjadi. Dalam usia yang sedemikian muda, seorang remaja putri berhubungan badan dengan beberapa pria GRATIS atas nama cinta.

Bayangkan, percakapan yang terjadi antara sepasang kekasih kekinian.
" Mas, aku kok ngerasa bodoh banget yah? "
" Loh, kenapa Dik? "
" Setiap malam mingguan, mas cuma nraktir bakso. Setelah itu kita bercinta. Apa tubuhku ini seharga bakso, Mas?"
" Lo, ya gak gitu Dik. Kita kan melakukannya karena cinta...."

Kehidupan remaja sekarang yang gaul dan hedonis membutuhkan banyak biaya. Biaya beli pulsa, nonton, beli baju, make up, nongkrong, dan seabrek kegiatan gaul lainnya. Biaya-biaya itu tidak bisa dicukupi uang saku dari ortu, apalagi minta dari pacar yang juga masih bergantung pada orang tuanya.

Akhirnya pria-pria hidung belang yang dijadikan sumber biaya untuk senang-senang. Toh sekarang tubuh wanita sudah tidak sakral lagi. Dikasih ke pacar (yang dalam tempo singkat akan putus) gratisan, atau dikasih ke pria hidung belang yang cukup sekali kencan bisa membiayai kebutuhan satu bulan?

Apalagi jaman sekarang prostitusi sudah bukan dosa lagi. Mulai bermunculan wacana yang mendukung prostitusi, seperti di beberapa negara yang melegalkan. Hukum kita yang melarang prostitusi dianggap kuno dan tidak sesuai HAM. Bukankah dalam prostitusi tidak ada yang dirugikan? Suka sama suka? Penyakit kelamin bisa diminimalisir dengan pengaman.

Beberapa waktu yang lalu masyarakat sempat dihebohkan oleh skandal prostitusi artis. Beberapa nama disebut terlibat. Walaupun sepintas dicaci maki, namun sepertinya karirnya justru tambah moncer. Artis berinisial AA yang semula tidak dikenal publik menjadi sering masuk berita.

Fans baru yang mendukung (dan menantikan foto seksi terbaru) sang artis bermunculan. Muncul pandangan baru, artis yang seksi itu cantik dan smart. Terbukti dengan karir dan pendapatannya yang melebihi artis-artis biasa.

Saya lalu membayangkan, artis seksi menjadi pekerjaan yang terhormat dan bergengsi. Pekerjaan yang hanya bisa dilakoni oleh wanita-wanita yang cantik, seksi dan smart. Sementara wanita-wanita biasa cukuplah bekerja biasa, sebagai pedagang, karyawati kantor, TKW atau sekretaris.

Yah, pekerjaan yang jelas kalah prestisius dibandingkan menjadi artis seksi. Dan artis-artis seksi kelas dunia seperti Kim Kardashian sudah memberi panduan kepada kita. Semakin seksi seorang artis, semakin lebar belahan dadanya, semakin tinggi belahan pahanya dan semakin jarang memakai BH. Serta makin dikagumi dan kaya.

Aminudin Aziz

Manusia random. Mengamati sebagai hobi

(Tidak) Menghargai Tubuh Wanita

Ketika Payudara Cuma untuk Diremas

$
0
0
ilustrasi: promod.com

Saat pertama kali melihat wujud bungkus makanan ringan mi kering bernama “BIKINI” alias “BIhun keKINIan” dengan tagline “Remas aku <3” yang sedang heboh dibahas di dunia maya, reaksi pertama saya – seperti mungkin banyak orang lain – adalah tertawa. Orang Indonesia memang ada-ada saja, batin saya.

Kenapa saya tertawa? Mungkin karena di masyarakat kita, joke bernuansa seksual seputar payudara adalah sesuatu yang sudah sangat biasa, jamak, wajar. Mulai dari masyarakat di perkampungan sampai kelas menengah yang bekerja kantoran.

Di kampung tempat saya bekerja, candaan “Totok, Mak!” (diumpamakan seperti jeritan anak kecil yang minta menyusu pada ibunya) sering dilontarkan orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Maksudnya, ya, mencandai kalangan bapak, atau anak-anak usia sekolah yang masih manja. Di kalangan urban, ada komika bernama Kemal Pahlevi yang menjadikan kegiatan mewawancarai remaja 14 tahun tentang ukuran bra yang dipakainya sebagai materi komedi. Kalau ini, entah apa maksudnya.

Kalau dipikir-pikir secara logis, sesungguhnya bingung juga apa yang lucu dari lelucon-lelucon itu. Kita tertawa karena sejak dulu sudah diajari secara sosial untuk menertawakannya. Seperti kita menertawakan lelucon tentang ukuran penis yang kecil, bokong yang besar, atau kepala yang botak.

Meskipun kadangkala saya sendiri sebagai perempuan merasa risih ketika bergabung dalam sekelompok orang di mana payudara begitu woles dijadikan lelucon yang melulu berbau seksual – tentu saja dari mata laki-laki. Seolah yang ada di sana cuma payudaranya, bukan para perempuan pemiliknya.

Bahkan saya pernah mendengar lelucon payudara yang bermula ketika si pelontar lelucon melihat seekor induk anjing yang kelenjar susunya besar-besar karena sedang menyusui. Absurd sekali. Tapi, toh, orang tertawa juga.

Awalnya, si "BIKINI" yang minta diremas membuat saya spontan tertawa. Tapi kemudian, ketika efek humornya memudar, dahi saya mulai mengernyit.

Pekan pertama bulan Agustus setiap tahun dicanangkan sebagai Pekan Air Susu Ibu (PASI) internasional, untuk mendukung kampanye ASI eksklusif. Terus terang, meski sudah dicanangkan sejak 1992, baru tahun ini saya mendengar dengungnya di Indonesia. Mungkin karena beberapa media daring mulai mengangkatnya, meskipun tetap tidak seheboh kabar-kabar sensasional yang lain. Respek saya untuk media-media tersebut.

Bicara tentang ASI berarti bicara tentang payudara. Tapi saya tak akan kampanye soal ASI dalam tulisan ini. Saya akan kampanye tentang payudara.

Ada empat fungsi payudara yang bisa saya pikirkan. Pertama, sebagai organ tubuh yang berkembang akibat hormon seks perempuan, yakni estrogen. Sebagai organ ia tak beda dengan tangan atau liver – berkembang menurut spesifisitasnya sendiri, dengan potensi fungsionalnya sendiri. Kedua, sebagai penghasil ASI untuk menghidupi dan memberi makan bayi yang baru dilahirkan. Ketiga, sebagai organ seksual. Keempat, yang paling bias, sebagai obyek keindahan visual tubuh perempuan.

Fungsi yang pertama dan yang kedua adalah fungsi biologis yang obyektif, sudah dari sananya. Fungsi yang ketiga, menurut saya fifty-fifty– sebagian obyektif, sebagian subyektif. Fungsi yang keempat seluruhnya bergantung pada “selera” yang subyektif, terutama selera publik di mana perempuan berada. Dan dalam subyektivitas inilah ruang untuk membentuk dan memelintir citra payudara terjadi.

Rupa-rupanya betul bahwa dorongan seks adalah dorongan purba yang sangat kuat dalam hidup manusia. Tak heran jika fungsi ketiga dan keempat dari payudara ini lebih banyak diungkit-ungkit, dibentuk, dipromosikan, dinilai sedemikian rupa. Maka jadilah payudara sebagai simbol seksualitas dan identitas perempuan dalam hidup sosialnya sehari-hari, bahkan mungkin lebih daripada vagina. Fungsi pertama dan kedua pun terdesak ke dalam gua.

Di kampung-kampung, masih sering ditemui ibu-ibu yang tak segan untuk menyusui anaknya di ruang publik. Kalau memerhatikan gerakan mereka, kelihatannya alamiah sekali. Tak canggung-canggung. Sealamiah ASI yang diproduksi kelenjar susu (mammae gland) dalam payudara, sealamiah itulah gerakan ibu-ibu itu mengangkat atasan yang dikenakannya sekalian dengan bra, lalu menyodorkan puting susunya yang membesar pasca melahirkan kepada si bayi yang menangis.

Sealamiah semua makhluk mamalia lainnya menyusui anak-anak mereka. Dan karena itulah mamalia disebut mamalia.

Di kota-kota, lain lagi ceritanya. Menyusui di ruang publik dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas. Orang-orang risih melihatnya. Maka dalam rangka mendukung kampanye ASI eksklusif, pemerintah pusat maupun  daerah menerbitkan peraturan yang antara lain mengatur ketersediaan fasilitas bagi ibu menyusui di ruang publik. Misalnya ruang khusus untuk menyusui atau memompa ASI di kantor-kantor dan fasilitas umum.

Sementara fasilitas-fasilitas seperti itu belum terealisasi, insiatif dari masyarakat sudah lebih tanggap. Dalam rangka menghindarkan pandangan risih yang sering menimpa ibu-ibu yang harus mengeluarkan payudaranya untuk menyusui di ruang publik, para penjual yang kreatif mulai memasarkan produk berupa apron menyusui. Bentuknya kain lebar dengan motif-motif cantik yang diselempangkan di bahu, menutupi daerah payudara. Di baliknya, si bayi bisa dengan “aman” menyusu.

Kita risih pada payudara. Risih melihat payudara yang terbuka, bahkan ketika ia sedang digunakan untuk salah satu fungsi biologisnya, yakni menyokong kehidupan seorang manusia muda. Di sisi lain, kita melontarkan joke tentang payudara dengan ringan dan biasa saja. Termasuk juga ikut menentukan, bentuk dan ukuran payudara yang bagaimana yang dianggap indah untuk dipandang mata.

Kembali ke “BIKINI” si makanan ringan. Seperti biasa, yang paling heboh dipermasalahkan oleh masyarakat kita adalah tentang kepornoan dalam segala hal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi daring yang keempat, lema “pornografi” diartikan sebagai: 1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi, atau 2. Bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi.

Perkara desain bungkus “BIKINI” tergolong pornografi atau tidak, bisa saja diperdebatkan sepanjang Bengawan Solo. Kalau referensinya KBBI, sih, tidak, karena di sana jelas tertulis syarat “sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi”. Saya yakin produsen “BIKINI” memproduksinya untuk dimakan, bukan dipakai coli. Entahlah kalau yang dipakai syarat agama, “budaya ketimuran”, atau apa pun itu yang setiap saat selalu dikedepankan perkara tubuh perempuan.

Yang jadi perhatian saya justru bukan pada gambar payudara yang tertutup bikini itu sendiri, melainkan tagline yang menyertainya. Maksud aslinya tentu saja pembeli disuruh meremas mi kering yang ada dalam kemasan sebelum dikonsumsi.

Tapi, mengingat konteks payudara yang dijadikan simbol seksualitas perempuan di masyarakat kita, rasanya cuma orang buta dan bayi yang tidak akan ngeh pada nuansa seksual yang tersirat saat melihat tulisan “Remas Yuk” plus emoji bentuk hati di samping gambar payudara besar berbikini. Ngeh tak sama artinya dengan kepingin coli, lho, ya.

Geez, anak-anak SD yang lari-larian main bola di kampung tempat saya bekerja saja ikut tertawa-tawa kalau mendengar, “Totok, Maaak….”

Tapi memang sepertinya itulah tujuan utama dari desainer kemasan “BIKINI”: membuat orang ngeh, lalu mudah mengidentifikasi, penasaran, dan akhirnya membeli. Dan manusia adalah makhluk yang sangat gemar akan simbol. Dalam urusan dunia perdagangan dan industri makanan ringan ini, fungsi seksual dari payudara lagi-lagi menjadi simbol yang dikapitalisasi.

Tidak ada yang salah dari memiliki payudara, menggambar payudara, menyusui dengan payudara, bangga memiliki payudara, menunjukkan kalau kita punya payudara dengan memakai bikini. Tidak ada yang salah pula dengan meremas payudara, atau memiliki payudara yang memberikan sensasi memuaskan jika diremas. Tidak ada yang salah dari keberadaan, bentuk, dan fungsi payudara, termasuk sebagai organ seksual.

Yang jadi masalah adalah jika payudara hanya dikaitkan dengan urusan yang itu-itu melulu, dilekatkan dengan dan dipersempit dalam citra tertentu, serta dijadikan obyek untuk menarik perhatian dengan mengabaikan identitas perempuan sebagai pribadi – sebagai subyek – yang memilikinya.

Ada yang bilang, desainer “BIKINI” adalah orang-orang kreatif yang semestinya tidak dipenjara oleh para polisi moral yang paranoid pada tubuh perempuan. Bisa saja demikian. Masalahnya, kreativitas mereka hanya sampai level sekian. Tidak jauh beda dengan kampanye partai politik yang menggunakan penyanyi dangdut perempuan bergaya seksi sebagai magnet massa. Kreativitas yang kasar, kalau istilah “mengobyektivikasi” terlalu sulit dipahami.

Malah menurut saya masih lebih kreatif mang-mang penjual mi tektek keliling yang rutenya melewati kompleks rumah papa saya. Ia mengganti bunyi tektek metalik yang standar menjadi dogdog, hasil pukulan kayu yang menjadi identitasnya. Rasa masakannya pun enak. Jadilah ia penjual mi dogdog yang selalu ditunggu-tunggu papa saya. Nyaris setiap malam papa saya memasang kuping supaya tidak kelewatan membeli.

Pada akhirnya, biarpun sempat dahi ini berkerut-kerut termasuk saat mengerjakan tulisan ini, saya masih menganggap kehebohan “BIKINI” sebagai sesuatu yang layak ditertawakan. Lha, gimana, sih, Put. Katanya feminis. Kasus begini, kok, ditertawakan, bukannya dikecam?

Habis bagaimana, dong. Level masyarakat kita kenyataannya memang masih segini-segini saja. Di satu sisi, kreativitas kita mentok sampai harus jualan sensasi seksualitas payudara. Di sisi lain, nalar kita mentok sampai harus jiper pada seksualitas payudara yang berpotensi merusak moral bangsa.

Segala sesuatu yang levelnya mentok, enaknya, ya, ditertawakan saja…. Toh?

#LombaEsaiKemanusiaan

Putri Widi Saraswati

Penggemar membaca, menulis, dan wacana aneh-aneh - misalnya humanisme dan kesetaraan gender. Bukan penggemar berat tren moralitas kekinian - sayangnya, ia seorang dokter.

Ketika Payudara Cuma untuk Diremas

Tentang Kita dan Snack "BIKINI"

Saya Kurus dan Saya Tidak Terjajah

$
0
0
Foto: mcsearcher.com

Di laman Qureta, saya membaca sebuah tulisan karya Arjuna Putra Aldino yang judulnya begini, “Gendut itu Cantik”. Dari judulnya saja tentu kita semua sudah dapat menebak isinya. Wacana perlawanan terhadap “Kurus itu Cantik”. Di dalam tulisannya, penulis membahas mengenai lirik lagu Meghan Trainor yang berjudul All About That Bass.

Lagunya cukup populer dan tentu saja kita sama-sama tahu liriknya-–jika pada saat Anda membaca ini, Anda belum tahu liriknya, saya percaya Anda bisa buka Google. Lagu tersebut ditutup dengan kalimat, “Every inch of you is perfect from the bottom to the top” dan penulis menambahkan, “so, don’t worry about your size”.

Sebagai seorang pengagum karya-karya Fraser, Wollstonecraft, dan MacKinnon, sebagian besar orang akan menduga saya ada di pihak mas Arjuna, menyoal polemik standar cantik ini. Sayang sekali, inilah titik di mana saya memilih untuk menyampaikan keberatan saya. Setelah bertubi-tubi membaca tulisan senada.

Cantik sebagai Penanda Kosong

“Cantik” ini memang sebuah empty signifier. Saya tidak percaya ada sebuah ontologi murni melekat padanya, terutama karena ia bukanlah sebuah matter–-tidak dapat diinderakan. Ia justru adalah bentukan dari hasil penginderaan atas matter; seperti tubuh berlemak, payudara sebesar kepalan tangan, bibir berwarna merah mudah seperti bunga bougainvillea, mata berwarna biru langit, atau kulit putih seperti orang-orang Kaukasian.

Kitalah yang memaparkan nilai “cantik” itu terhadap gejala-gejala fenotipe manusia. Sebelum bergerak lebih jauh, kita akan sepakat pada asumsi dasar bahwa “cantik” merupakan suatu ukuran yang dipakai untuk menilai penampakan fisik perempuan.

Asumsi dasar ini juga saya adopsi dari tulisan mas Arjuna. Sesuai dengan judulnya, “Gendut itu Cantik”, di mana “gendut” adalah penampakan fisik, maka kita dapat bersepakat bahwa “cantik” merujuk pada peniliaian atas penampakan fisik.

Di awal saya menyebut “cantik” sebagai sebuah empty signifier atau penanda kosong. Laclau yang mengenalkan saya pada istilah tersebut. Penanda kosong ini merujuk pada hal-hal yang sifatnya ideas bukan matter, di mana ia tidak dapat diinderakan, sehingga akan muncul banyak pemaknaan terhadap keberadaannya yang berupa signified atau pertanda–semacam ciri-ciri atau indikator. Kita ambil contoh saja “Tuhan”.

Teman saya yang beragama Kristen bilang Tuhan itu “berambut gondrong, berkulit putih, bernama Yesus”. Ketiga ciri-ciri tersebut adalah apa yang kita sebut sebagai pertanda. Teman saya yang beragama Islam bilang Tuhan itu “sebuah zat, tidak dapat dilihat, tidak beranak dan diperanakkan”. Nah, tampak bahwa pertanda dari kedua teman saya itu berbeda, bukan? Begitulah yang terjadi pada kata “cantik”.

Mas Arjuna mungkin bilangnya cantik itu “gendut”, petingginya Victoria’s Secret mungkin bilangnya cantik itu “kurus”. Perebutan makna ini, menurut Laclau, selalu memunculkan satu yang hegemoni, itulah yang disebut oleh mas Arjuna sebagai logosentrisme.

Kurus sebagai Pilihan

Sebuah pertanda dikatakan hegemoni ketika ia mendominasi pemaknaan terhadap penanda kosong secara universal. Tentu saja kita dapat dengan mudah melihat fakta bahwa industri kecantikan didominasi oleh “kurus” sebagai pertanda “cantik”. Terlihat jelas bahwa mas Arjuna dan pendukungnya mencoba membuat wacana perlawanan dengan mengenalkan “gendut itu (juga) cantik”.

Di dalam wacana perlawanannya, mas Arjuna membawa asumsi dasar bahwa semua perempuan yang berusaha menjadi “kurus” adalah perempuan korban konstruksi arus utama dan katanya “melakukan perawatan diri dengan satu tujuan, yaitu untuk memikat laki-laki”. Bagi saya, ini adalah penghinaan terhadap pilihan perempuan dan tidak lain merupakan bentuk kolonialisme yang sama busuknya dengan apa yang dibicarakan oleh mas Arjuna dalam tulisannya.

Mas Arjuna menempatkan perempuan yang memilih menjadi “kurus” sebagai perempuan terjajah dengan cara yang sama seperti beberapa feminis anti-Islam yang menempatkan perempuan berjilbab sebagai perempuan terjajah. Mas Arjuna menafikkan adanya will dari perempuan sebagai individu yang otonom.

Hal itu tentu saja menunjukkan gejala kolonialisme; mengabaikan otonomi individu. Apalagi di dalam artikelnya, dituliskan bahwa “walaupun ia memilih gaya hidup sebagai perempuan modern yang berpendidikan, berkarier, dan bergaya hidup perempuan masa kini, namun ia tak mampu melepaskan diri dari jerat “kolonialisasi” atas tubuh mereka”.

Mas Arjuna secara seenaknya menempatkan “berpendidikan dan berkarier” berkontradiksi dengan “kurus”. Bahwa jika saya berpendidikan, berkarier, dan saya masih kurus, saya tidak masuk dalam pola pikir perempuan modern yang anti wacana kecantikan arus utama.

Melestarikan Cantik sebagai Penanda Kosong

Mas Arjuna tampaknya berdiri bersama dengan para promotor “everyone is beautiful” yang hemat saya, sangat naif. Secara manusiawi, kita secara alamiah memiliki preferensi, entah itu hasil konstruksi atau adonan genetik. Saya kenal banyak laki-laki dan sebagian dari mereka tidak bisa dipaksa untuk mengatakan bahwa perempuan yang berlemak itu cantik atau perempuan yang kurus seperti model itu cantik.

Sebagian dari mereka memuja yang chubby dan penuh lemak, sebagian lagi memuja yang sebaliknya. Maka, wacana “semua orang cantik” ini akan dapat berlaku di tingkat individual, tetapi tidak secara kolektif. Begitu juga dengan wacana “gendut itu cantik” atau “kurus itu cantik”.

Sebagai sesama pertanda yang mencoba memaknai penanda kosong, saya rasa ada baiknya semuanya tetap dilestarikan. Saya mendukung semangat memunculkan wacana-wacana baru, termasuk “hitam itu cantik”, “berwarna itu cantik”, ataupun “gendut itu cantik”, tanpa semangat menghilangkan wacana lawannya.

Jadi, sekalipun saya datang dari fron pembela perempuan berpendidikan dan berkarier yang kurus, saya tidak akan mengatakan bahwa perempuan gendut adalah perempuan terjajah yang termakan propaganda Amerika dan Yahudi. I’m a pro-choice by nature.

Bagi saya, gendut itu tidak cantik dan juga tidak sehat. Tetapi, gendut itu pilihan. Gerakan keadilan gender sejatinya memperjuangkan akses terhadap pilihan-pilihan hidup yang setara antara perempuan dan laki-laki. Jika laki-laki dapat merasa bebas untuk menjadi kurus ataupun gendut, perempuan juga demikian.

Sebagaimana Dove memiliki kebebasan untuk mengampanyekan “putih itu cantik” dan Dark is Beautiful memiliki kebebasan untuk mengampanyekan “berwarna itu cantik”, demikianlah promotor “cantik itu gendut” bebas untuk membuat panggung baru di industri kecantikan dan bertempur melawan Victoria’s Secret Fashion Show yang diisi oleh perempuan-perempuan kurus.

Demi menjaga persaingan ini berjalan seadil-adilnya, pasar harus selalu dikondisikan sebebas-bebasnya. All hail Adam Smith!

Catatan: Mas Arjuna, nothing’s personal ya. Looking forward to meet you IRLWith Love, Cania.

Cania Citta Irlanie

A disciple of individual liberty and humanity | A senior-year student of Political Science at Universitas Indonesia | Ask me: Ask.fm/Cittairlanie | Email me: cittairlanie@gmail.com | My archive: www.cittairlanie.tumblr.com

Saya Kurus dan Saya Tidak Terjajah

Tubuh Perempuan yang Merdeka

$
0
0
Perempuan tidak boleh menjadi budak dari dan bagi tubuhnya. (Sumber: nigeriatoday.ng)

Membicarakan tubuh perempuan sama seperti episode Tukang Bubur Naik Haji yang seakan never ending story: penuh drama, sensasional, dan tak lengkap rasanya bila tak dibaluri bumbu seksualitas. Namun hampir pasti (walau tidak semua) para feminis dan aktivis gerakan perempuan meyakini, segala yang menyangkut tentang perempuan adalah hasil dari konstruksi patriarkat.

Baru-baru ini juga saya membaca artikel di Qureta tentang tubuh perempuan yang kurus dan gemuk. Kemudian saya menjadi heran, sesempit itukah topik pembahasan tentang perempuan, sehingga tak ada isu menarik lain yang dapat diperbincangkan tentang perempuan selain tubuhnya?

Antara Fungsi Biologis dan Konstruksi Sosial

Sudah takdir Yang Maha Kuasa bahwa anatomi perempuan terdiri memiliki payudara, rahim, dan vagina yang dapat mendukung fungsinya untuk melahirkan manusia baru. Sistem dan struktur sosial politik kemudian mengonstruksi perempuan sebagai makhluk yang memiliki fungsi maternitas, dengan arti kata menjadi seorang ibu.

Evolusi sosial kemudian memandang perempuan tak lebih dari sekadar kegunaan alat reproduksi yang akhirnya berujung pada pemikiran domestifikasi perempuan. Tak heran jika pada akhirnya peran perempuan, bahkan hingga hari ini, masih dibatasi hanya untuk mengurus hal-hal yang sifatnya domestik. Sedangkan ranah publik tetap didominasi oleh laki-laki.

Perlawanan tentunya timbul dari kaum perempuan, terutama tuntutan untuk memiliki peran yang sejajar dengan pria di ruang publik dan politik. Sayangnya, gerakan feminisme yang sering mewacanakan tentang tubuh pada akhirnya membuat perempuan tetap tidak bisa merdeka dengan badannya sendiri.

Alih-alih tampil percaya diri di depan publik atas kontribusi tindakan dan pemikiran, masih banyak perempuan yang (menurut saya) berpikiran dangkal dengan terbelah pada dikotomi tubuh kurus ala angel Victoria’s Secret atau Barbie, dan tubuh montok/gemuk seperti realitas yang dihadapi para perempuan.

Konten media semakin mempertajam jurang pemisah dengan mengonstruksikan gambaran idealis tubuh perempuan. Banyak gerakan netizen di media sosial yang membanggakan kekurusan mereka. Kasus ekstrem seperti yang terjadi di Tiongkok, di mana para perempuan di sana kerap menampilkan foto tulang selangka dengan koin, atau mengukur lingkar perut mereka yang setipis kertas HVS.

Come on girls! “Dogs” love bones, but “humans” love meats. Do you want to be loved by “dogs”?

Terpenjara oleh Tubuh

Selama ini para aktivis perempuan atau feminis kerap beranggapan jika konstruksi tubuh ideal perempuan adalah bentuk dari langgengnya kekuasaan patriarkat yang terus menekan perempuan untuk tunduk dalam hegemoni perspektif maskulin. Maka dari itu muncul pemikiran jika perempuan menyesuaikan bentuk tubuhnya untuk menjadi seperti apa yang diinginkan lelaki.

Jika memang perempuan sudah merdeka, mengapa harus ambil pusing untuk bisa tampil memukau para pria? Membentuk tubuh sesuai apa yang ‘diperintahkan’ oleh iklan kecantikan justru menjadikan perempuan sebagai budak yang pemikirannya diarahkan. Tidak ada independensi dalam menciptakan dan mengkreasikan versi cantik ala diri sendiri.

Itu juga semakin menekankan bahwa hanya tubuh lah aset yang dimiliki oleh perempuan untuk bisa eksis dalam pergaulan sosial. Padahal banyak perempuan yang hanya bermodalkan pemikiran dan ide untuk mengubah lingkungan, hingga akhirnya bisa menduduki posisi penting dalam perusahaan dan strata sosial.

Melawan patriarkat bukan dengan cara menampilkan foto telanjang yang sering disimbolkan sebagai kebebasan perempuan terhadap tubuhnya. Bukan berarti juga dengan menimbun kilogram dengan makanan berlemak sehingga bisa menyebabkan obesitas dan penyakit kardiovaskular lainnya.

Terbukanya kesempatan yang setara bagi perempuan untuk berkiprah dengan lelaki, sekaligus meningkatnya kesadaran perempuan di seluruh dunia tentang hak asasi manusia, semestinya bisa menjadikan perempuan independen serta matang dalam pemikiran dan sikap.

Lawan semua stigma tentang tubuh perempuan dengan memperjuangkan hak-hak perempuan!

Anneila Firza Kadriyanti

Alumni Ilmu Komunikasi FISIP UI angkatan 2009 (S1) dan 2013 (S2). Pernah menjadi redaktur di Tabloid PERSKITA terbitan Serikat Perusahaan Pers (SPS), dan editor di portal Selasar.com. Sempat pula mengajar jurnalistik, komunikasi politik, dan sistem politik di Universitas Bunda Mulia. Saat ini berupaya menjadi full time mother, namun tetap aktif menulis dan mengamati isu-isu seputar persoalan media, perempuan, dan politik.

Tubuh Perempuan yang Merdeka

Menghadirkan Politik Perempuan yang Otentik

$
0
0
theweek.com

Mungkin bukan sesuatu yang baru soal keterwakilan politik perempuan dalam panggung politik elektoral Indonesia. Berbarengan dengan hiruk pikuk pesta demokrasi lima tahunan, kalangan aktivis perempuan tampaknya lebih fokus dan konsisten untuk memperjuangkan kuota 30 persen representasi politik perempuan sebagai agenda perjuangan bersama.

Perjuangan politik perempuan dimaknai dengan perjuangan meraih kursi di parlemen. Dengan asumsi, apabila perempuan berhasil meraih kursi sebesar 30 persen maka perempuan mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara. Atau kebijakan negara yang dulu kental diwarnai narasi-narasi politik laki-laki dapat diisi dengan pikiran-pikiran politik berbasis gender.

Geliatnya pun mengemuka, nyaris semua elemen perempuan dari aktivis hingga selebriti mengarahkan hampir seluruh energi politiknya ke satu titik yakni mengupayakan representasi politik perempuan yang lebih proporsional, adil, dan setara. Dan bukan hal yang aneh pula, wacana representasi politik perempuan kian nyaring dan menggema bukan tanpa sebab, melainkan sejalan dengan bergulirnya “liberalisasi politik” pasca reformasi 1998.

Tak salah memang, hal ini merupakan respon dari politik rezim orde baru yang otoritarian dan hegemonik dimana kultur “politik lelaki” menjadi struktur atas dari bangunan budaya politik rezim ini. Perempuan diperbolehkan melakukan peran sosial-politiknya,akan tetapi di bawah kendali ketat negara korporatis.

Budaya politik Orde Baru yang kental dengan corak “bapakisme” membuat gerakan perempuan menjadi ewuh pekewuh untuk lebih tampil dan berperan dalam kehidupan bernegara. Bahkan gerakan perempuan nyaris tenggelam di arus kekuasaan yang berwatak patrimonial. Isu-isu keadilan gender tertelan oleh wacana stabilitas politik dan pembangunan. Tak hanya itu, gerakan perempuan di era ini, justru menjadi bagian yang integral dari kekuasaan rezim.

Organisasi perempuan seperti Kowani, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK hanya menjadi corong Orde Baru, seperti mendukung program keluarga berencana dan mendukung Golkar untuk memenangkan pemilihan umum selama Orde Baru berkuasa 36 tahun. Gerakan perempuan tak lekang dari upaya kontrol dan memperkokoh kekuasaan rezim.

Bahkan di era ini, ada tiga konsep yang digalang oleh Kowani yaitu Istri, Ibu dan Pelayan Negara, dimana Kowani sebagai mitra orde baru bersama organisasi istri pegawai negeri dan istri korp militer bergabung memperkuat rezim Orde Baru dibawah naungan Golkar. Wajar jika pasca rezim otoritarian tumbang gerakan wanita yang menyuarakan keterwakilan politik perempuan dalam panggung politik mulai bersemai dan bergema keras. Namun hal ini tak juga luput dari masalah.

Ketika kuota 30 persen representasi politik perempuan sudah berhasil di raih, ia terbentur oleh permasalahan yang juga menghinggap demokrasi elektoral kita. Data Puskapol UI menunjukan bahwa 36% anggota legislatif perempuan terpilih karena politik kekerabatan dengan elit yang berkuasa.

Caleg perempuan yang menang umumnya adalah figur yang memiliki jaringan kekerabatan dengan elit politik dan elite ekonomi. Sebagian besar dari mereka adalah adik, kakak, ataupun istri dari penguasa/pejabat politik, elite ekonomi serta petinggi partai politik yang mencalonkan mereka.

Fenomena ini juga menandakan sempitnya landasan rekruitmen caleg perempuan oleh partai. Rekruitmen caleg perempuan tak di ukur melalui intensitas keterlibatan caleg secara aktif dalam partai termasuk juga rekam jejak selama menjadi anggota partai serta kompetensi mereka dalam memperjuangkan aspirasi politik masyarakat. Namun semata-mata hanya mencakup hubungan kekeluargaan melalui pernikahan (isteri pejabat politik ataupun petinggi partai politik) serta anak-anak dan saudara mereka.

Akibatnya perjuangan kesetaraan gender melalui keterwakilan politik perempuan dalam panggung politik justru terperosok dalam perangkap politik dinasti. Didominasinya basis keterpilihan caleg perempuan berlandaskan kekerabatan justru menegaskan ketergantungan perempuan pada basis kekuasaan laki-laki. Sehingga yang ada justru pelestarian relasi kuasa yang senjang secara politik maupun sosial antara perempuan dan laki-laki.

Akhirnya kehadiran perempuan dalam politik sebatas menjadi fungsi penggalang suara dalam upaya merebut kekuasaan dan memenangkan kontes pemilihan umum. Perjuangan politik perempuan hanya diperalat oleh drama para elite politik. Sehingga keterwakilan perempuan dalam politik hanya sekedar ada, semata-mata hanya sekedar memenuhi kuota.

.Di tengah kondisi semacam ini, sulit kita berharap perempuan untuk bersuara kritis dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang mengarah pada emansipasi perempuan. Kenyataannya, implementasi politik perempuan masih hanya sebatas pemenuhan syarat administratif agar partai dapat meloloskan diri untuk ikut dalam pemilu.

Membidik Persoalan dan Mencari Penyelesaian

Tingginya ketergantungan politik perempuan pada basis kekuasaan laki-laki merupakan akibat logis dari adanya “politik kekerabatan” dalam basis rekruitmen calon legislatif. Namun adanya politik kekerabatan dalam basis rekruitmen calon legislatif, juga bagian dari akibat sempitnya landasan rekruitmen calon legislatif yang dilakukan oleh partai. Bahkan hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah pertanda adanya “stagnasi” proses kaderisasi di dalam partai politik. Dengan kata lain, mesin kaderisasi didalam partai politik mengalami kemandekan. Sehingga landasan rekruitmen pun mengalami penyempitan, hanya sebatas kekerabatan.

Namun hal ini tak bisa dilepaskan dari persoalan adanya konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elite di dalam partai. Dengan adanya konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir orang di dalam partai membuat pencalonan pejabat publik yang diusung oleh partai politik mengabaikan kriteria pemimpin ideal yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan publik.

Atau bisa dikatakan rekruitmen wakil rakyat tidak berlandaskan pada kapabilitas dan integritas seseorang namun kaderisasi dan rekruitmen didalam partai hanya sebuah wujud dari “patronase politik” dimana rekruitmen politik pada kenyataannya lebih merupakan praktek kompetisi di antara berbagai jaringan patron-klien.

Sehingga mereka yang tidak memiliki koneksi dengan orang dalam seperti kelompok-kelompok minoritas, ataupun mereka yang tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan kepada sang patron, tak mampu bersaing di arena politik. Maka hal ini mengakibatkan rekruitmen yang dilakukan oleh partai rawan dengan politik transaksional yang hanya melibatkan segelintir orang di dalam partai.

Bahkan yang paling berbahaya, mereka yang berkuasa cenderung akan menyingkirkan setiap kemungkinan munculnya kontestasi, terutama dari elite alternatif yang ingin melakukan manuver perubahan. Para penguasa dengan sekuat tenaga akan menghambat munculnya jenis aktor baru yang berpotensi menandingi kekuasaannya. Sehingga partai politik mengalami atrophia (kemandekan) bahkan “patologi struktural” yang mengarah pada kecacatan di dalam tubuhnya sendiri.

Untuk itu, jalan satu-satunya untuk mengubah hal ini yakni adanya perubahan didalam tubuh partai politik itu sendiri. Terutama diselenggarakannya demokrasi didalam internal partai untuk memecah terkonstrasinya kekuasaan ditangan segelintir orang yang berkuasa didalam partai. Dengan kata lain, partai politik sebagai pilar demokrasi, juga harus melakukan upaya demokratisasi didalam internal dirinya sendiri.

Begitu pula mendesak untuk dilakukannya reformasi internal partai politik yang mengarah pada perluasan basis rekruitmen perempuan yang berlandaskan pada representasi politik. Sehingga partai politik benar-benar dapat menghadirkan kepentingan perempuan.

Hal ini juga penting mengingat politik saat ini mengandung bahaya adanya “privatisasi politik” dimana kebijakan publik yang diambil oleh para pemegang kekuasaan seringkali hanya diperuntutkan untuk kepentingan dirinya. Bukan untuk kebaikan orang banyak (common good). Artinya, upaya ini penting untuk mengembalikan politik kepada makna harafiahnya sebagai upaya bersama mengatur kehidupan publik.

#LombaEsaiPolitik

Arjuna Putra Aldino

Penulis dan Peneliti Aktif di Areta Sanggar, Komunitas Diskusi Filsafat dan Ekonomi-Politik. Pernah belajar di Universitas Negeri Yogyakarta, Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.

Menghadirkan Politik Perempuan yang Otentik

Reformasi Partai dan Politik Perempuan

Perempuan Sunda dalam Legenda dan Mitos

$
0
0
Tanah Priangan (Sumber: Wikipedia)

Setiap tempat mempunyai kisahnya sendiri. Ada yang menamainya legenda, ada juga yang meyakininya sebagai mitos. Cukup banyak tempat yang dibangun dengan legenda perempuan, salah satunya Tiongkok. Diceritakan sebelum ada manusia di bumi hiduplah Dewi Nuwa.

Dewi Nuwa berwujud setengah perempuan dan setengah ular. Suatu hari dewi Nuwa beristirahat di pinggir sungai dan merasa kesepian seorang diri. Ketika sedang beristirahat di pinggir sungai diraupnya tanah liat kuning dari dasar sungai. Tangannya pun sibuk membentuk tanah liat yang basah. Dewi Nuwa membentuk patung berwujud manusia laki-laki dan perempuan kemudian patung tanah liat tersebut hidup dan memenuhi Bumi. Dewi Nuwa pun tidak kesepian lagi.

Begitupun Sunda, sama halnya seperti Tiongkok. Sunda memiliki legenda dengan tokoh perempuan. Mungkin hanya sedikit yang tahu tentang kedudukan perempuan yang sangat berarti dalam Sunda. Perempuan dalam Sunda diibaratkan sebagai ibu dan kehidupan.

Tokoh Dayang Sumbi meskipun sebagai tokoh pendamping Sangkuriang tetapi perannya sangat penting. Dayang Sumbi melekat kuat dalam ingatan orang Sunda. Perempuan yang rajin menenun, cantik dan tidak pantang menyerah. Dalam cerita tradisi lisan yang menggambarkan kehidupan legendaris dan mitologis, Dayang Sumbi digambarkan sebagai manusia biasa. 

Memang tidak ada sumber yang menyebutkan secara jelas waktu dan tempat kejadian tentang cerita Dayang Sumbi. Menurut Edi S. Ekadjati keberadaan Dayang Sumbi dipercayai sebagai kebenaran, bukan dibuktikan sebagai kebenaran. Setidaknya karakter Dayang Sumbi yang kuat (tidak cengeng) bisa dijadikan salah satu cerminan tentang sifat perempuan sunda dahulu.

Selain Dayang Sumbi, masyarakat Sunda juga hidup dalam mitos tentang Nyi Pohaci. Jakob Sumardjo dalam bukunya Sunda Pola Rasionalitas Budaya bercerita tentang Nyi Pohaci yang lahir dari sebutir telur. Telur tersebut berasal dari tetesan air mata dewa Naga Anta yang mempunyai bentuk ular.

Naga Anta tidak bisa membantu dewa guru membangun istananya. Untuk menebus rasa bersalahnya maka tiga telur tersebut diserahkan kepada dewa Guru yang berada di dunia atas.

Dewa Anta sendiri berasal dari dunia bawah. Salah satu telur berhasil mencapai dunia atas. Setelah Dewa Naga Anta mengeraminya maka lahirlah Bayi perempuan yang diberi nama Nyi Pohaci, dan disusui oleh istri dewa Naga Anta yaitu Dewi Umah.

Nyi Pohaci memiliki nama lain yaitu Sunan Ambu. Tidak ada sumber yang menyebutkan pada usia keberapa Nyi Pohaci meninggal. Jasad Nyi Pohaci dikuburkan di dunia tengah kemudian dari kuburannya tumbuhlah beragam tanaman yang amat berguna bagi manusia sunda.

Kepalanya menjadi pohon kelapa, Mata kanannya menjadi padi biasa (putih). Mata kirinya menjadi padi merah. Hatinya menjadi padi ketan. Paha kanan menjadi bambu aur. Paha kiri menjadi bambu tali. Betisnya menjadi pohon enau. Ususnya menjadi akar tunjang. Rambutnya menjadi rumputan.

Manusia sejatinya lahir dari hubungan seksual lelaki dan perempuan. Tetapi Nyi Pohaci bukan hasil kerja seksual siapa pun. Nyi Pohaci berasal dari setetes air mata Dewa Anta, jadi aseksual atau nonseksual, itulah sebabnya ia keramat. Dan yang keramat itu akan membawa berkat bagi manusia. Sebagai contoh: ketika kita mengeramatkan pepohonan, maka kita tidak akan sembarangan menebang pohon, alam pun akan lestari tak ada banjir dan longsor.

Tidak mengherankan jika masyarakat Sunda sangat suka memakan sayuran mentah atau dikenal dengan nama lalapan. Sayuran yang mereka petik sendiri dari kebun. Di tiap-tiap rumah warga ditanami beragam sayuran. Hal ini sudah terjadi berlangsung lama, turun temurun. Leluhurnya menurut mitos adalah sang dewi padi (pohaci), dewi kesuburan.

Kisah tentang Nyi Pohaci memberikan arti yang sangat dalam untuk orang Sunda. Tanaman lahir dari tubuh perempuan, perempuan yang berasal dari dunia bawah lalu dibawa ke dunia atas dan di turunkan di dunia tengah (dunia manusia) untuk memberi kehidupan pada manusia.

Nyi Pohaci tidak hanya dijadikan sebagai simbol ketulusan sang pemilik dunia atas terhadap perempuan dan terhadap manusia (dunia tengah) tetapi juga simbol kelestarian alam dan kehidupan berasal. Herry Dim dalam jurnal panggung tahun 2004 menyebutkan bahwa orang Sunda menempatkan konsep kesemestaan sebagai Rahim. Kita atau kehidupan atau yang berdiam di dunia tengah bertugas untuk membuahinya. .

Dalam karya sastra Sunda lama ada tokoh Purba Sari Ayu Wangi, yang merupakan putri bungsu dari Prabu Tapa Ageung dengan permaisurinya Nitisari dari kerajaan Pasir Batang Anu Girang. Purba sari diceritakan sebagai putri yang cantik jasmani dan rohani. Kecantikannya memikat dewata. Ketika Purba Sari mendapat ketidakadilan, penguasa langit memberikan perlindungannya.

Dalam cerita Lutung Kasarung disebutkan penguasa langit adalah seorang wanita. Dialah Sunan Ambu atau Nyi Pohaci. Ambu adalah ibu, indung dan sunan adalah sebutan untuk orang yang dihormati di atas kepala. Purba Sari selalu mendapat panduan untuk hidup berladang dari Sunan Ambu melalui mimpinya.

Sama halnya dengan Dayang Sumbi, tokoh Purbasari pun dijadikan represensi perempuan Sunda zaman dahulu. Penyabar, gemar bertapa dan suka mengalah. Saya teringat, bapak saya selalu berkata, "Indung mah kudu dijunjung, Bapa kudu dipuja Indung nu ngakandung, Bapa nu ngayuga."

Sunda merupakan sebuah budaya yang menjunjung tinggi perempuan. 

Rena Asyari

Pengajar, dan founder Seratpena, sebuah perpustakaan dan pengenalan sastra dan seni untuk anak

Perempuan Sunda dalam Legenda dan Mitos

Tulang Punggung Keluarga itu Bernama Perempuan

$
0
0
google.com

Berbicara tentang perempuan tidak ada habisnya karena topik perempuan merupakan pembicaraan yang seksi. Menurut KBBI online, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita.

Sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang perempuan selalu mempunyai peranan. Terlepas itu peran penting, peran menengah atau peran kecil-kecilan. Sejatinya menjadi perempuan adalah kodrat bukan pilihan. Oleh karenanya tidak pantas rasanya membeda-bedakan peranan antara satu perempuan dengan perempuan lainnya.

Saya merasa heran kenapa ada perempuan justru malah saling menyalahkan antar sesamanya. Contohnya kasus poligami, kerapkali yang disalahkan selalu istri kedua atau WIL-nya yang dicap sebagai perebut suami orang atau istri yang tidak becus mengurus suami sehigga berpaling kepada perempuan lain, padahal sang suami juga ikut andil dalam hal ini.

Atau dalam kasus perkosaan yang jadi perbincangan di Indonesia beberapa bulan belakangan ini, sebagian besar yang disalahkan pihak perempuan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan pemahaman orang-orang?

Oke, saya berusaha menyoroti perempuan-perempuan dari aspek lainnya. Sejak kecil saya diasuh oleh perempuan-perempuan tangguh, hal ini dikarenakan saya adalah produk keluarga broken home​. Bapak dan ibu saya bercerai ketika saya belum bisa mengingat usiasaya berapa waktu itu.

Saya diasuh oleh beberapa perempuan yaitu ibu, nenek, nenek buyut, bibi, uwak, dan pengasuh-pengasuh sukarela. Saya dikatakan delan alias gede di jalan karena kerapkali menginap berpindah-pindah diantara saudara yang mengasuh saya.

Yang saya ingat dari perempuan-perempuan di sekitar saya waktu kecil itu sungguhlah hebat-hebat, selain mereka berperan sebagai ibu rumah tangga, mereka juga berdaya. Inilah yang menjadi bekal dalam perubahan mindset saya di kemudian hari.

Nenek dan nenek buyut saya adalah petani/pekebun. Ketika musim panen tiba mereka menjual sebagian besar hasil panen dan menyimpan beberapa karung padi untuk untuk makan sehari-hari sampai musim panen berikutnya tiba.

Tidak pernah mereka mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Untuk lauk dan konsumsi sehari-hari cukuplah mengambil hasil sayuran atau buah-buahan di halaman depan atau belakang rumah. Sesekali makan dengan telur atau daging ayam kampung yang kandangnya dekat dengan kebun.

Uwak perempuan saya yang suka saya inapi rumahnya, seorang penjahit. Saya suka memperhatikan ketika dia bekerja. Bahkan saya suka mencuri-curi belajar menjahit ketika mesin jahitnya tidak sedang digunakan. Alhasil, jarum mesin jahitnya menancap di jari telunjuk kiri saya.

Uwak mengumpulkan hasil jerih payahnya untuk membeli perhiasan emas. Sekali-kali apabila dibutuhkan bisa dijual kembali, karena waktu itu belum banyak bank yang beroperasi di daerah kami.

Pun ibu saya yang saya sebut wonder woman dan hero bagi saya. Beliau setelah menikah lagi tidak bisa seratus persen mengandalkan penghasilan suaminya sebagai petani. Apalagi ketika saya menginjak usia sekolah, mulai SD, SMP sampai SMEA (sekarang SMK), pontang panting mencari sumber biaya sekolah saya, maklum waktu itu belum ada dana BOS atau BOSDA untuk siswa. Jadi siswa harus membayar DSP dan SPP.

Saya tahu beliau harus menjual beras di pendaringan untuk bayar SPP sekolah atau harus pinjam uang sana sini untuk membeli buku pelajaran. Bahkan profesi sebagai tukang kredit pun beliau jalani demi kelangsungan pendidikan saya. Itulah sebabnya saya balas pengorbanan ibu dengan prestasi di sekolah. Di SD saya selalu ranking satu, saya ikut kegiatan pramuka, dokter kecil, lomba membaca cepat sampai pertandingan catur untuk membuktikan bahwa saya bisa.

Tidak habis di situ saja, perempuan-perempuan hebat yang saya kenal lainnya adalah beberapa single parent yang dicerai suaminya, ditinggal kawin lagi, pernikahan dini atau sebab lainnya. Waktu itu belum banyak pilihan pekerjaan untuk perempuan seperti zaman sekarang. Karena kurangnya pendidikan, ibu tunggal itu harusmencari pekerjaan sesual skill nya, rata-rata mereka menjadi TKW (sekarangTKI) ke Arab Saudi atau negara timur tengah lainnya.

Mereka menitipkan anak-anaknya ke orang tua atau sanak keluarganya. Setiap beberapa bulan sekali mereka mengirim uang, kerap kali uang yang dikirimkan berjumlah besar sehingga bisa dipakai untuk merenovasi rumah bahkan membangun rumah dari semula berdinding gedek menjadi dinding batu bata yang permanen.

Apabila habis kontrak mereka pulang dengan seabreg oleh-oleh. Bisa berupa pakaian dan aksesoris majikan yang sudah tidak terpakai tetapi masih layak pakai. Atau sekedar makanan berupa kurma, permen, coklat dan makanan ringan lainnya. Bahkan tidak jarang sepulang jadi TKW mereka bergelar hajah setelah di umroh/haji kan oleh majikannya. Tidak heran waktu itu ada istilah gelar haji atau hajah TKW/TKI.

Beberapa tahun kemudian ketika Indonesia mulai beranjak dari negara agraris menjadi negara industri, mulailah adanya profesi buruh pabrik. Lulusan SD atau SMP diterima di bagian produksi sedangkan lulusan SMA sederajat diterima di bagian office.

Sejak itu pilihan profesi bagi perempuan lebih variatif. Bahkan setelah saya lulus SMEA saya langsung bekerja menjadi staf administrasi, setelah dua tahun bekerja dan mengumpulkan cukup uang, saya memberanikan diri daftar kuliah dengan biaya sendiri. Itulah puncak tertinggi perjuangan hidup saya, dimana saya bekerja pagi sampai siang hari lalu kuliah sore sampai malam hari. Perjuangan saya terbayar lunas ketika saya lulus dan memakai toga didampingi keluarga ketika acara wisuda.

Saat ini di kampung saya banyak perempuan pekerja. Tanpa mengesampingkan peran laki-laki, saya angkat topi untuk mereka. Apabila dulu perempuan bekerja menjadi TKI dengan negara tujuan Arab Saudi atau negara timur tengah saja, sekarang lebih banyak lagi negara tujuan seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan dan sebagainya.

Bahkan ada fenomena baru di kalangan muda lulusan SMP atau SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya. Terpengaruh gaya hedonis dan ingin berpenampilan keren, gadget terbaru, perhiasan dan aksesoris mahal, mereka bekerja di spa-spa, menjadi PL atau bekerja di tempat-tempat hiburan malam di kota-kota besar seluruh Indonesia.

Mereka diajak calo untuk bekerja dengan diiming-imingi gaji besar. Keluarganya dikasih uang sangu minimal dua juta. Biasanya setelah cukup sukses, mereka mengajak saudara atau teman perempuannya untuk ikut bekerja.

Ukuran kesuksesan mereka ditandai dengan membangun rumah mewah nan minimalis yang biayanya ratusan juta, mengirim uang setiap bulan untuk biaya hidup keluarganya, memberangkatkan umroh bapak ibunya dan sederetan kesuksesan yang dinilai secara materi dan lahiriah saja. 

Tidak heran waktu hari raya banyak gadis-gadis muda yang elok dan cantik bak selebritis dengan berkendara mobil-mobil mungil warna warni berseliweran di kampung kami. Mereka dielu-elukan keluarganya. Padahal sudah menjadi rahasia umum, semua orang tahu apa sebenarnya pekerjaan mereka.

Pernah saya merasa miris ketika ada tetangga yang kebetulan melahirkan seorang anak perempuan, bapaknya bersuka cita, dia mengungkapkan kebahagiaannya disebabkan jika besar nanti anaknya bisa jadi investasi dengam bekerja seperti perempuan-perempuan lain di kampung kami yang bekerja di spa-spa.

Pada suatu subuh setelah adzan berkumandang, terdengar suara laki-laki dewaaa sayup-sayup melantunkan ayat suci Al Quran dari rumah megah tetangga sebelah, barangkali setelah itu mendoakan anaknya di kota supaya lebih sukses lagi, mengirim uang lebih banyak lagi dan berharap adik-adik perempuannya mengikuti jejak sang kakak bekerja di kota. Disaat itulah saya berpikir 'Tuhan pun cemburu dibuatnya'.

Euis Kurniati

Seorang pengajar, suka membaca dan sedang belajar menulis.

Tulang Punggung Keluarga itu Bernama Perempuan


Peran Sekolah Perempuan Mosintuwo dalam Pendidikan Perdamaian di Poso

$
0
0
https://pbs.twimg.com

Paska konflik agama yang terjadi di Poso, rekonsiliasi di tempat tersebut masih menyisakan satu bagian lain yang penting, yaitu bagaimana melanggengkan damai di antara warga masyarakat yang telah mengalami trauma konflik? Dalam perjalanannya, muncul realitas bahwa perempuan dapat memegang peran signifikan dalam upaya perdamaian di Poso.

Perempuan adalah yang pertama memulai gerakan perdamaian pra dan pasca konflik. Secara budaya, masyarakat Poso sangat tergantung pada perempuan. Padahal, dalam kondisi konflik mereka adalah kelompok yang rentan jadi korban. Secara sosiologis, perempuan Poso adalah kelompok yang paling mudah membangun komunikasi yang kuat.

Perempuan menjadi aktor penting dalam hal ini karena mereka umumnya juga masih memelihara nilai-nilai lokal masyarakatnya. Hal ini dapat menjadi modal dalam mengembangkan dialog yang menjembatani antar perbedaan-perbedaan yang ada.

Menjawab kondisi demikian, Sekolah Perempuan Mosintuwu berdiri untuk memberikan pendidikan bagi para perempuan Poso. Untuk itu, menarik jika selain pendidikan tentang gender, HAM, politik, ekonomi, dll diajarkan di sekolah ini, pendidikan tentang perdamaian juga diajarkan.

Pendidikan perdamaian yang diajarkan nantinya akan berintegrasi dengan kearifan lokal yang ada di Poso, agar tercipta sebuah kesadaran untuk melestarikan lingkungan demi terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace).

Latar Belakang Sekolah Perempuan Mosintuwu

Sekolah Perempuan Mosintuwu didirikan oleh seorang aktivis perempuan di Poso tahun 2011 bernama Lian Gogali, yang pernah menjadi Ikon Pekerja Sosial tahun 2012 versi Majalah Gatra, Sekolah itu dinamai Sekolah Perempuan Mosintuwu, karena merupakan bagian dari Institut Mosintuwu yang diketuainya, yang bergerak di bidang pemenuhan hak sipol dan ekosob bagi masyarakat, khususnya perempuan, di wilayah Poso. Nama Mosintuwu sendiri diambil dari bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti bekerja bersama-sama.

Seiring berjalannya waktu, sekolah perempuan berdiri setidaknya di 10 desa di tiga kecamatan. Antara lain, Kecamatan Lage, Kecamatan Poso Kota, dan Kecamatan Poso Pesisir Selatan. Mereka terdiri dari berbagai suku, seperti Pamona, Toraja, Bugis, Gorontalo, Bajo, dan Mori. Sekolah ini baru saja menyelesaikan angkatan pertamanya, yang belajar 8 modul kurikulum selama 10 bulan di sana, dan tahun ini masuk angkatan kedua.

Mengapa pendidikan perdamaian penting untuk perempuan di Poso? Paska konflik, rekonsiliasi di Poso masih menyisakan satu bagian lain yang penting: bagaimana melanggengkan damai di antara warga masyarakat yang telah mengalami trauma konflik? Dalam perjalanannya kemudian, muncul realitas bahwa perempuan berperan sebagai kunci dalam membangun kehidupan baru di Poso.

Perempuan adalah yang pertama memulai gerakan perdamaian pra dan pasca konflik. Secara budaya, masyarakat Poso sangat tergantung pada perempuan. Padahal, dalam kondisi konflik mereka adalah kelompok yang rentan jadi korban.

Secara sosiologis, Perempuan Poso adalah kelompok yang paling mudah membangun komunikasi yang kuat. Kondisi itu menjadi sangat dominan ketika masyarakat mulai bergerak membangun diri mereka, baik secara ekonomi-politik-agama, dll. Menarik untuk itu jika pendidikan perdamaian diajarkan juga kepada perempuan di Poso melalui sekolah perempuan ini.

Mengintegrasikan Pendidikan Perdamaian

Pendidikan perdamaian adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk menanggapi masalah-masalah yang terkait konflik dan kekerasan, yang berskala global dan nasional menuju ke skala yang lebih kecil, yaitu lokal dan personal. Pendidikan perdamaian juga mencari cara-cara untuk menciptakan masa depan yang adil dan berkelanjutan (sustainable).

Pendidikan perdamaian akan melibatkan partisipasi dari para perempuan Poso dalam mengekspresikan pemikiran mereka dan bekerja sama antar sesama mereka untuk menghilangkan kekerasan dalam kehidupan individu, komunitas, maupun masyarakat.

Pendidikan perdamaian juga lebih efektif dan bermanfaat bagi masyarakat jika diintegrasikan dengan konteks sosial dan budaya lokal (local wisdom). Ia harus diperkaya oleh nilai-nilai kultural dan spiritual, bersamaan dengan nilai-nilai kemanusian universal. (wawancara singkat penulis dengan Loreta Castro, yang mana pemikiran beliau juga dapat dibaca di Castro-Galace, 2010). Education for Sustainable Development akan terwujud melalui program-program pendidikan perdamaian yang melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya perempuan.

Perempuan menjadi aktor penting dalam hal ini karena mereka umumnya masih memelihara nilai-nilai lokal masyarakatnya. Selain itu, seperti sudah disebutkan tadi, perempuan Poso mudah membangun komunikasi yang kuat. Ini dapat menjadi modal dalam mengembangkan dialog yang menjembatani antar perbedaan-perbedaan yang ada.

Perempuan Poso juga akan belajar untuk mengerti hubungan saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungannya (alam) dan paham akan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk memastikan keberlangsungan ekosistem bumi, yang mana tetap akan berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan manusia sekarang, dan di masa depan.

Proses intervensi sosial yang akan dilakukan terhadap kaum perempuan di Poso sendiri akan bermanfaat terhadap mereka karena melalui pendidikan perdamaian mereka akan mengalami perkembangan wawasan dalam hal pencegahan konflik (conflict prevention).

Intervensi sosial sendiri direncanakan untuk suatu kegiatan berjangka panjang, bertahap, dan berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus spresifik dan diukur keberhasilannya. Kegiatan intervensi harus sejak awal diniatkan untuk meningkatkan kapasitas dan kesadaran pada diri seseorang atau kelompok sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan martabat diri dan kelompoknya.

Diharapkan sekolah perempuan ini akan terus berjalan dan eksis, walaupun potensi munculnya konflik tetap ada di Poso. Untuk itulah, intervensi sosial diperlukan agar sekolah ini dapat berjalan dalam waktu yang panjang, bertahap, dan tentunya berkelanjutan.

Penting juga kita bahas di sini adalah bagaimana mendesain program kurikulum pendidikan perdamaian di Sekolah Perempuan Mosintuwu. Saya rasa integrasi dengan kurikulum yang sudah diajarkan di sana, seperti Toleransi dan Perdamaian,  Gender, Perempuan dan Budaya, Perempuan dan politik, Hak layanan masyarakat, dan Manajemen ekonomi keluarga dan komunitas lebih penting, apalagi ditambah muatan budaya lokal yang inheren di dalamnya.

Akan tetapi, perlu juga menambah dua atau lebih materi pendidikan yang secara khusus membahas pendidikan perdamaian, seperti Education for Mutual Understanding, Conflict Resolution Education, dll. Selain itu, kegiatan di sekolah perempuan diisi dengan diskusi, bermain drama, menonton film, analisis film, kunjungan lapangan ke rumah ibadah agama Islam, Kristen, dan Hindu untuk mengenal dan mengetahui agama, membuat film pendek, serta menceritakan persoalan yang dialami, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), misalnya.

Pendidikan perdamaian bisa dimasukkan ke dalam kegiatan-kegiatan seperti tadi, contohnya menonton film yang terkait upaya-upaya perdamaian, atau juga kunjungan ke rumah ibadah agama lain di mana hal itu mengajarkan sikap toleransi beragama.

Dalam hal ini peran kearifan lokal sangatlah penting, seperti istilah sintuwu maroso, yaitu salah satu sistem nilai kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Poso. Sintuwu Maroso dalam perkembangannya dimaknai sebagai suatu pengikat hubungan tali persaudaraan antara sesama. Sistem tersebut tetap dipertahankan secara turun temurun dimanapun penganutnya berada, walaupun ditanah rantau sekalipun. Hingga saat inipun falsafah tersebut dilestarikan sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat di Poso

Pendidikan tentang lingkungan hidup juga bagian dari pendidikan perdamaian. Efek dari kerusakan lingkungan sangat terasa dewasa ini, pemanasan global adalah contoh paling nyata. Cara hidup masyarakat yang masa bodoh dengan alam, termasuk paradigma bahwa pembangunan lebih penting daripada lingkungan, harus dirubah karena sikap seperti ini yang akan memicu munculnya konflik.

Salah satu istilah kearifan lokal di Poso adalah membetulungi mombepalae, yang artinya kepedulian sosial. Harus ada kepudulian masyarakat terhadap lingkungannya, karena manusia dan alam pastinya berjalan seiring. Untuk itulah, pendidikan perdamaian harus mampu menciptakan sebuah kesadaran untuk melestarikan lingkungan demi terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace). Masyarakat secara personal harus diajarkan untuk hidup “socially green”, contohnya seperti melakukan recycle, re-use, dan reduce.

Keberadaan Sekolah Perempuan di Institut Mosintuwu sangat membantu dalam pelaksanaan pendidikan perdamaian karena kurikulum yang diajarkan, selain pemberdayaan perempuan dalam skala luas, tetapi juga pemuatan unsur atau kearifan lokal di sana.

Proses integrasi dengan konsep dan budaya lokal Poso, terkait perdamaian, saya rasa akan semakin menguatkan signifikansi dari pentingnya kurikulum pendidikan perdamaian dimasukkan dalam sekolah perempuan tersebut. Adanya pendidikan perdamaian di Sekolah Perempuan Mosintuwu ini juga membantu PBB dalam mensukseskan Millenium Development Goals (MDG’s), yaitu terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan memastikan kelestarian lingkungan. Semoga eksistensi sekolah ini semakin terlihat dalam upaya mulianya membawa pesan damai di tempat yang dahulu pernah terjadi krisis kemanusiaan yang sangat besar. #LombaEsaiKemanusiaan

Jerry Indrawan

Jerry Indrawan adalah Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina.

Peran Sekolah Perempuan Mosintuwo dalam Pendidikan Perdamaian di Poso

Perempuan Juga Bisa Bergerak

$
0
0

Dahulu, saat Indonesia masih diperbudak oleh negara tulip, Indonesia tidak menyerah. Bung Karno, bapak proklamasi kita, membakar semangat rakyatnya. Ia menanamkan bibit-bibit patriotisme untuk rakyat Indonesia.

Radio. Benda yang mungkin tak berarti lagi sekarang, tapi dahulu benda itu adalah jantungnya Indonesia. Bung Karno menyiarkan segala keadaan dan kondisi negara yang hampir rapuh ini. Sedangkan kita hanya bisa menunggu. Menunggu waktu kapan kita harus mengumpat di bawah meja demi menghindar dari serangan atau kapan kita harus mencari tempat persembunyian yang baru. Tapi tidak semua orang seperti kita.

Kita yang hanya menerima nasib dan mengeluh atas apa yang terjadi. Kita lupakan mereka, para pahlawan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pattimura. Sudirman. Pangeran Diponegoro. Mereka pasti ada di dalam buku sejarah. Tapi perempuan? Aku hanya mendengar sekali, dua kali disebut. 

Mengapa wanita tidak terlalu menonjol pada zaman dulu? Karena masak, cuci piring dan melamun adalah pekerjaan wanita sehari-harinya. Dulu wanita sangat bodoh, mungkin saat disuruh menulis ABC saja tidak bisa. Mereka tidak bersekolah.

Bukan karena tidak punya uang dan juga bukan karena malas. Tapi karena wanita tidak diperbolehkan bersekolah. Wanita menjadi tidak berpengetahuan dan derajatnya jauh di bawah pria. Bagi kami, dipandang sebelah mata sudah menjadi kebiasaan di Indonesia.

Akhirnya prialah yang melakukan tindakan pembelaan negara. Wanita hanya diam dan menonton dari awal cerita hingga akhir. Tapi beruntung sekali kita sebagai kaum hawa karena sampai sekarang kita memiliki hak asasi manusia yang sama dengan pria. Derajatnya tidak ada yang di atas dan tidak ada yang di bawah. Semua ini berkat dari sang pahlawan pembela hak asasi wanita, yaitu R.A Kartini. Hasil jerih payahnya terasa hingga hari ini.

Megawati Soekarnoputri adalah presiden wanita pertama Indonesia. Meskipun banyak faktor yang membuat ia rapuh, ia tetap berdiri teguh. Megawati terjun ke dunia politik untuk menunjukkan bahwa wanita juga bisa bergerak. Bisa bergerak dan menyatakan pendapat kami sebebasnya.

Dewasa ini, sudah banyak wanita Indonesia yang berhasil membanggakan nama Indonesia dalam segala bidang. Seperti Cinta Laura yang berhasil terjun ke dunia perfilman di Hollywood. Seperti Agnes Monica yang berhasil memikat perhatian publik dengan perfomanya. Seperti Susi Susanti yang tak pantang menyerah atas olimpiade-olimpiade. Dan masih banyak lagi, mungkin esai ini tak akan selesai kalau saya sebutkan semuanya.

Mereka adalah contoh nyata bahwa wanita pun juga bisa berkarya, terlebih berpolitik. Banyak sekali pemikiran dari berbagai macam golongan tentang berpolitik. Golongan muda berkata berpolitik itu hanya untuk bapak-bapak. Golongan tua berkata, berpolitik itu hanya untuk seorang pria muda. Tetapi wanita tidak pernah disebut ataupun disindir oleh masyarakat.

Hal inilah yang membuat kaum wanita ragu untuk bergerak. Faktor lainnya adalah wanita disekap oleh rasa malu dan takut berbuat salah. Padahal, kenyataannya banyak sekali wanita yang berpotensi dalam berpolitik dan banyak dari mereka diperlukan negara. Keterlibatan wanita dalam berpolitik sangat dibutuhkan, karena wanita memiliki rasa kepekaan terhadap kondisi-kondisi di sekitarnya.

Ada kemungkinan berkurangnya tingkat korupsi jika wanita berada di sistem politik. Karena wanita memiliki hati nurani yang lebih tajam dari para lelaki. Tidak semua wanita sama, tetapi setidaknya mengurangi kegiatan korupsi. Seorang wanita jika sudah memiliki satu tujuan, ia akan berusaha semaksimal mungkin mencapainya, perfeksionis. Banyak sekali faktor yang mendukung wanita diterima dalam berpolitik.

Politik itu tidak sesusah yang kalian kira, politik hanya main kata saja dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Bagaimana cara mendaptkan kepercayaan dari masyarakat? Tidak korupsi adalah kunci dari segalanya, karena korupsi sama saja meruntuhkan kepercayaan yang sudah dibangun. Uang sangat berarti dan berharga, tetapi uang kotor sama nilainya dengan bunuh diri.

Koruptor tidak mengerti saat mereka membuat rakyatnya melarat otomatis mereka membuat hidupnya susah. Susah untuk mendapatkan bahan pangan, barang maupun jasa dari rakyatnya. Ini pasti akan terjadi, hanya saja tinggal menunggu waktu.

Seorang wanita memiliki insting yang kuat, inilah yang membuat wanita sangat dibutuhkan dalam berpolitik. Saat semuanya belum terbukti benar atau salah, seorang wanita pasti sudah memiliki prasangka dan biasanya itu benar.

Dalam berpolitik, kita harus bisa saling berbagi pikiran dan pendapat satu sama lain. Pikiran dan pendapat orang memang berbeda-beda, tapi pikiran seorang lelaki dengan seorang lelaki lainnya memiliki inti yang sama. Tetapi pikiran seorang lelaki dengan seorang wanita terdapat perbedaan yang signifikan.

Jadi lebih baik memiliki banyak perbedaan pikiran dan pendapat untuk dibahas yang akan menghasilkan suatu keputusan bersama. Karena semakin banyak pendapat semakin luas juga pikiran kita. Wanita yang saya bahas ini bukan hanya saja ibu-ibu ataupun ibu-ibu menjelang ‘tua’, tapi juga wanita yang masih remaja.

Di sini saya tidak membahas seorang wanita yang wajib ikut dalam politik, tapi untuk mendukung jalannya pemerintahan dan juga politik Indonesia. Bagimana caranya? Kita sebagai wanita Indonesia harus memiliki pergerakan dan juga tindakan. Tindakan bukan selalu harus pergi ke tengah-tengah Jakarta dan memotivasi rakyat untuk memilih pemilu dengan jurdil. Tetapi tindakan yang sederhana, yaitu mulailah dari diri-sendiri.

Uang dari calon presiden maupun mentri sangatlah besar, mungkin bia membeli 1 rumah di Beverly Hills. Uang dari mereka mungkin saja bisa kita gunakan sebagai stok selama 8 tahun. Jangan bahas tentang sogokan uang, terlalu kuno mungkin. Rayuan, rayuan lebih mematikan.

Perempuan mudah sekali meleleh hatinya saat di rayu lelaki, apalagi kalau lagi ngegombal berasa dunia milik sendiri. Ditambah si lelaki suka traktiran, belanjain ceweknya dan mobilnya Mercedes-Benz. Disebut rayuan. Rayuan untuk memaksa orang memilih dirinya supaya masuk kedalam sistem pemerintahan.

Ayolah, wanita-wanita, bukalah matamu dan lihatlah keadaan yang terjadi. Berdirilah teguh pada siapa yang kamu percaya, uang kotor akan membawamu pada meja hijau. Ikutilah hati nuranimu, bukan hatimu yang sudah terrayu itu.

#LombaEsaiPolitik

Perempuan Juga Bisa Bergerak

Perempuan dan Kepemimpinan

$
0
0
woman and strategic

Indonesia adalah negara demokrasi dengan menerapkan sistem masyarakat  yang terbuka, dimana masyarakat terbuka (open society) merupakan masyarakat yang berdasar utama atas kebebasan berpolitik dan Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi masyarakat yang terbuka merupakan masyarakat yang bebas merdeka, bebas dalam memberikan pemikiran atau pendapatnya dan bebas untuk berpartisipasi dalam kepentingan umum atau masyarakat dan negara.

Dalam konteks tersebut masyarakat terbuka sangat penting bagi masyarakat modern, karena berdasar pada kebebasan untuk berpartisipasi dalam politik dan Hak Asasi Manusia, agar terwujud masyarakat yang saling berbagi memiliki rasa sosial dan mementingkan kepentingan bersama daripada individualisme. Oleh sebab itu interaksi antar individu sangat dibutuhkan untuk mewujudkan sistem masyarakat terbuka tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia adalah negara demokrasi ketiga setelah Amerika dan India dalam sistem masyarakat terbuka memberikan ruang yang cukup signifikan bagi perempuan dalam mengisi ranah kebirokrasian 30%. Namun kenyataannya? Perempuan Indonesia masih belum memaksimalkan hal tersebut, ada sebab-sebab tertentu seperti terbenturnya dengan aturan agama tertentu, kebudayaan lokal ataupun tingkat sumber daya manusia yang masih kurang terupgrade.

Dalam mitologi Yunani kuno, perempuan dilihat sebagai subjek keterbukaan pikiran, Dewi Theia, dianalogikan mempunyai rumah, pintu dan jendelanya terus terbuka. Ini adalah subjek pembuka awal narasi sastra yaitu pandora, sang dewi yang mempunyai kekuatan untuk membuka kotak rahasia kehidupan bahwa dari perempuanlah cikal bakal kehidupan baru telah terjadi. Tak mau kalah dengan epos Yunani, Indonesiapun mempunyai kearifan lokal seperti di Sumatera Barat yang mempunyai sistem matriarkhi, dimana garis keturunan keluarga bergantung pada darah sang ibu.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat modern, Anne Cummings, seorang profesor Administrasi Bisnis dari Universitas Minnesota mengatakan bahwa seorang perempuan dalam gaya kepemimpinanya adalah multi tasking, emosional, berempati, kuat, berintuisi, rasa ingin menghibur dan kasihan terhadap orang lain (compassionately), membangun kerjasama, komunikasi secara verbal, konsensus, kolaborasi dan suka menggosip.

Sedangkan laki-laki dalam gaya kepemimpinannya menerapkan kekuatan, arogan, inteligen, ego, powerful, dominan, tegas, single tasking, fokus, kompetitif, keras kepala, self-righteous. Dalam hal tersebut maka perempuan lebih menerapkan pada penekanan-penekanan perasaan  dalam mengambil kebijakan dalam setiap kepemimpinannya sedangkan laki-laki lebih berfokus pada objektifitas agar lebih cepat menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan dalam gaya kepemimpinannya.

Semua gaya kepemimpinan pasti ada kelemahannya baik perempuan maupun laki-laki, namun bagi masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur terninabobokan dengan kenyamanan-kenyamanan dalam kehidupan kesehariannya, mungkin gaya kepemimpinan yang keibuan dalam tanda kutip adalah mengasuh, momong, hearing dan sharing sangatlah diperlukan dalam ranah publik sesuai dengan kultur budaya Indonesia yang ketimuran.

Namun ada anomali paradigma berfikir masyarakat bahwa perempuan dalam kebirokrasian haruslah tegas dan maskulin untuk mengimbangi bawahan-bawahan dan orang-orang dalam organisasinya. Jika tidak maskulin maka dia tidak tegas, ada konsep yang tertanam seperti itu dalam saraf tak sadar sebagian besar masyarakat kita. Jika Amerika Serikat sudah memulai mengusung perempuan dalam kepemimpinan yang keibuan lemah lembut  seperti Hillary Clinton, Indonesia kapan? *rindu ibu*

Erlita Wahyuningtyas

Simply ordinary, silent reader-good follower, lazy in writing^^

Perempuan dan Kepemimpinan

Perempuan yang Merawat Banua

$
0
0
Aktivitas Pasar Terapung

Dalam beberapa minggu terakhir, slogan “Bacangkal Maharagu Banua” sangat sering kita lihat dan baca diberbagai media, media sosial, media cetak, televisi lokal, dan spanduk-spanduk di kawasan perkantoran di daerah Kalimantan Selatan.

Slogan tersebut sebenarnya adalah tema yang diusung oleh pemerintah Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor, dalam rangka peringatan hari jadi Provinsi Kalsel yang ke-66 yang jatuh pada tanggal 14 Agustus. Spirit yang terkandung dalam slogan tersebut sangat relevan dengan konteks Kalsel yang sudah mapan secara usia.

Sudah saatnya warga Banua (sebutan untuk orang Banjar) aktif dalam proses ‘maharagu’ -atau yang dalam bahasa Indonesia berarti merawat.

Dalam proses merawat Banua, tradisi yang berkembang di daerah kita sangat mengusung konsep kesetaraan gender. Perbedaan jenis kelamin tidak menggiring kepada perbedaan tugas dan fungsi orang Banjar dalam konteks fungsi sosial kemasyarakatan.

Perempuan aktif terlibat dalam membantu roda perekonomian rumah tangga. Dalam aktivitas perdagangan, yang mendayung perahu dalam pasar terapung adalah perempuan. Pun yang terjadi dalam aktivitas pertanian, mulai dari proses menanam padi sampai dengan panen (ngatam) perempuan juga terlibat.

Aktivitas semacam ini patut diapresiasi terlebih ketika perempuan-perempuan tersebut juga aktif dalam proses menuntut ilmu agama dalam bentuk pengajian-pengajian. Lihat misalnya pengajian ibu-ibu yang diasuh oleh KH. Ahmad Bakeri (guru Bakeri) silam.

Dalam konteks keagamaan pun, peran perempuan Banjar dalam merawat keislaman di Banua juga terlihat perannya. Lihat misalnya Fathimah Binti Abdul Wahab yang menulis kitab dalam bahasa Arab Melayu yang berjudul Parukunan Banjar.

Menurut catatan Abu Daudi (2003) Fathimah merupakan sosok Ulama Perempuan dari Banjar yang mempunyai garis keturunan sebagai cucu dari Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812 M) dari istri pertama yang bernama Tuan Bajut. Secara garis besar, tema bahasan dalam kitab ini adalah masalah akidah, fikih (hukum Islam), dan tauhid.

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam proses merawat daerah, budaya yang berkembang di masyarakat Banjar bukan budaya patriarki, yang menonjolkan sifat kelaki-lakian. Hal ini justru berbanding terbalik dengan daerah Islam di Kawasan Timur Tengah.

Hampir semua yang aktif dalam fungsi sosial di masyarakat diperankan oleh laki-laki, mulai dari bidang perekonomian, pertanian, pemerintahan. Oleh karenanya, gugatan-gugatan dari beberapa aktor intelektual perempuan seperti Fathimah Mernissi, Amina Wadud begitu terasa di Timur Tengah.

Sebenarnya dalam lintasan sejarah, setiap kelompok masyarakat mempunyai konsepsi ideologis tentang jenis kelamin. Di beberapa kelompok masyarakat, jenis kelamin digunakan sebagai kriteria yang penting dalam pembagian kerja. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut membagi peran, tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin, meskipun sebagaian di antaranya ada yang dipandang cocok dan wajar untuk dilakukan oleh kedua jenis kedua jenis kelamin.

Pekerjaan yang diperuntukkan bagi laki-laki umumnya yang dianggap sesuai dengan kapasitas biologis, psikologis, dan sosial sebagai laki-laki, yang secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat, tingkat resiko dan bahayanya lebih tinggi karena bekerja di luar rumah, dan tingkat keterampilan dan kerjasamanya lebih tinggi.

Adapun pekerjaan yang diperuntukkan bagi perempuan yang dikonsepsikan sebagai orang yang lemah dengan tingkat resiko lebih rendah, cenderung bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi, dan lebih mudah terputus-putus. Oleh karena itu, tingkat keterampilan perempuan dianggap rata-rata lebih rendah di banding laki-laki.

Peran perempuan dalam kultur sosial masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut patut dijaga dan pertahankan dalam konteks merawat Banua. Sebab tugas merawat itu adalah tugas bersama, tidak membedakan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan.

Menurut Nasaruddin Umar (1998) dalam disertasinya “Persfektif Jender dalam al-Qur’an” mengungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki dalam al-Qur’an mempunyai tugas yang sama, yaitu menjadi khalifah dimuka bumi. Dalam konteks ini, merawat Banua dengan baik, serius, dan sungguh-sungguh merupakan aktualisasi dari ajaran menjadi khalifah di muka bumi.

Tetapi fenomena sekarang yang terjadi di masyarakat Banjar menunjukkan kepada arah yang lebih tertutup. Banyak perempuan-perempuan yang lebih berdiam diri saja di rumah dengan alasan agama. Hal ini tidak bisa dihindari dengan adanya gerakan keagamaan semisal Tablig dan Salafi yang mulai berkembang di Banua.

Tetapi terlepas dari itu, masih banyak perempuan-perempuan Banjar yang aktif dalam berbagai bidang. Ketua DPRD Provinsi Kalsel sekarang misalnya dijabat oleh seseorang perempuan. Tentu kita masih berharap akan banyak lagi peran-peran perempuan Banjar yang cantik dan tangguh lainnya untuk merawat Banua yang lebih baik lagi.

Hanafi al Rayyan

Penikmat kajian-kajian sosial. Sedang mengambil master bidang Agama dan Humaniora di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perempuan yang Merawat Banua

Perempuan, Sistem Politik Patriarki dan Hegemoni Orde Baru

$
0
0
arvinradcliffe.blogspot.co.id

Partisipasi perempuan dalam politik nasional

Berbicara rendahnya partisipasi politik perempuan di Indonesia, tidak bisa kita lihat dari keadaan ekonomi-politik Indonesia pasca reformasi ataupun di masa sekarang. Namun kita harus melihat peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama ke Orde Baru yang menyebabkan perempuan mengalami pendomestikan politik dan ter-suboordinasi dalam sistem politik patriarki. Peralihan ini menyebabkan menurunnya intensitas gerakan politik perempuan di ruang publik, sehingga perempuan secara perlahan tersingkir dari dunia politik yang di dominasi oleh laki-laki.   

Walaupun pada tahun 2008 DPR RI telah mengesahkan UU Pemilu tentang pengisian kursi legislatif 30 persen untuk suara perempuan, serta mewajibkan partai politik untuk mengusung calon perempuan sesuai dengan batas minimal suara 30 persen.

Namun berhasilnya gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak politiknya belumlah selesai hanya di tataran UU Pemilu saja. Suara 30 persen bagi perempuan untuk duduk di kursi legislatif tidak cukup untuk menggambarkan bahwa Indonesia telah bebas dari sistem politik patriarki.

Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa yang mengisi kursi 30 persen di DPR adalah istri dan anggota keluarga dari elit partai/pejabat pemerintahan, ataupun mempunyai hubungan kekuasaan di lingkaran elit. Sedikit sekali perempuan yang berhasil menjadi anggota legislatif tanpa mempunyai hubungan keluarga/personal dengan para elit partai.

Sehingga suara 30 persen untuk perempuan di DPR menjadi celah bagi partai untuk berbuat curang, hal ini menggambarkan bahwa perempuan masih tertindas secara politik. Tentunya gerakan perempuan mempunyai tugas berat untuk melakukan kegiatan penyadaran terhadap masyarakat yang sudah lama menganut sistem politik patriarki.

Sistem ini menganggap bahwa laki-laki berkewajiban sebagai pemimpin politik dan pemimpin rumah tangga, sedangkan perempuan mempunyai kewajiban sebagai pendamping suami dan pengasuh anak. Dunia politik “identik” dengan laki-laki, sementara dunia keluarga “identik” dengan perempuan.

Sistem patriarki mempunyai fungsi ideologis, ekonomi, dan politik untuk mengatur hubungan-hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial inilah yang menyulitkan perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Tentunya partisipasi politik tidak hanya diukur dari seorang perempuan berani mencalonkan diri sebagai calon legislatif, Bupati, WaliKota, Gubernur, ataupun Presiden. Lebih dari itu, partisipasi politik disini adalah aktifnya keterlibatan perempuan dalam mengorganisasikan gerakan sosial, keterlibatan perempuan dalam mengontrol jalannya pemerintahan, turut aktifnya perempuan dalam pembuatan kebijakan pemerintah, dan keterlibatan perempuan dalam memecahkan isu-isu sosial dan ekonomi masyarakat.

Partisipasi politik perempuan di masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Lama (Orla), gerakan perempuan berkembang pesat baik yang berafiliasi kepada partai politik, kesamaan agama, maupun gerakan independen yang mempunyai tujuan politis. Perkembangan ini ditandai dengan terbentuknya wanita PSII (organisasi perempuan PSII), Muslimat (organisasi perempuan Partai Masyumi), dan Wanita Demokrat (organisasi perempuan PNI), dan Aisyiah (organisasi perempuan muhamadiyah).

Kemudian yang tergolong dalam organisasi gerakan perempuan independen adalah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Banyaknya organisasi gerakan perempuan terbentuk didasari semangat demokrasi dan kesetaraan gender.

Meskipun pada masa Orde Lama partisipasi politik perempuan dalam parlemen hanya 2 persen saja (Sumber: Penelitian Women Research Institute Tahun 2013), Namun dalam gerakan politik, hal ini merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa.

Karena perempuan telah mulai mengorganisasikan diri dan mandiri secara politik, sesuatu hal yang mencerminkan dimana semangat demokratisasi menyentuh batas-batas konstruksi sosial tentang gender. Karena pada masa pemerintahan Orla, pemerintah membebaskan setiap warga negara untuk membuat organisasi politik, baik organisasi yang berafiliasi kepada pemerintah maupun organisasi yang berada diluar pemerintah.

   Namun setelah Orde Baru berkuasa, gerakan perempuan menurun secara intensitas dan kekuatan politik. Banyak organisasi perempuan dibubarkan oleh rezim karena dianggap membahayakan stabilitas pemerintahan dan tidak menguntungkan bagi pemerintah Orba.

Hal ini disebabkan kekhawatiran rezim bahwa akan ada lagi pemberontakan G30S. Karena pada saat itu pemerintahan Orba “mengklaim” bahwa Gerwani terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah tahun 1965. Oleh sebab itu rezim Orba mulai merekonstruksi organisasi gerakan perempuan untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah dan melarang organisasi perempuan untuk mengkritik rezim.

Kemudian untuk mewujudkan kepentingannya, pemerintah membuat wadah baru bagi perempuan dengan menciptakan organisasi Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Orientasi organisasi ini lebih terlihat sebagai organisasi yang bekerja untuk mensukseskan kebijakan pemerintah ketimbang membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik ataupun mengkritik kebijakan pemerintah.

Hal ini dilakukan pemerintah untuk membatasi ruang gerak perempuan dan mendomestikkan perempuan ke ruang privat yaitu keluarga. Baik Dharma Wanita dan PKK diisi oleh istri dari pejabat pemerintahan dan ABRI dengan mengarahkan perempuan ke ranah domestik.

Seperti: program menjadi ibu yang baik untuk anak, menjadi istri yang tunduk terhadap suami, dan menjadi istri yang pintar mengelola rumah tangga. Kegiatan-kegiatan ini sengaja dilakukan agar perempuan tidak tertarik lagi dengan pengorganisasi politik dan tidak kritis terhadap pemerintah.

Sistem yang dijalankan dalam organisasi ini menitik beratkan pada suami, semakin suami mempunyai kenaikan karir politik/jabatan, istri akan mengikuti karir suami. Semisal: ketika suami menjadi Bupati, maka istri menjadi Ketua pengurus PKK Kabupaten, padahal sebelumnya Istri hanya menjabat sebagai Ketua Pengurus PKK Kecamatan.

Karir perempuan disini tergantung kepada laki-laki, hal ini menyebabkan perempuan berada dibawah laki-laki dalam hal apapun. Perempuan tidak mandiri secara politik karena ia hanya berharap agar suaminya naik pangkat/jabatan tertentu.

Apabila perempuan mengkritik kebijakan pemerintah maka ancamannya adalah pemecatan suaminya dari pekerjaan di instansi/lembaga terkait. Kebijakan ini juga rentan dengan konflik sosial antar masyarakat, karena posisi Ketua organisasi pasti ditempati oleh istri pejabat yang mempunyai karir cemerlang dan mempunyai status sosial yang tinggi, sementara posisi anggota selalu ditempati oleh perempuan yang suaminya mempunyai status sosial yang lebih rendah.

Hal ini menyebabkan tingkat kecemburuan sosial juga semakin bertambah. Dalam pemerintahan Orba, perempuan telah ter-suboordinasi dan tertindas selama 32 tahun. Hal ini menyebabkan perempuan sampai sekarang kesulitan dalam mengorganisir gerakan sosial, ataupun terjun dalam politik praktis. Karena sudah terlalu lama perempuan Indonesia di dominasi oleh sistem politik patriarki Orde Baru.

Walaupun kursi perempuan dalam parlemen disaat rezim Orba naik menjadi 12 persen (Sumber: Penelitian Women Research Institute Tahun 2013), namun dalam hal kemandirian politik dan mengorganisir gerakan sosial, perempuan mengalami penurunan secara drastis dibandingkan pada masa Orde Lama.                      

Hegemoni politik Orde Baru dan upaya pembebasan perempuan Pasca-Reformasi

Sistem politik Orde Baru di desain sedemikian rupa agar gerakan perempuan terkondisikan dalam kesadaran palsunya. Pemerintah Orba menggunakan instrumen lembaga negara untuk memasukan nilai dan budaya patriarki kepada perempuan, hal ini digunakan agar perempuan patuh terhadap aturan-aturan untuk mendomestikan perempuan ke ranah privat (keluarga), serta menjauhi kegiatan politik yang membahayakan rezim.

Dengan dipilihnya Dharma Wanita dan PKK menjadi penyambung kepentingan politik pemerintah, maka dengan sendirinya rezim akan lebih mudah untuk mengatasi konflik dan memastikan agar kekuasaannya tetap aman terkendali.

Dalam teori hegemoni, Antonio Gramsci melihat bahwa penundukan atas struktur sosial dan politik dengan menggunakan basis superstruktur (dalam hal ini pemerintah) mempunyai kepentingan langsung untuk menyingkirkan musuh-musuh politik yang berbahaya bagi kelas penguasa. Penginternalisasian nilai dan budaya dari penguasa kepada yang dikuasai, menyebabkan masyarakat/individu terjebak dalam logika penguasa dan cara bermain yang sudah diatur sebelumnya.

Pengkondisian ini mempunyai fungsi sebagai alat pengontrol yang bertujuan agar masyarakat tetap patuh dan takut. Bentuk kekerasan simbol, dan intimidasi secara koersif merupakan instrumen kekuasaan yang berusaha menakut-nakuti masyarakat/individu untuk tidak melakukan perlawanan terhadap rezim.

Akan tetapi setelah Pasca-Reformasi gerakan perempuan berusaha untuk keluar dari aturan dan dogma yang dibuat oleh Orde baru. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya organisasi gerakan perempuan non-pemerintah yang berdiri dan melakukan kegiatan advokasi masyarakat, maupun melakukan kegiatan edukasi terhadap pentingnya partisipasi politik bagi perempuan.

Gerakan Perempuan juga semakin menguat di Indonesia, hal ini menjadi kekuatan bagi perempuan agar tidak dipandang sebelah mata secara politik, dan membuktikan bahwa perempuan juga ambil bagian dalam proses demokratisasi. Gramsci sendiri menyebutkan bahwa satu-satunya cara untuk melawan hegemoni penguasa adalah melakukan “Counter Hegemoni”.

Pembebasan perempuan dari suboordinasi sistem patriarki, hanya bisa dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Oleh sebabnya dengan menguatnya gerakan perempuan ataupun gerakan sosial yang lain dalam menawarkan alternatif pemikiran dan politik yang berbeda dengan arus pemikiran Orde Baru, maka pertarungan hegemoni ini akan tergantung kepada seberapa kuat pihak-pihak yang saling berhadapan itu mampu memenangkan kepercayaan masyarakat.

Pembebasan perempuan memang bukanlah sesuatu hal yang mudah, namun kita harus percaya bahwa kesadaran membutuhkan peristiwa dan pengalaman historis tertentu. Kesadaran tidak datang dengan sendirinya, ia di bentuk oleh situasi dan kondisi tertentu, dan gerakan perempuan telah mendapatkan kesadarannya untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa.

Walaupun masih ada banyak kekurangan terkait gerakan perempuan, namun kalau tidak bergerak sekarang, kapan lagi? Sebuah kesetaraan social/politik antara laki-laki dan perempuan bukanlah hal yang utopis belaka, namun sesuatu yang mungkin dan akan terjadi. Karena tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini, kita harus mencoba untuk mengetahui hasilnya, kata Napoleon Bonaparte.     

#LombaEsaiPolitik

Danang Pamungkas

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNY dan Pegiat Komunitas Mazhab Colombo

Perempuan, Sistem Politik Patriarki dan Hegemoni Orde Baru

Viewing all 72 articles
Browse latest View live