Quantcast
Channel: Qureta - Perempuan
Viewing all 72 articles
Browse latest View live

Maskulinitas Pelecehan Perempuan

$
0
0
Mendung perempuan (sumber Fanpage FB Haidup)

YF, perempuan korban pemerkosaan oleh empat pegawai bus Transjakarta, bergerak sendirian mencari keadilan. Ia tidak saja membela harga dirinya sebagai seorang perempuan, namun juga membongkar praktik kebanalan hukum yang menyimpang oleh pembiasan gender.

Kasus perkosaan itu terjadi di halter Busway Harmoni, 20 Januari 2014. Cuaca mendung, suhu udara dingin membuatnya pingsan. Dibantu seorang penumpang, ia diturunkan di halte Harmoni, Jakarta Pusat. Dalam keadaan tak sadarkan diri, ia dibopong oleh para pelaku ke ruang genset. Di ruangan inilah, ia mengalami perkosaan.

YF tak percaya, Jakarta mendung siang itu menghadirkan tinta kelam dalam hidupnya. Dengan segala keberanian, esok harinya YF mulai mencari keadilan. Hingga tiba kasus tersebut sampai di meja hijau, YF yang tanpa pendamping hukum, tak kuasa melihat kenyataan: hukum itu barang dagangan!

Saat memasuki fase kulminasi persidangan, tim pendukung YF tidak diperbolehkan mengikuti persidangan. Padahal, di hari pembacaan tuntutan jaksa saat itu, sidang bersifat terbuka. Artinya, publik diperbolehkan menyaksikan jalannya persidangan. Namun, Kartika Jahja, pendamping sosial YF dan kawan-kawan harus gigit jari.

Hanya YF yang diperbolehkan masuk ruangan. Seturut press release Kartika Jahja yang sempat meledak di jagat maya, Kartika melihat Humas Transjakarta diperbolehkan masuk dan duduk tepat di samping YF. Pembacaan tuntutan selesai, YF pun keluar dengan wajah pucat. “1 tahun, 5 bulan,” katanya dengan nada getir dan lirih.

Kondisi Hukum

Inilah potret buram kasus-kasus perkosaan. Sudah diperkosa, ia kerapkali menjadi bulan-bulanan sistem yang timpang. Belum lagi, stigma masyarakat yang justru memandang korban perkosaan sebagai aib yang harus dibuang. Luka menganga sepanjang hidup hingga memporak-porandakan psikologis korban. Korban terkucilkan, dan pada akhirnya, aktualisasi kehidupannya tak berjalan lancar.

Perkosaan kepada YF sejatinya mirip analogi gunung es di tengah lautan. Sebagian kecil saja yang tampak di permukaan dan terekspose banyak perhatian. Jauh di dalam lautan itu sendiri, ada banyak kasus serupa yang tidak kalah memprihatinkan, bahkan lebih kejam. Kita masih ingat tragedi Yuyun, siswi SMP Pandang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh 14 remaja.

Pasca geger tragedi Yuyun, kasus-kasus serupa mendadak mencuat ke permukaan di berbagai daerah.  Sebut saja kasus perkosaan dan pembunuhan Mistianah (10 tahun) yang terjadi 14 April 2016, kasus perkosaan siswa SMP oleh delapan remaja di Surabaya, hingga pelajar SD berumur tujuh tahun yang dilecehkan oleh ayahnya sendiri sebanyak tiga kali. (Kompas, 16 Mei 2016).

Ada persoalan kemanusiaan yang parah terjadi di dalam struktur masyarakat, ditambah keadilan hukum yang rapuh. Telah terjadi pengeroposan tatanan sosial, solidaritas, etika, dan keadaban publik. Di wilayah hukum, selain juga kerapuhan para penegak hukum yang gemar melahap uang suap, pasal-pasal hukum sekadar legalistik, normatif, timpang, dan bersifat represif yang menyimpan celah ambivalensi sangat lebar.

Perubahan undang-undang bagi perlindungan perempuan pun baru terjadi saat ada desakan dari banyak pihak. Peraturan legalistik pun belum cukup menjadi payung pencegahan tindakan pelecehan seksual kepada perempuan. Jika kita mau mengakui, berapa banyak sudah peraturan-peraturan yang termaktub jelas dalam lembar-lembar hukum itu berjalan baik?

Bukankah lebih banyak kita temui, kasus-kasus hukum berhenti, hilang, dan berakhir tidak adil. Peraturan hukum legalistik kerap kali disalahgunakan banyak pihak yang memiliki kepentingan dengan suap dan sejenisnya.

Dan, Pemerintah seolah sudah cukup bertindak sekadar menandatangani peraturan di atas kertas. Tindakan preventif atau pencegahan nyaris tak diinisiasi pemerintah, juga tak tersemat di dalam berlembar-lembar pasal hukum. Pada akhirnya, hukum hanya untuk menjerat, bukan untuk melindungi.

Masyarakat Strata

Hukum adalah salah satu produk pemikiran manusia, sebagaimana juga adat, budaya, dan kondisi sosial. Apa yang mendominasi di kepala manusia banyak, itulah yang muncul dalam laku, tindakan, corak kehidupan sebuah masyarakat. Dalam kasus Yuyun, Herry Tjahjono dalam esainya Hormatilah Anak Perempuan yang diterbitkan Harian Kompas (16 Mei 2016) jeli melihat kejanggalan dari kata-kata seorang anggota DPR.

Herry menulis: “Khususnya kasus Yuyun, kemarahan kita beresklasi ketika ada anggota DPR yang sekilas mengecam keras para pelaku, tetapi pesan utamanya justru “menyalahkan” korban: kenapa berjalan sendiri di pinggir kebun yang sangat sepi dan membuka ruang bagi para pelaku untuk berbuat jahat.”

Apa yang dituliskan Herry pun memiliki paralelisasi dengan jaksa pembela tersangka kasus perkosaan YF. Kartika Jahja menuliskan pertanyaan-pertanyaan represif yang tak jelas juntrungannya dalam press release: “Sudah tahu gampang sakit, kenapa naik kendaraan umum sendirian? Kenapa ga ditemani?” tanya pengacara terdakwa./ “Saudari kan orang Aceh. Berarti muslim ya. Apa boleh seorang wanita muslim pakaiannya seperti itu?” kata pengacara lainnya lagi./ “Saudari kan orang berpendidikan ya? Kok orang berpendidikan kerja pakai celana pendek?” tanya pengacara terdakwa lainnya. (Jahja, 7 Juli 2014)

Perempuan pada dasarnya, sampai saat ini, masih ditempatkan sekadar “objek” secara sosial. Sebuah survei, yang saya kutipkan dari Tajuk Rencana Kompas (7 Mei 2016) menyebutkan, bahwa kekerasan seksual atau perkosaan merupakan wujud subordinasi dan relasi tidak setara perempuan dan laki-laki.

Perkosaan adalah bentuk stratifikasi laki-laki yang merasa berhak menjadikan perempuan sebagai objek kenikmatan dan pelampiasan. Ungkapan-ungkapan jaksa tersebut dan seorang anggota DPR—yang semuanya laki-laki—adalah pandangan patriarki yang telah mengakar kuat dalam ritus kebudayaan manusia. Kesalahan dialamatkan kepada, misalnya perilaku perempuan, cara berpakaian, riasan.

Kita melangkah ke belakang, menengok sejarah perempuan dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (KPG, 2016) karya Peter Carey & Vincent Houben. Carey mengawali buku dengan kata-kata yang sedikit hiperbolis: “The hand that rocks the cradle moves the world!”

Di dalam era kerajaan Jawa, perempuan menempati posisi yang setara. Kita mengenal Srikandi dalam pewayangan Mahabarata. Sosok perempuan yang anggun, namun galak di medan perang. Perempuan yang memegang panah di tangan kiri dan busur terentang panjang di tangan kanan itu membunuh jenderal perang ternama di Kurusetra, Bisma.

Carey menghadirkan sosok Srikandi abad ke-19 pada diri Raden Ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang. Keduanya bukan perempuan sembarangan, sebab Raden Ayu Yudokusumo adalah putri Sultan Yogyakarta yang menggerakkan roda pemerintahan kerajaan.

Sedangkan Nyai Ageng Serang merupakan panglima perang perempuan dalam sejarah Jawa, yang oleh Gerhardus Valck diberi label sadis sebagai “perempuan yang sangat mampu bertindak kejam” (hal. 27) Tak sampai di situ, kita mengenal pula mitos-mitos perempuan penghuni “jagat lain”, seperti Nyi Roro Kidul, dan Dewi Sri. Nyi Roro Kidul amat terkenal di kalangan para raja Jawa sebagai pemilik kekuatan dahsyat yang mesti dihormati.

Bentuk-bentuk penghormatan itu bahkan sampai sekarang masih diuri-uri. Juga, Dewi Sri, dewi keberkahan atau dewi kemakmuran, yang menduduki posisi tinggi di kalangan petani. Setiap petani akan melakukan ritus-ritus tertentu saat akan menanam dan memanen padi untuk meminta berkah kepada Dewi Sri.

Carey mencoba menghantam stigmatisasi perempuan lemah yang dilakukan oleh kolonialisme. Salah satunya saat sosok Raden Ayu digambarkan seperti boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri dalam karya sastra kolonial Belanda. Maka, perempuan Jawa—juga perempuan pribumi—dianggap elok, namun kosong isi kepalanya.

Di wilayah agama, perempuan diposisikan subordinat di bawah laki-laki. Kita bisa menengok argumentasi yang diajukan Kaukab Siddique dalam bukunya Menggugat Tuhan yang Maskulin (Paramadina, 2002). Kaukab sejak awal telah menaruh kecurigaan, bahwa pandangan “islam” yang cenderung male oriented diakibatkan oleh ego ulama laki-laki.

Para “ulama” itu melakukan framing sehingga mengarahkan umat Islam pada simpulan bahwa Islam lebih mengutamakan laki-laki. Menurut Kaukab, salah satu cara yang dilakukan oleh para “ulama” itu adalah dengan memopulerkan hadis tertentu namun menyembunyikan hadis lain.

Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) diiniasi oleh Nyonya Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan alumni pesantren pun mengkritisi dan membedah tafsir mengenai kedudukan perempuan. Kitab Uqud al Lujain yang merupakan kitab wajib mengenai perempuan di pesantren-pesantren Jawa, dianalisis dan dikaji untuk menguraikan hak-hak perempuan Islam.

Kajian tersebut lantas dikembangkan membedah bias jender dalam Islam. Inisiasi ini berlanjut hingga membahas posisi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, sampai sekarang.

Saya paham mengapa Carey di akhir bukunya berkesimpulan: “apakah memudarnya secara perlahan model matriarki gaya Polinesia dalam garis keturunan perempuan dipengaruhi secara serentak oleh kolonialisme dan Islam?” Kondisi mengakar itu telah membangun suatu kultur yang meresap dalam setiap kepala orang di tanah ini.

Menghormati

Kerentanan sosial dalam masyarakat terjadi karena pembangunan budaya dan tata nilai di masyarakat lemah. Jika ditarik lebih mendalam, budaya dan tata nilai masyarakat dibentuk oleh budaya keluarga (family culture). Jika tata nilai baik diajarkan keluarga, maka akan mencipta kebaikan pula di masyarakat. Sistem pun berubah perlahan di banyak lini.

Keluarga sebagai sebuah organisasi sosial terkecil dalam masyarakat perlu menanamkan nilai inti (core value) yang menunjang perbaikan mental anak-anak. Di dalam keluarga, patut menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan membentuk norma yang baik bagi anak.

Kecenderungan anak menjadi pelaku pelecehan seksual maupun tindakan kejahatan lain kepada perempuan adalah karena kurangnya pemaknaan nilai-nilai penghormatan terhadap perempuan. Dalam bentuk praktisnya, penghormatan anak kepada perempuan ditujukan langsung kepada ibu, saudari, sahabat, juga kepada semua perempuan yang dikenalnya. Sang ayah mencontohkan secara langsung bagaimana bentuk-bentuk penghormatan kepada istrinya.

Budaya “menghormati perempuan” dalam keluarga ditempatkan sebagai values in action. Tentu, pembudayaan ini tidak serta merta menghilangkan perlakuan diskriminasi perempuan. Namun, merupakan perlawanan pada nilai-nilai patriarkis yang terlanjut mengakar kuat.

Kehidupan, apakah bisa lahir tanpa perempuan? Perempuan adalah gua garba kehidupan, juga rahim bagi harapan-harapan yang tiada putus. Pada diri perempuan, ada benih-benih yang dipupuk bagi peradaban yang lebih baik di masa depan. Betapa jahatnya kita, jika menempatkan perempuan sekadar sebagai objek kenikmatan, juga pelampiasan hasrat.

Sudah saatnya, mengembalikan posisi perempuan dalam membangun peradaban kemanusiaan bersama laki-laki. Jika laki-laki—termasuk saya—masih congkak menganggap diri lebih tinggi dari perempuan, kita hanya tinggal menunggu matahari terbit dari Barat!

#LombaEsaiKemanusiaan

Muhammad Irkham Abdussalam

Pembaca | Pengetik| Fotografer | NuansA | Pemilik www.portalkonseling.com | Bergiat di Etnolib Culture Studies

Maskulinitas Pelecehan Perempuan


Dunia Politik di Mata Wanita

$
0
0
Foto: suhada.harianbernas.com

Permasalahan wanita dalam dunia perpolitikan memang menjadi salah satu topik yang menarik untuk dikaji. Betapa tidak, 49% dari penduduk Indonesia adalah wanita, namun pada kenyataannya, hanya segelintir dari kaum hawa yang memiliki minat untuk terjun di dunia politik.

Banyak faktor yang melatarbelakangi fenomena yang terjadi ini. Mulai dari tantangan diskursif atau ideologi yang mewarnai budaya Indonesia hingga pada tantangan ekonomi. Namun, tak sedikit juga wanita yang memandang bahwa ranah politik adalah lahan empuk untuk bisa ikut andil dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Sebagai negara demokrasi, tentu Indonesia menjunjung tinggi HAM dimana wanita dan pria memiliki kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk dalam politik. Hal itu tercermin dari UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 tentang partai politik pasal 65 ayat (1) yang menganjurkan partai politik untuk mencalonkan sebanyak 30% wanita untuk duduk di DPR-DPD, DPR I dan DPR II.

Upaya ini dipandang sebagai langkah positif juga angin segar bagi wanita agar bisa mengambil peran signifikan di ranah politik. Sehingga eksistensi wanita tidak lagi disepelekan dan hanya dijadikan objek politik tapi meningkat menjadi subjek politik.

Sedikit menelisik sejarah tentang eksistensi dan peranan wanita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tentu kita sudah tak asing lagi dengan nama R.A. Kartini yang menjadi salah satu pahlawan wanita dalam membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Selain itu, ada juga Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Kristina Martha Tiahahu, Maria W. Maramis, Nyi Akmad Dahlan, Nyi Ageng Serang dan masih banyak lagi. Sejarah telah mengabadikan nama mereka sebagai sosok yang telah berjasa pada negeri.

Tak hanya itu, jika kita melihat wanita masa kini pun banyak yang telah menyadari pentingnya wanita di ranah politik. Seperti Megawati Soekarnoputri yang menjadi Presiden Wanita pertama di Indonesia. Setelahnya mulai bermunculan sosok pemimpin wanita lain seperti Tri Risma, seorang Walikota Surabaya, yang menggemparkan Indonesia dengan aksi penutupan Gang Dolly dan gaya kepemimpinannya yang santai namun tegas.

Di belahan Indonesia lain, ada Sri Mulyani yang karirnya melejit hingga level internasional, Ia dipercaya menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia dan sekembalinya ke Indonesia Ia dipercaya menjadi Menteri Keuangan. Tiga nama tersebut hanyalah segelintir wanita yang memiliki peran dalam kancah perpolitikan Indonesia yang menunjukkan bahwa di segala masa, wanita seharusnya bisa berperan aktif dalam dunia politik.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bekerja sama dengan lembaga survei asal Washington DC, IFES. Hasilnya, saat dimintai pendapat soal perempuan yang terjun di dunia pemerintahan, menjadi pegawai pemerintah (PNS), sebanyak 88 persen responden mengaku setuju. Saat ditanya soal perempuan yang berkarir menjadi anggota DPR/DPD/DPRD, sebanyak 83 persen responden juga mengaku setuju.

Saat diberikan pernyataan perempuan menjadi anggota partai politik, sebanyak 81 persen responden juga mengaku mendukung. Survey ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk indonesia setuju dengan adanya peran wanita dalam atmosfir perpolitikan Indonesia.

Bukan perkara mudah wanita terjun di dunia politik

Namun, permasalahan yang terjadi di lapangan adalah bahwa banyak wanita yang belum menyadari hal tersebut. Di sisi lain, beberapa wanita yang sudah sadar pun justru tidak diberi ruang untuk berpartisipasi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan minimnya partisipasi wanita dalam dunia politik.

Pertama, adanya konstruksi sosial atau budaya diskursif dimana wanita berada di posisi inferior dalam segala bidang termasuk politik. Wanita selalu diidentikkan dengan mahluk lemah yang ketika berada di ranah politik mereka tidak bisa bersikap tegas terhadap permasalahan yang ada. Anggapan tersebut cukup ternanam kuat di pikiran baik wanita maupun pria yang akhirnya mempengaruhi psikologi wanita.

Tak ayal jika banyak wanita yang masih memandang politik sebagai ranah yang sifatnya maskulin dan terkesan ‘kotor’, sehingga mendorong wanita untuk menjaga jarak dengan dunia perpolitikan dan lebih memilih untuk hanya bergelut di tiga tempat yaitu ‘sumur, dapur dan kasur’. Meskipun ada yang berkarir, kebanyakan wanita merasa nyaman berada di profesi yang dianggap feminin, seperti guru, dokter, designer atau lainnya.

Faktor kedua adalah adanya hambatan kelembagaan politik itu sendiri. Meskipun telah diberi peluang 30% untuk keterwakilan wanita dari partai politik, namun sosialisasi partai dinilai rendah sehingga tidak banyak wanita berkiprah sebagai kader partai.

Selanjutnya, kepemimpinan selalu didominasi oleh laki-laki yang diyakini berpotensi besar untuk memenangkan pemilihan. Selain itu, ada kecenderungan pemilihan anggota wanita berdasarkan kedekatan dengan pemimpin partai sehingga menutup peluang bagi para wanita lain untuk ikut berpartisipasi.

Terakhir adalah faktor ekonomi. Politik terkenal dengan ‘ongkos politik’-nya yang relatif mahal untuk keperluan kampanye dan lain sebagainya demi mendapatkan kursi legislatif. Hal inilah yang membuat ciut nyali para wanita untuk terjun di dunia politik. Karena calon legislatif wanita umumnya tidak berasal dari kalangan mandiri, jadi terasa sulit jika harus berpartisipasi dalam politik.

Upaya peningkatan partisipasi wanita di kancah politik

Hambatan-hambatan tersebut sampai detik ini pun masih menghantui kaum hawa. Harus ada upaya yang bisa mengatasi hal tersebut agar wanita bisa memaksimalkan perannya bukan hanya di elemen sosial tapi juga politik. Upaya tersebut bisa dimulai dari tubuh partai politik itu sendiri. Parpol menjadi wadah yang tepat untuk meningkatkan partisipasi wanita terutama melalui sistem perekrutannya.

Partai politik hendaknya mengutamakan kaderisasi wanita untuk bisa mendapatkan jabatan politis. Namun, sebelumnya, wanita pun harus dibekali dengan pendidikan politik agar memiliki kesiapan ketika nanti berada di lahan politik praktis. Sehingga peraturan 30% keterwakilan wanita dari partai politik tidak hanya menjadi penghias pasal yang realisasinya nihil.

Selain itu, pemberdayaan perempuan pun harus gencar dilakukan agar wanita bisa menyadari dan mengeksplor potensi diri masing-masing. Pemberdayaan ini bisa dilakukan melalui beberapa jalan seperti penignkatan mutu pendidikan perempuan. Karena dengan pendidikan, wanita bisa mengerti pentingnya peranan wanita di berbagai bidang terutama politik.

Wanita yang berpendidikan tentu akan menyadari bahwa ada satu kesalahan di bidang politik yang memerlukan hati nurani perempuan untuk memperbaikinya. Dengan demikian, wanita itu sendiri termotivasi untuk bertindak dalam memperbaiki pembangunan bangsa Indonesia.

Selanjutnya melalui kesehatan, wanita sebagai pencetak tunas-tunas bangsa mesti memiliki jiwa dan raga yang sehat, karena itu adalah hal yang penting untuk menjadi penggerak perubahan pada bangsa. Dari perempuan yang sehat maka melahirkan calon-calon pemimpin cerdas dan hebat.

Oleh karena itu, upaya tersebut harus diterapkan semaksimal mungkin oleh berbagai pihak yaitu pemerintah, partai politik, bahkan wanita itu sendiri sehingga faktor penghambat  baik yang bersifat eksternal dan internal bisa teratasi. Perlu ada kerja sama yang baik dari berbagai kalangan untuk mewujudkan politik yang beratmosfir adil lagi elegan.

Sifat perempuan yang lembut dan penuh hati nurani akan merubah ‘wajah politik’ Indonesia yang sebelumnya terkesan amburadul menjadi ke arah yang lebih demokratis. Wanita perlu disadarkan juga diberi ruang untuk ikut berkecimpung di dunia politik demi Indonesia yang lebih maju.

#LombaEsaiPolitik

Referensi :

Ollenburger, Jane C. Dan Helen A. Moore. Sosiologi Wanita. 2002. Pt Rineka Cipta: Jakarta.

Agustina, Heryani. 2009. Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Perspektif Keadilan dan Kesetaraan Gender. Tiara Wacana : Yogyakarta

Ihsanuddin. 2014. “Survei: Perempuan Masih Dipandang Sebelah Mata di Dunia Politik Indonesia”, Nasional Kompas. http://nasional.kompas.com/read/2014/02/11/2159058/Survei.Perempuan.Masi... , diakses pada 25 september 2016

UNDP Indonesia. 2010. Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan. Makalah Kebijakan UNDP Indonesia. http://acch.kpk.go.id/documents/10180/11263/Women's+Participation+in+Pol..., diakses pada 25 september 2016

Pasya, Gurniwan K. Peranan Wanita dalam Kepemimpinan dan Politik. Jurnal Wanita.http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196103231986031-... diakses pada 26 september 2016

Robiatul Adhawiyah

Perempuan yang selalu ingin mencoba hal positif dan bisa bermanfaat bagi orang lain

Dunia Politik di Mata Wanita

Emansipasi Perempuan di Dunia Politik Indonesia

$
0
0
https://www.google.co.id/search?q=Politik+perempuan&rlz=1C1GKLB_enID705ID705&espv=2&biw=1366&bih=638&tbm=isch&source=lnms&sa=X&ved=0ahUKEwjS0YjO48DPAhXKRo8KHdl0BRcQ_AUIBygC#imgrc=7KEJ6K_jPBN3uM%3A

Sejarah pergerakan perjuangan kaum perempuan di Indonesia telah menorehkan nama-nama perempuan hebat yang turut andil dalam aktivitas politik dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan melawan penjajah telah mengabadikan  nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu, Yolanda Maramis, dan sebagainya.

Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, nama-nama mereka abadi sebagai orang-orang yang memperjuangkan memperjuangkan hak-hak perempuan dan peranan perempuan yang setara dengan pria. Terutama hak-hak wanita yang dulu dibatasi dengan dinding-dinding deskriminasi sekarang sudah mulai memudar dan cenderung di tinggal.

Sejarah yang ditorehkan tersebut menjadi prestasi yang perlu diapresiasi dan diperjuangkan. Namun sayangnya, perkembangan zaman yang telah berubah ternyata tidak berjalan dengan mulus. Berdasarkan salah satu sumber  menyebutkan bahwa, perempuan Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik.

Partisipasi perempuan yang turut andil dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan diatur sedemikian rupa. Dan ironinya para perempuan tidak menyadari hal demikian. Dalam mengisi kemerdekaan, perempuan terlihat belum bisa memberi andil dan kontribusi. Mereka pun, cenderung menghindari kegiatan berpolitik. Oleh karena itu munculah sikap pasif dan acuh di antara perempuan yang sudah mempunyai posisi tertentu untuk merekontruksi  status pembatasan di bidang politik.  

Dengan semangat penyetaraan gender, para wanita ingin mendapatkan kesetaraan hak baik secara pribadi maupun konstitusi. Seiring berjalanya waktu, masyarakat beranggapan bahwa gender itu bukan hanya bermakna identitas dan struktur sosial saja, melainkan lebih dari itu. Sehingga seakan hal tersebut  membuat wanita sekarang  tidak  ingin lagi dibedakan dengan laki-laki dalam dunia politik maupun lainya.

Hal ini tentunya sejalur dengan perkembangan pola pikir dan rasionalitas masyarakat yang seakan sudah mencapai titik klimaksnya yang mana posisi wanita di berbagai aspek kehidupan ini tidak bisa dianggap remeh dan nihil. Dengan faktanya di zaman serba modern ini keberadaan perempuan dengan berbagai kontribusinya, dedikasi, dan perjuangannya seakan menjadi ujung tombak negeri ini dalam pencapaian cita-cita luhur banga Indonesia .

Keterbatasan perempuan dalam aspek aksesibilitas pendidikan, sumber daya, informasi dan lainnyaa ternyata telah menjadikan perempuan dalam kurun waktu yang lama telah tertinggal dalam bidang politik, sehingga kiprah di dunia politik sangat rendah. Perempuan hanya terlihat sebagai obyek atau bahkan politik pasif saja.

Pada prakteknya perempuan menjadi sangat sedikit partisipasinya dalam kehidupan publik apalagi dalam urusan politik. Aktivitas ini dapat dilihat secara kuantitatif pada keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan politik dalam area perpolitikan.  

Apalagi, secara kuantitas jumlah perempuan di Indonesia secara dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan lebih banyak dibandingkan dengan kuantitas  laki-laki. Peran serta perempuan dalam kancah kemasyarakatan seharusnya memiliki potensi yang sangat besar. Namun hal ini belum dimaksimalkan oleh lingkungan dalam hal ini masyarakat maupun pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga yang harusnya memberikan dorongan dan edukasi ke arahnya.

Meski Indonesia telah memasuki  era reformasi yang memberikan angin segar khususnya bagi kaum perempuan dengan mendapat kesempatan lebih dalam hak politiknya dibanding era sebelumnya. Dengan adanya kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan tersebut, hal ini  semakin membuat kedudukan perempuan memasuki era yang diharapkan. Apalagi hal itu juga telah diamanatkan oleh konstitusi negara kita Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada penggalan Pasal 28D ayat 1 berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Hal itu berarti baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, berperan dalam berbagai bidang misalnya : politik, dunia pendidikan, kesehatan, dan berperan dalam bentuk apa pun demi kemajuan dan kemakmuran serta keutuhan negara Negara Nesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Pernyataan itu semakin menekankan bahwa kedudukan perempuan di berbagai aspek terutama politik secara pasti dan terjamin memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Seperti contohnya, pastilah kita kenal dengan berbagai tokoh perempuan yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, seperti Ibu Megawati Soekarnoputri (presiden RI ke 4), Ibu (Walikota Surabaya),  Ibu Susi Pudjiastuti (Menko Kemaritiman) Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) , tokoh perempuan di tingkat Pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten/Kota, Bupati dan Walikota dari kalangan perempuan bisa dibilang banyak jumlahnya dan juga telah terbukti.

                         Apalagi sejak Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002, telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur perihal keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%.

Meski upaya penerapan kuota telah dilakukan, namun berdasarkan survei pada Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan yang signifikan karena baru mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang anggota). Untuk menopang terwujudnya kuota 30% tersebut perlu pemikiran yang matang dan keseriusan yang penuh bagi para perempuan yang memilih dan meniti kontribusinya di dunia politik tersebut. Dengan keseriusan dan semangat untuk meningkatkan kontribusi perempuan dalam dunia politik maka tidak akan menutup kemungkinan terpenuhinya kuota 30% tersebut pada pemilu 2019 nanti.

                       Dengan beragam kompleks permasalahan, keterbatasann, dan kesempatan perempuan di dunia politik seakan seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Di sisi lain, tanggung jawab perempuan sebagai seorang makhluk istimewa ciptaan-Nya memiliki tugas yang sangat penting yaitu sebagai seorang ibu dan mengurus rumah tangga keluarga sebagai kodrat alamiahnya. Namun di sisi lain, perempuan memiliki andil yang sangat penting bagi pergerakan politik di Indonesia dan kontribusi serta keikutsertaan dalam kancah dan pengambilan keputusan politik demi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia  tidak bisa disepelekan. Dengan berbagai kontribusi perempuan  di dunia politik Indonesia, sepatutnya perempuan turut andil dan berkontribusi di dalamnya selain kodratnya sebagai seorang perempuan. Apalagi dengan adanya globalisasi dan reformasi pada negeri ini, semakin memudahkan partipasi  ke dunia politik bisa dilakukan dalam segala bidang dan hal tentunya tidak melupakan kodrat sebagai seorang perempuan. Oleh karena itu, partsipasi politik perempuan tidak hanya sekadar suara dalam pemilu saja. Partisipasi politik bisa meliputi banyak hal, terkait kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan asosiasi, mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, dan kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon, berkampanye, serta untuk memegang jabatan di semua tingkat pemerintahan. Hampir setiap negara sudah mengakui dan menjamin bahwa, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek dari proses politik. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan hak tersebut seoptimal mungkin. Walaupun dalam praktiknya, bagi sebagian perempuan masih sulit untuk menggunakan hak tersebut. Namun, sebagai perempuan, banyak akses yang memudahkan kita untuk berpartisipasi lebih dari sekadar menyumbangkan suara dalam pemilu. Oleh karena itu tidak sepatutnya di zaman reformasi saat ini, keterlibatan perempuan di dalam segala aspek kehidupan khususnya dunia politik diremehkan. Sehingga, pada akhirnya akan terciptanya masyarakat dan negara yang menghargai kesederajatan hak dan kesempatan tanpa pembatasan gender maupun yang lainnya dan pada akhirnya terciptalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia. #LombaEsaiPolitik

Sigit Raharja

Adalah seorang Mahasiswa yang menimba ilmu di IAIN Surakarta, Jawa Tengah dengan mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam. Lahir pada tanggal 25 Oktober 1997. Nomor telepon 085100883416

Emansipasi Perempuan di Dunia Politik Indonesia

Emansipasi Perempuan di Dunia Politik Indonesia

$
0
0
https://www.google.co.id

Sejarah pergerakan perjuangan kaum perempuan di Indonesia telah menorehkan nama-nama perempuan hebat yang turut andil dalam aktivitas politik dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan melawan penjajah telah mengabadikan  nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu, Yolanda Maramis, dan sebagainya.

Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, nama-nama mereka abadi sebagai orang-orang yang memperjuangkan memperjuangkan hak-hak perempuan dan peranan perempuan yang setara dengan pria. Terutama hak-hak wanita yang dulu dibatasi dengan dinding-dinding deskriminasi sekarang sudah mulai memudar dan cenderung di tinggal.

Sejarah yang ditorehkan tersebut menjadi prestasi yang perlu diapresiasi dan diperjuangkan. Namun sayangnya, perkembangan zaman yang telah berubah ternyata tidak berjalan dengan mulus. Berdasarkan salah satu sumber  menyebutkan bahwa, perempuan Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik.

Partisipasi perempuan yang turut andil dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan diatur sedemikian rupa. Dan ironinya para perempuan tidak menyadari hal demikian. Dalam mengisi kemerdekaan, perempuan terlihat belum bisa memberi andil dan kontribusi. Mereka pun, cenderung menghindari kegiatan berpolitik. Oleh karena itu munculah sikap pasif dan acuh di antara perempuan yang sudah mempunyai posisi tertentu untuk merekontruksi  status pembatasan di bidang politik. 

Dengan semangat penyetaraan gender, para wanita ingin mendapatkan kesetaraan hak baik secara pribadi maupun konstitusi. Seiring berjalanya waktu, masyarakat beranggapan bahwa gender itu bukan hanya bermakna identitas dan struktur sosial saja, melainkan lebih dari itu. Sehingga seakan hal tersebut  membuat wanita sekarang  tidak  ingin lagi dibedakan dengan laki-laki dalam dunia politik maupun lainya.

Hal ini tentunya sejalur dengan perkembangan pola pikir dan rasionalitas masyarakat yang seakan sudah mencapai titik klimaksnya yang mana posisi wanita di berbagai aspek kehidupan ini tidak bisa dianggap remeh dan nihil. Dengan faktanya di zaman serba modern ini keberadaan perempuan dengan berbagai kontribusinya, dedikasi, dan perjuangannya seakan menjadi ujung tombak negeri ini dalam pencapaian cita-cita luhur banga Indonesia .

Keterbatasan perempuan dalam aspek aksesibilitas pendidikan, sumber daya, informasi dan lainnyaa ternyata telah menjadikan perempuan dalam kurun waktu yang lama telah tertinggal dalam bidang politik, sehingga kiprah di dunia politik sangat rendah. Perempuan hanya terlihat sebagai obyek atau bahkan politik pasif saja. Pada prakteknya perempuan menjadi sangat sedikit partisipasinya dalam kehidupan publik apalagi dalam urusan politik.

Aktivitas ini dapat dilihat secara kuantitatif pada keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan politik dalam area perpolitikan.  Apalagi, secara kuantitas jumlah perempuan di Indonesia secara dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan lebih banyak dibandingkan dengan kuantitas  laki-laki. Peran serta perempuan dalam kancah kemasyarakatan seharusnya memiliki potensi yang sangat besar.

Namun hal ini belum dimaksimalkan oleh lingkungan dalam hal ini masyarakat maupun pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga yang harusnya memberikan dorongan dan edukasi ke arahnya. Meski Indonesia telah memasuki  era reformasi yang memberikan angin segar khususnya bagi kaum perempuan dengan mendapat kesempatan lebih dalam hak politiknya dibanding era sebelumnya.

Dengan adanya kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan tersebut, hal ini  semakin membuat kedudukan perempuan memasuki era yang diharapkan. Apalagi hal itu juga telah diamanatkan oleh konstitusi negara kita Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada penggalan Pasal 28D ayat 1 berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Hal itu berarti baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, berperan dalam berbagai bidang misalnya : politik, dunia pendidikan, kesehatan, dan berperan dalam bentuk apa pun demi kemajuan dan kemakmuran serta keutuhan negara Negara Nesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Pernyataan itu semakin menekankan bahwa kedudukan perempuan di berbagai aspek terutama politik secara pasti dan terjamin memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Seperti contohnya, pastilah kita kenal dengan berbagai tokoh perempuan yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, seperti Ibu Megawati Soekarnoputri (presiden RI ke 4), Ibu (Walikota Surabaya),  Ibu Susi Pudjiastuti (Menko Kemaritiman) Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) , tokoh perempuan di tingkat Pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten/Kota, Bupati dan Walikota dari kalangan perempuan bisa dibilang banyak jumlahnya dan juga telah terbukti.

                             Apalagi sejak Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002, telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur perihal keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%.

Meski upaya penerapan kuota telah dilakukan, namun berdasarkan survei pada Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan yang signifikan karena baru mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang anggota).

Untuk menopang terwujudnya kuota 30% tersebut perlu pemikiran yang matang dan keseriusan yang penuh bagi para perempuan yang memilih dan meniti kontribusinya di dunia politik tersebut. Dengan keseriusan dan semangat untuk meningkatkan kontribusi perempuan dalam dunia politik maka tidak akan menutup kemungkinan terpenuhinya kuota 30% tersebut pada pemilu 2019 nanti.

                             Dengan beragam kompleks permasalahan, keterbatasan, dan kesempatan perempuan di dunia politik seakan seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Di sisi lain, tanggung jawab perempuan sebagai seorang makhluk istimewa ciptaan-Nya memiliki tugas yang sangat penting yaitu sebagai seorang ibu dan mengurus rumah tangga keluarga sebagai kodrat alamiahnya.

Namun di sisi lain, perempuan memiliki andil yang sangat penting bagi pergerakan politik di Indonesia dan kontribusi serta keikutsertaan dalam kancah dan pengambilan keputusan politik demi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia  tidak bisa disepelekan. Dengan berbagai kontribusi perempuan  di dunia politik Indonesia, sepatutnya perempuan turut andil dan berkontribusi di dalamnya selain kodratnya sebagai seorang perempuan.

Apalagi dengan adanya globalisasi dan reformasi pada negeri ini, semakin memudahkan partipasi  ke dunia politik bisa dilakukan dalam segala bidang dan hal tentunya tidak melupakan kodrat sebagai seorang perempuan. Oleh karena itu, partsipasi politik perempuan tidak hanya sekadar suara dalam pemilu saja. Partisipasi politik bisa meliputi banyak hal, terkait kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan asosiasi, mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, dan kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon, berkampanye, serta untuk memegang jabatan di semua tingkat pemerintahan.

Hampir setiap negara sudah mengakui dan menjamin bahwa, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek dari proses politik. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan hak tersebut seoptimal mungkin. Walaupun dalam praktiknya, bagi sebagian perempuan masih sulit untuk menggunakan hak tersebut.

Namun, sebagai perempuan, banyak akses yang memudahkan kita untuk berpartisipasi lebih dari sekadar menyumbangkan suara dalam pemilu. Oleh karena itu tidak sepatutnya di zaman reformasi saat ini, keterlibatan perempuan di dalam segala aspek kehidupan khususnya dunia politik diremehkan.

Sehingga, pada akhirnya akan terciptanya masyarakat dan negara yang menghargai kesederajatan hak dan kesempatan tanpa pembatasan gender maupun yang lainnya dan pada akhirnya terciptalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia.#LombaEsaiPolitik.

Sigit Raharja

Adalah seorang Mahasiswa yang menimba ilmu di IAIN Surakarta, Jawa Tengah dengan mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam. Lahir pada tanggal 25 Oktober 1997. Nomor telepon 085100883416

Emansipasi Perempuan di Dunia Politik Indonesia

Perlawanan Politis Perempuan Kendeng

$
0
0
Sumber: bersatoe.com, Para petani perempuan Kendeng menanam kaki mereka pada balok semen di depan Istana Negara

Instrumentalisme telah membawa cara pandang manusia dalam melihat alam. Alam, dalam hal ini, dilihat sejauh kemanfaatannya bagi hidup manusia. Pemahaman ini mensubordinasi posisi alam dan mengubahnya menjadi objek di bawah manusia. Pada titik ini, alam berubah menjadi lingkungan.

Berbeda dengan alam yang holistik, lingkungan telah disegregasi menurut peruntukannya. Interaksi sosial suatu masyarakat mengubah “ruang alam” yang fisikal menjadi “ruang lingkungan” yang fungsional. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan hidup manusia dalam ruang yang melingkupinya. Namun, sejauh manakah fungsi ruang tersebut dituntut?

Tulisan ini mau mengetengahkan perlawanan masyarakat pegunungan Kendeng (Rembang, Pati, dan Grobogan) terhadap PT Semen Indonesia yang mendeforestasi hutan mereka untuk pembangunan pabrik semennya. Persoalan ini menarik perhatian media nasional ketika sembilan perempuan Kendeng, dalam demonstrasi di depan Istana Negara, mengecor kakinya dengan semen sebagai simbol perlawanan. Penderitaan yang dinarasikan oleh kesembilan perempuan ini menjadi tanda yang menarik untuk menganalisis simbol perlawanan masyarakat keseluruhan dalam keterkaitannya dengan lingkungan. Ada apa dengan perempuan?

Persoalan Masyarakat Kendeng

Pada tahun 2012, Pati menolak keberadaan PT Semen Gresik. Kemenangan masyarakat ini membuat perusahaan merelokasi pabriknya ke Rembang dengan total nilai investasi sebesar 3,7 Triliun Rupiah (http://www.mongabay.co.id/2016/04/14/berharap-semen-kaki-para-perempuan-...).

Masyarakat di Rembang mengkhawatirkan disfungsi Pegunungan Karst Kendeng Utara sebagai penopang irigasi bagi masyarakat petani dan peternak di sana. Sebab, pembangunan pabrik semen di tempat itu akan menghancurkan karst Pegunungan Kendeng dan menghilangkan sumber air yang ada. Hal ini tentunya akan mengancam aktifitas pertanian dan peternakan mereka, serta menimbulkan pula konflik vertikal dan horizontal yang berkepanjangan.

Namun, penyelesaian persoalan lingkungan di Rembang tidak ditanggapi serius oleh pemerintah daerah. Sejak Juni 2014 masyarakat mendiami tenda darurat yang dibangun di pinggiran jalan. Lima bulan berselang, tepatnya pada November 2014, puluhan masyarakat Rembang berinisiatif mendatangi berbagai kementerian di Jakarta (http://www.mongabay.co.id/2016/04/14/berharap-semen-kaki-para-perempuan-...).

Penyelesaian yang berlarut-larut telah menjadi catatan yang buruk bagi Kementerian seperti Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dipimpin oleh Siti Nurbaya. Tidak puas dengan efektifitas audiensi, masyarakat Rembang juga melayangkan gugatan hukum atas izin lingkungan yang dikeluarkan oleh bupatinya. Namun, hasil putusan di PTUN mengandaskan perjuangan mereka. Tidak terima, warga pun melakukan banding ke tingkat peradilan selanjutnya (http://www.mongabay.co.id/2016/04/14/berharap-semen-kaki-para-perempuan-...).

Karena tidak mendapatkan perhatian yang setimpal, masyarakat pun  memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan simbolisasi aksi yang lebih kuat. Dengan berani, kesembilan perempuan asal Kendeng menyemen kedua kaki mereka di bawah terik matahari. Di depan Istana Negara, mereka menyuarakan aspirasinya. “Sudah empat kali kami ke Jakarta, […] Kami sudah putus asa sampai nekat pasung semen ini”, kata Giyem dalam wawancara (http://www.mongabay.co.id/2016/04/14/berharap-semen-kaki-para-perempuan-...). Tetapi, mengapa perempuan?

Makna Perlawanan Perempuan Kendeng

Sutinah (Rembang), Muntiwi (Rembang), Sutini (Rembang), Surani (Rembang), Kastuti (Rembang), Giyem (Pati), Ambarwati (Pati), Ngadinah (Pati), dan Deni Yuliati (Purwodadi) adalah perwakilan dari masyarakat pegunungan Kendeng. Mayoritas penduduk di sana hidup dari pertanian dan peternakan dengan menggantungkan usahanya dari pengairan.

Bagi masyarakat di sekitar pegunungan Kendeng, air adalah kebutuhan hidup yang sangat vital. Selain menopang pertanian dan peternakan, air juga dibutuhkan bagi aktifitas esensial kehidupan lainnya. Bagaimana hal ini dijelaskan?

Rahim bumi dan rahim perempuan berproses dalam aturan kosmologis. Keduanya memiliki kemampuan melahirkan (Pratiwi, 2015:64). Kemampuan ini diandaikan oleh air yang mengaliri bumi dan darah yang mengaliri tubuh. Keduanya juga berproses seturut ritme bulan, sebagaimana air dalam gelombang pasang laut dan darah dalam menstruasi perempuan. Sehingga, kedua sifat alir ini berperan dalam fungsi kodrati yang sama: menghidupkan rahim dan menghidupkan tanah, tempat kehidupan pertama.

Alam dan perempuan memiliki satu keterikatan. Mutualisme di antara keduanya membawa berkat sekaligus akibat. Dalam konteks perjuangan di Kendeng, kerusakan alam berpengaruh besar pada kehidupan kaum perempuan. Inilah yang menjadi alasan, kenapa sembilan perempuan Kendeng beraksi nekat di depan gedung Istana.

Perempuan adalah pihak pertama yang paling terkena dampak atas pengrusakan alam. Berbagai peran ganda yang ia emban menempatkannya pada posisi yang serba menyulitkan. Air, misalkan, dibutuhkan untuk urusan mereka dalam rumah tangga seperti mencuci dan memasak. Ia juga dibutuhkan untuk keperluan minum dan mandi. Dalam bekerja, fungsi air juga dibutuhkan untuk bertani dan beternak, dua mata pencaharian utama masyarakat Kendeng yang juga melibatkan perempuan sebagai pekerjanya. Selain itu, air juga dibutuhkan untuk keperluan perempuan yang lebih kodrati seperti reproduksi dan menyusui. Sehingga, bagaimanakah posisi kaum perempuan, apabila lingkungan mereka ketiadaan air?

Penghancuran karst Pegunungan Kendeng oleh pembangunan pabrik semen berpotensi besar menghilangkan sumber air. Kekhawatiran ini beralasan mengingat air bagi Perempuan Kendeng adalah anasir alam yang sangat esensial bagi kehidupan mereka. Ini mendesak sebab perempuan Kendeng tidak hanya dibebani oleh pekerjaan bertani dan berternak. Mereka juga dibebani oleh tugas kultural dan kodrati mereka yaitu mengurusi rumah tangga dan bereproduksi.

Sutinah, 42, pemimpin demonstrasi dan aksi pada 12 April 2016, mengatakan bahwa Tuntutan Gunung Kendeng Lestari memungkinkan mereka untuk terus bertani. Sutinah menambahkan bahwa mereka makan nasi dan bukannya semen. Ngatemi, di sisi lain, juga mengutarakan bahwa mayoritas warga di sana bertani padi dan palawija. Produksi gabah keluarganya bisa dua kali setahun.

Dalam sekali panen total gabah yang dihasilkan bisa sebanyak 50 karung, dan inipun masih bergantung pada luasan sawah. “Kalau ada pabrik kita makan apa? Itu (produksi padi) dimakan sampai tahun depan, cukup. Gak boleh tanah tani kita diobrak-abrik.”, ujarnya. (http://www.mongabay.co.id/2016/04/14/berharap-semen-kaki-para-perempuan-...).

Perlawanan Politik Perempuan Kendeng Yang Menubuh

Kebutuhan akan air yang begitu esensial dalam tiga ruang di atas (rumah, tempat kerja, tubuh) berkaitan erat dengan identitas mereka sebagai perempuan yang melahirkan. Pegunungan Kendeng sendiri sudah disimbolkan sebagai rahim bumi yang mengeluarkan sumber air penghidupan. Kedekatan emosional perempuan dengan pegunungan mengundang reaksi mereka untuk berjuang secara tubuh (fisik) di jalan. Inilah yang menjadi wujud dari sikap politik mereka.

Mereka berpartisipasi secara politik untuk memengaruhi putusan politik. Ketika hukum positif tidak memihak mereka, merekapun berjuang secara politik. Namun, partisipasi politik Perempuan Kendeng merupakan luapan dari rasa jenuh, ketika saluran aspirasi yang tersedia (eksekutif, legislatif dan yudikatif) terlalu konvensional di mata birokrasi.

Oleh karena itu, mereka membutuhkan simbolisasi baru, semacam aksi teatrikal, semacam sebuah pertunjukan, agar derita mereka bisa menjadi perhatian. Bayangkan betapa besarnya nilai politik suatu perjuangan ketika deritanya itu dipertontonkan, apalagi dengan menyemen kaki, simbol kebebasan sekaligus ketidakbebasan, di depan Istana Negara?

Menarik bahwa aspirasi yang mereka keluarkan berasal dari bagian tubuh mereka sendiri. Tidak ada semacam fokalisasi dengan meminjam suara orang lain. Sehingga,  emat saya, aksi menyemen kaki merupakan aksi yang pertama-tama menunjukan keterpasungan diri di hadapan negara dan korporasi.

Namun di lain sisi, aksi itu menunjukan pula otonomi diri untuk berjuang secara mandiri dalam cara yang tidak terpikirkan. Cara yang malah dilakukan untuk menunjukan rasa frustasi tubuhnya yang akut. Bagi saya, inilah momen bagi Perempuan Kendeng untuk menunjukan subjektifitas dirinya yang dinamis, yang menubuh.  

Anita Dhewy (2010) menjelaskan bahwa pengalaman perempuan berdialektika dengan tubuhnya. Kerusakan alam, dalam hal ini, mengundang respons tubuh perempuan dan menstimulasi perlawanannya.

Kekurangan air benar-benar dirasakan oleh tubuh Perempuan Kendeng yang bekerja dalam tiga ruang: ruang pekerjaan, rumah tangga, dan ruang dirinya. Kemampuannya dalam merasakan kekurangan ini dilandasi oleh beban kultural dan sifat kodratinya, reproduktif. Dalam pekerjaan ia harus menghasilkan, dalam rumah tangga ia harus membereskan, dan dalam dirinya ia harus melahirkan. Semuanya ini bergantung pada air, anasir alam utama dalam penghidupannya.

Bagi kaum feminis, demikian Dhewy mengutip pandangan Julia Kristeva (2015:83), subjektivitas tidaklah bersifat tetap dan utuh.  Subjektivitas mengalami dinamika yang kompleks sebagaimana stimulus eksternal yang beragam memengaruhi tubuh. Subjektivitas feminis adalah subjektivitas yang menubuh, subjektivitas yang berdialektika dengan perubahan yang dialami tubuh. Hal ini berbeda dengan konsep laki-laki yang melihat subjektivitas sebagai sesuatu yang unik, ajeg, dan utuh.

Maka partisipasi politik Perempuan Kendeng di depan Istana Negara adalah Partisipasi Politik yang menubuh. Partisipasi yang keluar dari penderitaan tubuh dan dikembalikan lagi melalui cara melukai tubuh (menyemen kaki). Bisa dibayangkan frustasi macam apakah itu?

Penutup: Komentar Mengenai Peran Parpol

Partisipasi politik tidak hanya melalui lembaga negara resmi seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, atau pers. Model partisipasi, sebagaimana yang ditunjukan oleh Perempuan Kendeng, sudah menjadi model alternatif ketika kebuntuan bersuara malah berasal dari kanal-kanal resmi yang sudah melembaga. Namun, penguatan lembaga politik di atas termasuk juga partai politik menjadi sesuatu yang mendesak untuk kita pikirkan bersama-sama.

Emat saya, aksi Perempuan Kendeng bisa juga berarti kritik sosial yang tajam terhadap partai politik. Kemandulan partai politik dalam mengadvokasi kepentingan konstituennya bisa mendeligitimasi peran parpol sebagai saluran aspirasi. Apalagi bila parpol, dalam konteks persoalan ini, tidak konsisten dalam mengawali perencanaan pembangunan, baik dari proses legislasi ataupun eksekusi.

Perencanaan pembangunan yang terjadi di Kendeng adalah perencanaan yang tidak saja kontra terhadap nilai ekologi an sich. Lebih dari itu, perencanaan tersebut telah menyeret persoalan diskriminasi yang bila disegmentasi akan memunculkan ketidakberdayaan kaum perempuan terhadap bencana ekologis yang menimpa lingkungannya.

Hal ini menarik untuk dikaji mengingat wacana perempuan dalam partai politik masih sebatas partisipasi perempuan dalam dunia eksekutif atau legislatif. Partisipasi yang kuantitatif ini masih sebatas wacana mengenai pencalonan yang secara definitif dibatasi pada istilah “kuota”. Padahal wacana mengenai perempuan dalam perjuangan partai politik sebagai saluran aspirasi harus juga mempersoalkan diskriminasi gender yang diakibatkan oleh pembangunan.

Perjuangan itu tersalurkan secara riil melalui usulan legislasi dan pengawasan implementasi terhadap hak-hak perempuan dalam setiap produk perundangan yang berbau pembangunan, entah itu fisik ataupun nonfisik. Sejauh manakah hal ini mungkin dilakukan?

Daftar Rujukan

Dhewy, Anita. 2015. Subjektivitas Perempuan dalam Novel Oka Rusmini Tempurung (2010): Diri dalam Perkawinan, Kehamilan dan Pengibuan dalam Dewi Candraningrum, dkk. (ed.). Ekofeminisme III Tambang, Perubahan Iklim dan Memori Rahim. Yogyakarta: Jalasutra

http://www.mongabay.co.id/2016/04/14/berharap-semen-kaki-para-perempuan-...

Pratiwi, Andi Misbahul. 2015. Anak-anak Menyusu Air, Batu, Bambu: Perempuan Ratu Jaya Merawat Bantaran Sungai Ciliwung dalam Dewi Candraningrum, dkk. (ed.). Ekofeminisme III Tambang, Perubahan Iklim dan Memori Rahim. Yogyakarta: Jalasutra

#LombaEsaiPolitik

Fandis Nggarang

Saya lahir di Ende, Nusa Tenggara Timur. Saya senang membaca buku dan menulis. Tema-tema yang saya tekuni adalah Filsafat, Bahasa, Budaya dan Politik, dengan penekanan pada Critical Discourse Analysis. Sekarang saya menempuh Studi Magister Linguistik Peminatan Bahasa dan Budaya di Universitas Indonesia. Berharap bisa lulus sempurna dan melanjutkan studi di jenjang yang sama di Cambridge atau Oxford.

Perlawanan Politis Perempuan Kendeng

Kaum Perempuan di Balik Kemerdekaan

$
0
0
tekstur by deviantart

Dalam sejarah panjangnya, perempuan kerap dijadikan sebagai makhluk kelas kedua. Kodratnya yang dilahirkan dalam kelembutan dan kelemahan fisik dibandingkan lelaki membuat perempuan sering disalahartikan menjadi makhluk yang ‘tidak begitu bermanfaat’. Bukan barang baru lagi ketika kita menilik sejarah dan menemukan bagaimana kaum perempuan pada masa berbagai peradaban besar dunia hanya sering dijadikan budak dan pemuas nafsu lelaki semata.

Pada masa Yunani Kuno, sebagai contoh, yang dikenal sebagai peradaban hebat, besar dan menyejarah, perempuan dipandang hanya sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga. Dalam peradaban Romawi, pandangan tentang perempuan lebih ekstrem lagi. Pada masa itu, seorang laki-laki diberi hak penuh untuk menghabisi nyawa isterinya sendiri.

Bahkan, dalam peradaban Mesir, perempuan dianggap sebagai iblis dan merupakan simbol kejahatan. Dan terakhir, tentu masih membekas jelas dalam ingatan bagaimana sejarah membeberkan nasib kaum perempuan yang dianggap sebagai aib pada masa Arab Jahiliyah dan harus dibunuh hidup-hidup segera setelah lahir.

Bagaimana dengan sejarah perempuan di Tanah Air Indonesia? Secara mengejutkan, Indonesia pun menyimpan sejarah kelam atas penindasan terhadap kaum perempuan. Tampaknya budaya ketimuran yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia tidak berlaku saat masa-masa krisis tahun 1965.

Saat itu, ketika kemerdekaan Indonesia sudah diumumkan dua tahun sebelumnya, hal itu menjadi titik tolak perebutan kekuasaan. Ideologi-ideologi bersaing agar menjadi tonggak dalam penerapan peraturan negara Indonesia yang sekiranya masih mencari arah dan berusaha menjadi negara yang disegani dunia.

Perang ideologi di Tanah Air terjadi dalam kalangan elit bangsa, seperti Presiden, Militer, dan gerakan Komunis di Indonesia yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan dan persaingan merebak di mana-mana, dan yang menjadi korban tentulah masayarakat. Tetapi, masyarakat yang merasakan dampak terburuk dari pecahnya perang ideologi tersebut tentunya adalah para perempuan.

Dikutip dari buku Suara Perempuan Korban Tragedi 1965 oleh Ita F. Nadia (Galang Press, Yogyakarta, 2009), perempuan pada masa itu menjadi serendah-rendahnya makhluk. Para perempuan yang disangkakan sebagai bagian dari organisasi perempuan Gerwani (Gerakan Wanita) maupun yang diduga sebagai isteri dari anggota PKI, mengalami masa-masa pahit di tahun 1965. Mereka dijadikan tahanan politik dan diperlakukan secara tidak senonoh.

Tak jarang para perempuan tersebut harus mengikuti permainan para lelaki yang menahan mereka. Dari disiksa sambil ditelanjangi, dimaki dengan kata-kata kotor, hingga dipaksa menari tanpa busana dan jika menolak, maka konsekuensinya adalah nyawa.  Miris, ketika di negeri sendiri pelecehan terhadap kaum perempuan ternyata sudah terjadi sejak masa-masa kemerdekaan.

Pertanyaannya sekarang: apakah perempuan pada masa kini, dengan segala kecanggihan teknologi dan maraknya kemunculan ide-ide yang mengusung kesetaraan gender, sudah terbebas dari bayang-bayang pelecehan dan mendapatkan semua haknya secara layak?

71 Tahun Merdeka, Sudahkah Indonesia Memerdekakan Hak-hak Perempuan?

Jika kita menilik pemberitaan media akhir-akhir ini, maka akan dijumpai banyaknya kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di Tanah Air Indonesia. Salah satu kasus yang paling menyayat hati adalah kasus Yuyun, 14 tahun, yang harus meregang nyawa akibat pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh 14 orang pemuda yang tengah mabuk-mabukan. Tak lama berselang, kasus baru muncul.

Adalah Eno Parinah, 19 tahun, yang dibunuh secara keji menggunakan cangkul setelah diperkosa oleh kekasihnya sendiri. Dua kasus ini hanyalah sedikit dari kasus pelecehan terhadap perempuan yang sempat mencuat di publik. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang tenggelam dan tidak tersorot media.

Jadi bisa dibayangkan ada berapa banyak perempuan di negeri ini yang menjadi korban pelecehan. Lebih mirisnya lagi, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak di bawah umur yang masih berseragam putih biru dan putih abu-abu.

Maraknya kasus pelecehan yang menimpa perempuan pada masa ini menjadi bukti bahwa perempuan belum mendapatkan haknya secara penuh. Hak untuk merasa aman menjadi salah satu hak yang paling sulit untuk didapatkan. Di sinilah sebenarnya peran pemerintah maupun para aktivis partai politik sangat dibutuhkan.

Perempuan, dengan amanahnya untuk menjadi seorang isteri dan ibu, merupakan makhluk yang sangat berharga dan butuh untuk dijaga kehormatannya. Mungkin sebagian besar dari kita lupa bahwa pendidikan pertama seorang anak dipegang oleh seorang ibu.

Dari didikan seorang ibu yang cerdaslah, maka akan lahir para pemimpin hebat di masa depan. Dari pengayoman seorang ibu yang hebat pulalah, akan lahir para petinggi negeri yang mampu membawa perubahan untuk peradaban gemilang.

Untuk itu, sangat penting mendidik seorang anak perempuan agar mampu menjadi sosok yang disegani dalam ranah kehidupan, baik dalam pergaulan sosial maupun dalam sepak terjang yang berkaitan dengan politik. Pendidikan menjadi hal mutlak yang harus diperhatikan secara serius dalam mendidik anak bangsa, terlebih para kaum perempuan yang nantinya akan menjadi ibu dan harus mendidik anaknya dengan baik.

Karenanya, tidak hanya cukup dengan memperhatikan individu-individu perempuan maupun laki-laki saja dalam memperoleh pendidikan yang layak, namun juga bagaimana diperlukan pengontrolan dari masyarakat untuk melakukan tindakan preventif agar kasus-kasus serupa tak lagi terjadi.

Partai politik, sebagai bagian dari pemerintahan namun juga bersentuhan langsung dengan masyarakat, seharusnya mempunyai visi dan misi yang memandang jauh ke depan. Dengan posisinya yang strategis, partai politik dituntut untuk mampu menciptakan hal-hal inovatif dalam merefleksikan perspektif masyarakat di dalam pemerintahan, melakukan pengontrolan di dalam masyarakat agar tercipta suasana aman dan nyaman terkhusus untuk perempuan, serta menjadi penasihat penguasa karena tugasnya sebagai perpanjangan tangan dari masyarakat.

Maka benarlah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, “Tidaklah yang menghormati wanita-wanita kecuali orang-orang mulia. Dan tidaklah yang menghinakan wanita kecuali orang yang hina pula.” (Riwayat Ibnu Asakir). Serta ungkapan salah seorang ahli hikmah, “Wanita itu tiang negara, bila dia (wanita) baik, maka baiklah negara itu. Tetapi bila wanita itu rusak maka rusaklah negara itu.”

Sebagai negara yang menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa, tidakkah kita ingin menggapai situasi di mana Indonesia menjadi negara yang mulia dengan menghormati perempuannya dan menjaga kehormatan para perempuan? Hal ini tidak akan terwujud jika bukan para politisi langsung yang mengambil alih untuk menciptakan suasana kondusif tersebut melalui jalan pengontrolan terhadap masyarakat.

Sebagai penutup, perlu diingatkan sekali lagi bahwa banyaknya kasus sistemik yang terjadi saat ini dan tidak kunjung usai––termasuk di dalamnya pelecehan terhadap perempuan, merajalelanya kasus korupsi dalam skala lokal hingga skala nasional, merebaknya pelaku pekerja seks komersial oleh anak di bawah umur, serta meningkatnya pengguna narkoba dan minuman keras yang dilakukan oleh remaja––semuanya disebabkan oleh faktor-faktor yang terjadi dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Minimnya pendidikan yang diterima, terjerat dalam ekonomi sangat lemah, serta banyaknya kasus perceraian yang membawa dampak negatif bagi anak-anak bangsa menjadi beberapa faktor utama yang butuh perhatian khusus dari kalangan elit pemerintah dan para politisi.

Masyarakat bersih dan patuh pada para penguasa, hanya akan terwujud jika para pemimpinnya pun bersih dan mengayomi masyarakat, sehingga rasa segan dan cinta pada penguasa akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu menebar iming-iming ataupun janji-janji manis yang akan hilang segera setelah pemilu berakhir.

#LombaEsaiPolitik

Nur Indah Ulfany

Mahasiswa jurusan pendidikan di salah satu PTN di Sulawesi. Mencintai dunia tulis-menulis sejak SMP dan bercita-cita menjadi seorang dosen dan traveller profesional

Kaum Perempuan di Balik Kemerdekaan

Perempuan dan Paradigma Politik

$
0
0
www.rumahpemilu.org

Kata perempuan secara etimologi berasal dari kata “empu”  yang berarti yang dimuliakan, dan “puan” yang artinya nyonya (lawan tuan), namun belakangan kata perempuan kerap diartikan sebagai makhluk yang mempunyai susu . Sedangkan definisi Wanita menurut Zoetmulder dalam Old Javanese English Dictionary diartikan sebagai sesuatu yang diinginkan pria, artinya wanita dalam hal ini diartikan sebagai objek yang diinginkan oleh pria, keberadaannya akan diakui apabila ia memberikan manfaat untuk pria. Bahkan, beberapa pihak mengatakan bahwa kata wanita merupakan akronim dari “wani di toto” yang artinya berani ditata/diatur. Oleh siapa? Tentu oleh pria.

Berbicara mengenai peran perempuan dalam panggung perpolitikan Indonesia tentu tidak terlepas dari bahasan budaya patriarki yang melekat di lingkungan masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, disadari atau tidak, perempuan telah teraleniasi oleh kehidupannya sendiri, ia terjebak dalam stereotype yang menyatakan ranah perempuan hanyalah di bidang domestik, sedangkan ranah publik hanya dimiliki oleh kaum maskulin. Beberapa dari mereka mencoba berontak dan tampil dalam ranah publik, namun terkadang cibiran dan pelabelan negatif dari lingkungan justru mengecilkan mereka. Dengan demikian, perempuan semakin termarginalkan dengan adanya streotype sosial yang berkembang selama ini.

Pelabelan negatif terhadap perempuan sebenarnya telah ada sejak zaman Yunani Kuno (zaman klasik). Pada era Yunani Kuno, rakyat (demos)  ialah warga negara yang dapat berpartisipasi langsung dalam kehidupan politik di negara Polis. Tidak semua penduduk  Polis adalah warga negara, bahkan perempuan, budak, anak-anak dan orang asing dianggap sebagai makhluk yang tak berperadaban dan patut untuk dikesampingkan hak-hak alamiahnya. Kondisi serupa juga terjadi ketika Eropa memasuki abad pertengahan (abad kegelapan) hingga memasuki abad pencerahan (renaissance).

Memasuki abad ke-20, kesadaran untuk membicarakan masalah gender dan ketidak adilan gender mulai mencuat dari berbagai dunia. Perlu diingat, gender bukanlah pembeda jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, namun gender merupakan kategorisasi konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia dan bukan bersifat alamiah/kodrati.  Adanya konstruksi sosial tersebut kemudian menggiring persepsi dan pelabelan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.

Perempuan selalu dianggap berada dalam ranah domestik sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Domestifikasi peran perempuan inilah yang kemudian membuat perempuan memiliki akses yang serba terbatas, dan menjadikannya semakin termarginal. Tuntutan-tuntutan pengarustamaan gender   tersebut menyuarakan  berbagai problem yang dialami oleh perempuan dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Kiprah perempuan Indonesia dalam praktik politik sebenarnya telah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, era pra kemerdekaan dan hingga saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai literatur sejarah yang ada, misalnya kisah Ken Dedes yang dijuluki sebagai perempuan Nareswari dan melahirkan para raja di tanah Jawa. Meski tak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan, namun dialah perempuan yang mendampingi suaminya hingga mencapai masa kejayaan.

Pada era pra kemerdekaan, Indonesia memiliki banyak pahlawan sekaligus tokoh politik perempuan yang dengan gagahnya mengusir penjajah, misalnya Cut Nyak Dien, Laksmana Keumalahayati, Martha Tiahahu, Cut Meutia. Indonesia juga memiliki RA Kartini dan Dewi Sartika, perempuan-perempuan hebat yang mengubah peradaban kaumnya. Bahkan dalam mitologi pewayangan Jawa dengan mengadopsi kisah Mahabharata dari India, masyarakat memercayai sosok Drupadi merupakan tokoh penting dibalik menangnya Pandawa dalam perang Bharatayudha. Sifat Drupadi yang pantang menyerah meski ia dilecehkan habis-habisan saat  menjadi tawanan taruhan di meja perjudian merupakan simbol perlawanan dan emansipasi perempuan kala itu dari cengkeraman dominasi lak-laki.

Jika menilik sejarah partisipasi perempuan di negara lain, Indonesia patut berbangga hati. Amerika Serikat misalnya, baru mengakui hak politik perempuan setelah 114 tahun kemerdekaannya, sedangkan Indonesia sejak Pemilu pertama yakni pada tahun 1955 telah memberikan ruang publik kepada perempuan untuk memilih dan dipilih dalam parlemen.  Pada tahun 1955, Indonesia telah menempatkan 9 (sembilan) wakil perempuan di DPR Sementara atau sekitar 3,8% kursi di parlemen.

Tentunya, ini merupakan awal yang baik bagi negara yang baru saja merdeka kala itu. Namun, hingga beberapa tahun berikutnya, angka keterwakilan perempuan dalam parlemen seolah mengalami jalan di tempat, tak ada perubahan signifikan terkait partisipasi perempuan. Rendahnya keterwakilan politik perempuan dari masa ke masa tentu menyisakan berbagai pertanyaan, misalnya perempuan terkendala oleh kapabilitas, kultural, dan struktural.

Berbicara mengenai kendala yang dihadapi perempuan dalam peran dan partisipasi politik, nampaknya tiga kendala di atas cukup rasional untuk menjelaskan mengapa keterwakilan perempuan dalam politik terbilang jalan di tempat. Pertama, masalah kapabilitas atau kemampuan, minimnya akses dan faktor stigma dalam masyarakat terkait peran dan fungsi perempuan yang seharusnya di ranah domestik, membuat masyarakat enggan menyekolahkan anak perempuannya, hal ini berdampak pada minimnya kapabilitas perempuan untuk tampil dalam ranah publik.

Kedua masalah kultural, budaya patriarki yang kental dalam masyarakat, membuat perempuan semakin enggan untuk tampil ke ranah publik apalagi dalam bidang politik. Terlebih, adanya generalisir akan peran perempuan yakni 3M Masak, Macak, Manak (memasak, berdandan, dan melahirkan) atau kasur, dapur, sumur  bahkan muncul ungkapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu neroko nunut suwargo katot (neraka ikut, surga ikut) semakin menegasikan pentingnya peran perempuan dalam politik.

Terakhir masalah struktural, kendati beberapa perempuan telah memiliki kapabilitas yang mumpuni, tidak menjamin ia dapat berperan dan berpartisipasi di sektor politik. Beberapa lembaga dan Partai politk terkadang tidak aware dengan perempuan, perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menduduki jabatan formal.

Melihat rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam parlemen, sejumlah ormas gerakan perempuan dan kepemudaan  mengajukan usulan adanya kuota khusus bagi perempuan dalam parlemen, yang kita kenal dengan istilah affirmative action.

Kebijakan affirmative action tersebut termuat dalam UU No 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat (1) yang berbunyi “ Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota untuk setiap daerah pemilihan untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Namun, kebijakan tersebut tidaklah efektif, klausal “dapat mengajukan” dalam ayat tersebut menginterpretasikan bahwa pasal tersebut hanya menganjurkan dan tidak ada kewajiban bagi partai politik untuk mengusung 30% caleg perempuan.

Tidak efektifnya kebijakan affirmative action dalam pemilu legislatif tahun 2004, membuat berbagai kalangan mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi pasal terkait affirmative action. Hasilnya, sangat memuaskan. Dalam UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengharuskan keterwakilan perempuan sebanyak 30% dalam kepengerusan partai politik dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Selain itu, diatur pula mengenai bakal calon legislatif sekurang-kurangnya memuat 30% perempuan, dan diatur setiap 3 (tiga) orang bakal calon sekurang-kurangnya terdapat 1 (satu) bakal calon perempuan.

Upaya demi upaya terus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, diantaranya pada Maret 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review terkait keterpilihan caleg perempuan. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat caleg laki-laki dan perempuan yang memiliki jumlah suara yang sama, maka yang diutamakan ialah caleg perempuan. Meskipun, hingga saat ini kuota perempuan dalam parlemen belum mencapai kuota yang diharapkan, pemerintah dan berbagai kalangan tetap berupaya untuk meningkatkan partisipasi, peran dan keterwakilan perempuan, hingga muncul sebuah gagasan agar kuota perempuan di parlemen mencapai angka 30%, suara caleg perempuan hanya disandingkan dengan sesama caleg perempuan tiap dapilnya.

Terlepas dari keterwakilan perempuan di parlemen, Indonesia telah memiliki perempuan-perempuan hebat yang berkiprah di berbagai lembaga negara, misalnya KPU beserta jajarannya, Bawaslu dan jajarannya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga negara lainnya. Selain itu, munculnya berbagai organisasi perempuan di Indonesia juga menandakan bahwa peranan dan partisipasi politik perempuan setapak demi setapak kini telah memasuki era keemasannya.

Bahkan, tampilnya Imamatul Maisaroh dalam konvensi nasional Partai Demokrat di Philadelphia, Amerika Serikat dan Nara Masista Rakhmatia diplomat muda asal Indonesia dalam sidang PBB membuktikan bahwa perempuan Indonesia mampu berada di ranah politik dan bersaing dengan negara lain.#LombaEsaiPolitik

Referensi:

Zoetmulder. 1982. Old Javanese English Dictionary, Land-en Volkenkunde; Klininklijk Instituut voor Taal.
UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
UU No No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Susi Dian Rahayu

a student wife, political scientist wanna be, traveller

Perempuan dan Paradigma Politik

Meningkatkan Kapasitas Perempuan dalam Partai Politik

$
0
0

Indonesia di mata dunia dikenal sebagai negara yang padat penduduk, bagaimana tidak, berdasarkan aspek geografis Indonesia dengan luas wilayah 5.193.250 km² (mencakup daratan dan lautan) dengan luas daratan 1.919.440 km². Berdasarkan luas daratan negara Indonesia menjadi negara terluas ke-15 di dunia ini akan menyebabkan naiknya laju pertumbuhan penduduk.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 254,9 juta jiwa penduduk dengan rincian penduduk laki-laki berjumlah 128,1 juta jiwa dan perempuan berjumlah 126,8 juta jiwa. Rasionya adalah sebesar 101,02 dan 101. Menurut BPS, dari 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki.

Meskipun jumlah penduduk laki-laki yang lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan, namun peran perempuan dalam pembangunan bangsa sangat memiliki pengaruh yang signifikan, untuk itu perempuan merupakan aset pembangunan.

Dengan menempatkan perempuan sebagai aset pembangunan bangsa, maka posisi perempuan dalam pengalokasian dan penyerapan segala sumber daya milik bangsa ini harus dioptimalkan. Pengoptimalan peran perempuan dalam penyerapan sumber daya ini harus mampu memposisikan perempuan sebagai pemangku kebijakan.

Perempuan dengan berbagai lini kehidupannya sangat riskan dengan berbagai masalah, dimana isu yang masih hangat dibicarakan sampai saat ini berkaitan dengan kesetaraan gender.

Sehingga, manakala perempuan sebagai aset pembangunan dan memegang kekuatan dalam pembuatan keputusan, maka peran perempuan tersebut diharapkan mampu mewakili berbagai permasalahan perempuan yang ada, seperti human traficking, KDRT, Pemerkosaan atau pelecehan seksual, prostitusi, modernisasi dan bahkan krisis ekonomi yang pertama kali akan menjadikan perempuan sebagai korban.

Hal ini akan mengurangi diskriminasi gender baik stereotype, marginalisasi, subordinate maupun double borden. Sehingga kesetaraan gender akan terwujud, khususnya di bidang perpolitikan yang melibatkan perempuan dalam membuat kebijakan.

Partisipasi perempuan dalam dunia politik untuk mewakili hak – hak dan kebutuhan perempuan ini membutuhkan tindakan khusus yang dikenal dengan istilah Affirmative Action. Dalam undang – undang dan berbagai payung hukum juga telah mengatur terkait gerakan Affirmative Action ini.

Untuk menjadikan perempuan terlibat aktif dalam pembuatan kebijakan, maka perempuan harus berpartisipasi aktif dalam dunia politik. Keterwakilan perempuan dalam berpolitikpun juga telah diatur dalam perundang – undangan maupun peraturan pemerintah yang lainnya.

Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 yang berisi tentang ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pada pemilu tahun 2014 kemarin hanya ada 10 partai politik yang lulus verifikasi, meskipun jumlah calon legislatif perempuan masih belum mencapai 30%.

Penyelenggaraan pemilu juga diatur dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pada kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Hal ini dinyatakan dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik  yang mengatur syarat pendirian Partai Politik pada Pasal 2. Kemudian didukung juga dengan adanya revisi UU No. 12 tahun 2003 menjadi UU No.10 tahun 2008 pasal 8 (d) dimana partai politik dapat menjadi peserta pemilu dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

Namun apakah kebijakan dari gerakan Affirmative Action tersebut telah terselenggara sebagaimana tujuannya. Berdasarkan hasil pemilu taun 2014, diperoleh data bahwa presentase perolehan suara caleg perempuan DPR RI dari sepuluh peserta parpol belum ada yang mencapai 30%.

Perbandingan perolehan jumlah kursi caleg perempuan dengan DPR RI terpilih dengan jumlah kursi yang ada di parlemen untuk masing – masing parpol juga tidak mencapai 30% sehingga perbedaan perbandingan presentase perolehan caleg perempuan terpilih antara 2009 dengan 2014 mengalami penurunan.

Keterwakilan perempuan dari pertama kali dilaksanakannya pemilu di Indonesia 1955 sampai 2009 mengalami peningkatan, bahkan mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2004 menuju pemilu tahun 2009, yaitu keterwakilan perempuan dari 11,50% menjadi 18.04%.

Namun pada pelaksanaan pemilu terakhir tahun 2014, berdasarkan data KPU pusat, keterwakilan caleg perempuan dalam parlemente justru mengalami penurunan 0.72% dengan rincian 18.04% pada tahun 2009 menjadi 17.32% pada tahun 2014. Komposisi caleg DPD RI terpilih antara caleg laki – laki dengan caleg perempuan adalah 26% dan 74%, keterwakilan caleg perempuan juga masih belum mencapai 30% sebagaimana yang tertulis dalam UU No. 12 tahun 2008.

Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi perempuan untuk meningkatkan kapasitasnya dalam dunia politik, mengingat jumlah pemilih perempuan dibanding dengan jumlah pemilih laki – laki tidak berbeda jauh. Bahkan berdasarkan data DPT KPU pusat, ada beberapa dapil yang jumlah pemilih perempuannya lebih banyak dibanding jumlah pemilih laki – laki.

Hal tersebut didukung dengan akses masyarakat dalam melakukan proses demokrasi secara langsung pada tahun 2014 lebih mudah dibanding pelaksanaan pemilu pada periode sebelumnya, tahun 2009. Hal ini menjadi refleksi bagi caleg perempuan terhadap penurunan kepercayaan masyarakat, bahkan kepercayaan masyarakat perempuan itu sendiri terhadap caleg perempuan.

Selain dari jumlah pemilih, berbagai permasalahan perempuan juga meningkat seperti human traficking, KDRT, prostitusi, dan pelecehan seksual semakin meningkat dan merajalela.

Hal ini seharusnya menjadi pandangan sendiri bagi masyarakat perempuan pada khususnya untuk mempercayakan pemberantasan kasus dan permasalahan perempuan dengan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen, sehingga berbagai kebijakan baik berupa anggaran fisik maupun non-fisik bisa dianggarkan untuk permasalahan tersebut, melalui sistem Gender Budgeting yaitu penganggaran dana pemerintah seperti APBN maupun APBD yang sensitif gender.

Perempuan juga menjadi prioritas dalam pembangunan yang berkelanjutan, hal ini dibahas dalam prioritas SDG’s yang kelima yaitu “Gender Equity”. Pada prioritas kelima pembangunan berkelanjutan pada poin keempat menitikberatkan pada tercapainya keterwakilan perempuan sejumlah 30% dalam parlemen.

Sehingga keterwakilan perempuan dalam politik dan parlemen ini masih harus ditingkatkan, tidak hanya peningkatan kapasitas keterwakilan saja, namun peran partisipasi aktif perempuan juga harus ditingkatkan sehingga wakil perempuan dalam kursi parlemen mampu menyelesaikan permasalahan Indonesia khususnya permasalahan perempuan.

Sedikitnya pencapaian keterwakilan caleg terpilih pada pemilu 2014 ini salah satunya disebabkan karena hanya ada sepuluh peserta partai politik dari seluruh partai politik yang ada. Sehingga peningkatan jumlah kader perempuan dari masing – masing parpol juga harus ditingkatkan. Adapun beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam meningkatkan kapasitas kader perempuan adalah sebagai berikut;

Hal pertama yang harus dilakukan partai politik adalah memperkuat kesetaraan gender dalam internal parpol itu sendiri dengan mengintegrasikan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, tanpa banyak mempersoalkan penyebab perempuan dalam masyarakat yang bersifat inferior, sekunder dan tersubordinasi laki- laki.

Integrasi perempuan dalam pembangunan seperti akses pendidikan, hak – hak politik, kewarganegaraan dan sebagainya. Menempatkan perempuan pada posisi penting dalam masyarakat dengan memposisikan peran perempuan bagian dari pembangunan nasional sehingga kondisi perempuan akan lebih baik.

Menyatukan persepsi laki – laki dan perempuan dengan tujuan sama untuk mendukung pembangunan nasional dan kehidupan yang lebih baik. Hal – hal tersebut harus ditunjukkan dengan kegiatan yang nyata.

Terwujudnya integrasi internal partai politik dengan semangat gender, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pendidikan kader. Pendidikan kader yang dimaksud bertujuan untuk mengkader anggota partai politik perempuan sebagai bentuk aksi afirmai. Pendidikan kader ini akan dikelompokkan menjadi tiga tahap yang masing-masing tahap memiliki indikator dan tujuan tersendiri.

Pra Kader, yang dimaksud adalah pencarian kader. Untuk meningkatkan kader perempuan, partai politik harus mampu mendekatkan diri dan sinergi dengan beberapa komunitas pemuda yang ada baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

Partai politik sangat perlu dalam melakukan sinergitas kebutuhan bukan kepentingan dengan mahasiswa khususnya mahasiswi diberbagai perguruan tinggi. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya antara partai politi dan mahasiswa memiliki keterkaitan kebutuhan yang bersifat simbiosis mutualisme.

Tentunya dalam kolaborasi ini, partai politik harus sebisa mungkin mengedepankan idealisme cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dengan mengapliksikan solusi aktif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, khususnya persoalan perempuan.

Mahasisw dengan almamater idealismenya sangat membutuhkan jaringan yang akan menjembatani dirinya terjun langsung ke masyarakat. Semakin sering partai politik bersentuhan langsung dengan pemuda khususnya mahasiswa, maka semakin sering ppartai tersebut akan dikenal dan dikenang.

Gerakan pemuda dan mahasiswa memiliki dampak torbulen yang sangat luar biasa dalam melakukan perubahan, sehingga penggiringan kader perempuanpun juga akan lebih mudah dengan melakukan pendekatan bersama pemuda dan mahasiswa yang tidak bias gender.

Pendidikan Kader¸memberikan aksi afirmasi pendidikan kader untukperempuan yang sudah menjadi anggota perempuan dalam partai politik sangat diperlukan. Hal ini mengingat berpolitik bagi perempuan merupakan hal yang baru bagi mayoritas perempuan.

Adapun tujuan pendidikan kader ini adalah; pertama, meningkatkan capacity and personal building dalam upaya membangun kemauan dan kemampuan perempuan dalam berpolitik. Hal ini adalah hal mendasar dalam pendidikan kader karena mayoritas perempuan cenderung sulit untuk menemukan jati diri sehingga pembangunan kapasitas diri sangat membantu perempuan dalam mengaktualisasikan diri.

Kedua, cultural change melakukan perubahan budaya yang memihak pada perempuan. Hal ini juga perlu dilakukan, karena budaya berpoltik adlah budaya baru bagi perempuan. Sehingga untuk menguatkan akar berpolitik pada perempuan, maka harus menciptakan suasana dan budaya politik yang tidak bias gender.

Ketiga, structural adjusment penyesuaian terhadap struktural yang juga memihak kepada perempuan. Memberikan tanggungjawab secara struktual kepada perempuan akan melatih perempuan dalam membuta keputusan dan pemberian kepercayaan kepada perempuan dalam internal partai akan membuat kader perempuan semakin menyatu sebagai kader. #LombaEsaiPolitik

Shubhan Jauharul Huda

Mahasiswa Aktif salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Malang

Meningkatkan Kapasitas Perempuan dalam Partai Politik


Kedudukan Dan Tanggungjawab Perempuan Dalam Perjuangan Kita

$
0
0

Dalam suatu perjuangan, setiap orang yang terjun di dalamnya memiliki kedudukan serta tugas dan tanggungjawab yang sangat penting. Dimana setiap potensi kekuatan haruslah di manfaatkan dengan maksimal dan efektif. Dengan cara-cara mendorong dan mengaktualkan setiap potensi yang dimiliki untuk mewujudkan tujuan perjuangan, perjuangan kita, yakni Peradaban Bangsa Indonesia.

Sebagaimana laki-laki, perempuan juga memiliki kewajiban yang tak kalah pentingnya dalam perjuangan. Yang secara prinsipil sangat memainkan peran sentralnya diantara gerakan yang sedang dan akan dijalankan. Mahatma Gandhi berkata bahwa “banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan-keadaan perempuan kita (yang dikesampingkan dari dunia pergerakan)”.

Lebih lanjut di tegaskan pula oleh Lenin pendiri Soviet Rusia bahwa “jikalau tidak dengan mereka (perempuan), kemenangan tak mungkin kita capai”. Sebab diantara soal-soal perjuangan yang harus diperhatikan, soal perempuan hampir selalu dilupakan, demikian Kemal Ataturk menyampaikan kepada kita. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak boleh lalai dalam membahas dan menempatkan posisi perempuan sebagai hal prinsipil dalam suatu perjuangan.

Persoalannya kemudian adalah bahwa sebagian dari perempuan kita dewasa ini tidak menyadari posisinya walaupun berulang-ulang kali telah diserukan dan dipahamkan kepada mereka tentang posisi sosial mereka yang maha penting itu.

Memaknai Arti Dan Kedudukan Perempuan

Perempuan sesungguhnya bermakna Agung. Istilah perempuan berasal dari bahasa sangsekerta yang kata tunggalnya iala Empu, berimbuhan Per dan An, yang bermakna kata benda. Sehingga kalau digabungkan ia menjadi Perempuan. Perempuan juga memiliki makna “yang melahirkan” atau “sumbernya keagungan”, atau “tempat lahirnya keagungan”. Sedangkan apabila ia menjadi kata ke-per-Empu-an-an, maka ia menjadi basis nilai yang menunjuk kepada segala sifat dan potensi keagungan yang tertanam dalam diri setiap perempuan itu sendiri.

Dengan demikian, maka sesungguhnya perempuan sejatinya adalah pencipta peradaban, yang darinyalah segala macam dan bentuk kemajuan dan keluruhan masyarakat itu berasal!

Jikalau negara kita diibaratkan sebuah rumah, maka rumah itu memiliki kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga yang memiliki posisi dan fungsi masing-masing yang sama pentingnya. Tidak seimbanglah jika kepala rumah tangga tidaklah produktif, sedangkan disatu sisi hanya ibu rumah tangga yang bekerja dan membanting tulang. Begitu pula sebaliknya, tidak harmonis lah kehidupan rumah itu jikalau ibu rumah tangga tidak dapat diajak bekerjasama dengan kepala rumah tangga untuk melakukan suatu hal yang penting, apalagi untuk membangun peradaban bangsa.

Oleh karena itu maka untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga agar lebih baik, teratur dan harmonis, maka mutlak adannya suatu hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki. Artinya, tidak hanya sekadar membicarakan tentang kesetaraan, akan tetapi keseimbangan antara suatu kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan kita.

Hal diatas tidak seperti apa yang kaum Feminis Ekstrimis pahami tentang kesetaraan! Tidak! Perempuan dan laki-laki tidak setara dalam pengertian sama, dan semestinya tidak dipahami demikian! Kita semestinya tidak menekankan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki (kesetaraan gender). Akan tetapi semestinya kita harus menekankan tentang keseimbangan kedudukan dan fungsi antara perempuan dan laki-laki dalam membangun tata kehidupan agar menajdi lebih baik secara proporsional (Proporsional Gender).

Kesetaraan Gender dan Kritik Atasnya

Sudah sangat jelas bagi para pembaca sekalian mengenai apa yang selama ini seringkali di kemukakan oleh para feminis ekstrimis yang seringkali mengklaim diri mereka sebagai pejuang hak-hak kaum perempuan. Dimana mereka selama ini sangat gencar memperjuangkan apa yang diistilahkan dengan “Kesetaraan Gender”.

Kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Bahkan juga fokus serangan mereka hingga menyentuh aspek kebudayaan, struktur masyarakat dan bahkan agama. Yang paling sederhana adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu rumah tangga (keluarga). Dimana bagi mereka, konstruksi yang selama ini telah dibangun adalah suatu kesalahan sejarah yang mesti ditumbangkan.

Bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga adalah suatu konstruksi budaya yang lahir dari sistem ‘patriarki’, oleh karenanya konstruksi tersebut harus dihapuskan. Karena menurut mereka, salah satu sebab terbesar dalam memundurkan dan melemahkan kedudukan dan peran perempuan adalah sistem kebapakan itu sendiri. Sehingga dengan itu, mereka begitu gencar menyerukan suara kebebasan dan kemerdekaan kaum perempuan (emansipasi).

Dengan memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dari dalam rumah tangga menuju lingkup yang lebih luas lagi, yakni kehidupan sosial. Oleh karena itu muncullah jargon yang sudah sangat terkenal, yakni perjuangan kesetaraan gender.

Kesetaraan Gender menitik beratkan perjuangannya kepada prinsip kesamaan posisi dan status sosial yang setara antara kaum laki-laki dan perempuan tanpa melihat kapasitas dan kualitas masing-masing. Maksudnya, apabila laki-laki dapat melakukan sesuatu dan bahkan menempati suatu kedudukan sosial tertentu, maka tidak ada alasan bagi kaum lelaki untuk tidak membuka ruang bagi kaum perempuan agar juga dapat menempati kedudukan sosial tersebut.

Perjuangan dengan segala jargon-jargon semacam itu pada awalnya memang begitu terkesan sangat menggairahkan. Bahkan, sejak kemunculannya telah melahirkan pengikut dan gelombang gerakan yang cukup besar dengan pergerkan yang masif dan terorganisir. Namun, apabila kita secara jernih dan kritis menelisik hingga kejantung bangunan dan kerangka konsep perjuangan tersebut, maka kita tidak akan pernah menemukan suatu hal yang berharga. Melainkan suatu awal dari kehancuran harkat dan martabat perempuan itu sendiri.

Kita juga tidak akan pernah menemukan bahwa perjuangan kesetaraan tersebut memiliki basis konsepsi yang jelas mengenai arah dan tujuan perjuanganya. Sebab, semakin kesini, kita telah menyaksikan secara nyata bahwa tujuan yang telah puluhan tahun diperjuangkan oleh mereka kaum feminis ekstrim sesungguhnya sedang mengalami kemandekkan oleh karena perjuangannya sedang sampai pada persimpangan jalan, yang akhir dari persimpangan jalan itu adalah sama-sama menuju kepada suatu kondisi kehancuran harkat dan martabat keagungan perempuan itu sendiri. Hal itu dapat kita saksikan dengan jelas. Bagaimana ketika kini perempuan hanya dijadikan sebagai objek dan komiditi ekonomi, sosial, politik dan bahkan juga kebudayaan, dan semua itu adalah hasil dari perjuangan mereka, kaum feminis ekstrim.

Perempuan hanya dijadikan tak lebih sebagai barang tontonan di televisi-televisi, media sosial dan iklan-iklan dengan cara mempertontonkan bentuk fisik mereka sehingga dapat dinikmati oleh mata orang banyak dengan pikiran-pikirannya yang kotor. Ya, itu adalah hasil dari perjuangan kesetaraan. Itu adalah hasil dari perjuangan kaum ‘feminist keblinger’ yang berusaha membuka ruang untuk para perempuan agar dapat berkspresi dan tampil dimuka umum untuk mempertontokan kecantikan dan ke-seksi-an tubuhnya secara bebas, secara ‘merdeka’, dan tanpa batas-batas norma keadaban dan kesopanan.

Semua itu hanya untuk dinikmati oleh mata laki-laki yang tidak bertanggungjawab, dan sesungguhnya mereka tanpa sadar, alih-alih untuk memperjuangkan harkat dan martabat perempuan, justru sebaliknya, mereka sedang menghancurkannya. Lalu apakah itu yang disebut sebagai perjuangan kesetaraan? Tidak! Perjuangan itu adalah kesalahan fatal dalam sejarah manusia, khususnya perjuangan perempuan. Dimana hasil dari perjuangan tersebut adalah harga diri kaum perempuan yang sedang diinjak-injak, terhina dan bahkan dipermainkan seperti halnya sebuah permainan.

Dan semua itu terus-menerus dilakukan dengan secara kehilangan kesadarannya, mereka, kaum ‘feminist keblinger’ itu dengan bangga berada dalam basis perjuangan utopis tersebut.

Dan sesungguhnya teranglah bahwa mereka sedang berada dalam kondisi ‘ketidakberdayaan’ yang nyata. Mereka tidak berdaya terjebak dalam system kapitalis yang menjebak mereka dengan ‘embel-embel kesetaraan’ dan ‘emansipasi omong kosong’ tersebut!

Proporsioanl Gender Sebagai Suatu Keniscayaan

Sedangkan Proporsional Gender bercirikan kualitas dan kapasitas antara kaum laki-laki dan perempuan. Barang siapa yang tidak berkapasitas dan berkualitas, entah itu laki-laki maupun perempuan, maka ia tidak pantas dan semestinya menuntut lebih terhadap sesuatu yang ia tidak memiliki kapasitas dan kualitas di dalamnya.

Artinya, jika perempuan atau laki-laki itu memiliki kapasitas dan kualitas dalam suatu urusan sosial, maka ia boleh menuntut lebih terhadap segala sesuatu dalam pengurusan suatu urusan sosial sesuai dengan kualitas dan kapasitasnya yang lebih itu pula. Sehingga laki-laki yang dungu lagi kolotis, maka tempatnya adalah anak buah, ia harus diperintah bukan malah memerintah.

Sedangkan perempuan yang berkapasitas dan berkualitas dalam bidang sosial misalnya, maka berikanlah ia tempat sebagai pemimpin sosial kita. Sebaliknya perempuan yang dungu dan kolotis, maka tempatnya adalah anak buah. Laki-laki yang memiliki kapasitas dan kualitas dalam bidang sosial, maka berikanlah ia tempat sebagai pemimpin sosial kita.

Artinya bukan hanya berbicara Proporsional Gender, bahkan dalam setiap aspek maupun segala bidang, hanya mereka-mereka yang memiliki Ilmu, yakni kapasitas dan kualitas sajalah yang seharusnya menjadi Pemimpin dan ditempatkan dimuka.

Dengan pemahaman demikian, maka akan terwujud suatu nuansa kehidupan sosial yang menghendaki Perlombaan dengan berdasarkan kepada kapasitas dan kualitas dalam mencapai kebajikan dan kebaikan. Inilah prinsip-prinsip yang harus dipahami oleh kaum perempuan dan laki-laki.

Oleh karena itu wahai kalian perempuan-perempuan yang asasinya sumbernya kebudayaan yang Agung! Pahamilah posisi sosialmu sebagai pencipta dan sumber lahiranya Peradaban yang Agung itu! Mantapkanlah dirimu dengan ilmu agar engkau berkapasitas dan berkualitas. Agar dengan kapasitas dan kualitas yang engkau miliki itu, kelak akan menjadi bekal bekerjasama dalam mewujudkan kehidupan Sosial yang Adil dan makmur bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Permasalahan Perempuan Di Era Globalisasi

Diantara pemikir perempuan besar pada zaman dulu, adalah Henriette Roland Holst (1869-1952), seorang penulis sekaligus aktivis sosial perempuan dari Belanda. Ia menyatakan bahwa perempuan di alam kapitalis mengalami keretakan jiwa yang terbelah akibat keharusan bekerja di luar rumah sekaligus mengabdi pada keluarga.

Sistem Kapitalis mengakibatkan kaum perempuan memikul beban ganda. Di satu sisi mereka bertugas mengemban amanah mulia menjadi benteng keluarga; menjaga anak-anak sekaligus mengurus rumah tangga. Di sisi lain mereka dituntut untuk membantu menyelamatkan kondisi ekonomi keluarga. (Empatpilarmpr.co)

Perempuan memiliki persoalan-persoalan yang begitu multikompleks. Disatu sisi ia mengandung, melahirkan dan mendidik serta membesarkan anak-anaknya. Melayani suaminya, namun ia juga dituntut untuk berusaha mencari nafkah di luar rumah. Salah satu contoh nyata, karena faktor himpitan ekonomi tidak sedikit dari mereka yang meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri. Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari BNP2TKI tahun 2015 (s.d. 30 November) jumlah TKW sebanyak 152.099 orang. Meskipun mengalami penurunan jumlah TWK, namun masih ada 60% lebih besar jumlah TKW dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja laki-laki yang berada di luar negeri. Belum lagi kasus-kasus kekerasan yang menimpa para TKW yang terbilang banyak.

Perempuan Dan Tingkatan Perjuangannya

Bung Karno dalam analisisnya mencoba mengaitkan pergerakan dan perjuangan perempuan kepada perkembangan negara. Ada tiga tingkatan pergerakan perempuan dalam tahapan perkembangan suatu bangsa dan negara jika dilihat dari kondisi masyarakat sertai deologi, tingkatan pergerakan itu ialah;

Tingkat pertama, Pergerakan menyempurnakan “keperempuanan” yang identik dengan pekerjaan domestic seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.

Tingkat kedua, Pergerakan Feminisme, yang arahnya memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki, persamaan hak untuk melakukan pekerjaan dan hak pemilihan. Pergerakan ini sering disebut sebagai “emansipasi perempuan” dan seiring berjalannya waktu pergerakan tersebut mengalamai pergeseran makna karena cenderung menentang kepada kaum laki-laki.

Tingkat ketiga, Pergerakan Sosialisme, perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang untuk mendatangkan masyarakat yang sosialis. Pergerakan sosialisme ini merupakan cita-cita Soekarno yang ditujukan kepada pergerakan perempuan maupun negara. (Sarinah, Soekarno, 1963)

Bagi kaum perempuan yang tidak mengetahui dan memahami tugas dan tanggung jawabnya dalam perjuangan mewujudkan peradaban bangsa, maka otomatis mereka tidak akan pernah memahami makna perjuangan status keperempuanannya dalam kehidupan social serta tingkatan-tingkatannya. Mereka tidak akan pernah benar-benar menemukan makna sejati tentang apa yang disebut sebagai ‘Perjuangan Proporsional Gender’.

Bahwa sesungguhnya perjuangan kaum perempuan seharusnya didasarkan atas keingingan kolektif (pergerakan dan perjuangan nasional) untuk mewujudkan peradaban bangsa. Dengan kekayaan nilai dan kelembutan fitrawi yang dimiliki olehnya, maka peradaban apapun dapat terwujudkan dengan peran aktif kaum perempuan itu sendiri. Tanpa itu, maka segala perjuangan adalah suatu kesia-siaan.

Penutup

Maka, bagi kaum perempuan Indonesia, bahwa perjuangan perempuan Indonesia adalah seharusnya bercirikan karakter dan kebudayaan bangsa Indonesia sendiri, bukan karakter dan budaya yang feodal, pragmatis kapitalistik dan bahkan karater perjuangan luaran, akan tetapi karakter dan kebudayaan yang merdeka dan memerdekakan.

Oleh karena itu maka barang siapa kaum perempuan yang tidak memahami kemerdekaan sejati yang harus dimiliki oleh kaum perempuan dari segala bentuk paksaan system kapitalisme terhadapanya, maka ia belum benar-benar merdeka, ia belum benar-benar memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Apalgi ia mengimpor cara berjuang kaum perempuan dari luaran dengan mutlak dan konsekuen secara membabi buta, mak ia juga belum benar-benar merdeka dalam praktek perjuangannya. Sehingga kaum perempuan Indonesia seharusnya dalam perjuangannya mestilah berjuang untuk kaum perempuan Indonesia dengan cara-cara Indonesia, bukan cara ‘Asing’!

Dengan kesadaran yang demikian itu, maka sudah pasti perempuan akan memiliki semangat dan militansinya dalam bahu-membahu dengan segala lapisan elemen, termasuk kaum laki-laki untuk bersama-sama membangun serta mewujudkan Peradaban Bangsa Indonesia di Abad ke-21 ini! Semoga.

Salam Peradaban.

M. Fazwan Wasahua

Kami berjuang membangun peradaban. Dengan semangat Nasionalisme Kemanusiaan. Karena kami adalah Pelayan Peradaban

Kedudukan Dan Tanggungjawab Perempuan Dalam Perjuangan Kita

Apakah Benar Laki-Laki Satu Derajat Lebih Tinggi dari Perempuan?

$
0
0
pixabay.com

Dalam Islam, apakah benar bahwa laki-laki satu derajat lebih tinggi dari perempuan? Masih menjadi perdebatan. Tapi, diakui atau tidak, Islam lahir dalam sebuah masa yang tidak hampa budaya. Maksudnya, dalam hal ini budaya arab mempengaruhi pencitraan tradisi Islam atas perempuan. Kecenderungan patriarkal dalam budaya Arab dengan ide subordinatifnya memang tidak bisa dinafikan.

Dari segi bahasa pun, ciri utama bahasa Arab adalah wataknya yang seksis. Walhasil, ketika al-Qur’an diturunkan di tanah Arab, maka, realitas perempuan dalam Islam seolah menjadi sebuah nasib yang harus diterima, dan disini al-Qur’an tidak mendua. Al-Qur’an memang telah menentukan seperangkat batasan-batasan sosial dan politik yang keras pada perempuan di ruang domestik maupun publik.

Beberapa ayat yang bersifat prinsipil memang tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi keraguan, misalnya an-Nisa’ ayat 34 yang secara harfiah memang mengatakan demikian. Hal ini berpretensi terhadap opini yang dibangun muslim bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya menjadi semakin mapan dan mantap. Walaupun pada beberapa bagian teks masih sangat terbuka dan longgar untuk ditafsirkan.

Dalam hal ini, pernyataan menarik dilontarkan oleh Ashgar Ali Engineer. Menurutnya, an-Nisa’ ayat 34 tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada saat ayat itu diturunkan. Struktur sosial pada masa Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Domestikasi perempuan dianggap kewajiban dan suatu hal yang wajar.

Ashgar menambahkan, apabila kesadaran perempuan saat itu sudah tumbuh bahwa peran domestik perempuan harus dinilai dan diberi ganjaran sesuai dengan yang diajarkan al-Qur’an (Qs. 2:21), bukan semata-mata kewajiban, maka perlindungan dan nafkah dari laki-laki tidak lagi dianggap sebagai sebuah keunggulan, dalam al-Qur’an disebut qawwam. Karena peran domestik perempuan itulah sehingga pengertian qawwam harus dipahami secara kontekstual, bukan normatif.

Yang lebih menarik lagi, isu yang secara disipliner tidak menjadi kajian ilmu kalam itu ditarik oleh Ibn Arabi menjadi isu dalam ilmu kalam. Sebuah analisis yang diajukan oleh Sachiko Murata tentang sikap Ibn Arabi itu menyatakan:

Ibn Arabi menjelaskan hakikat dari derajat yang ‘dimiliki’ kaum pria di atas kaum wanita dalam beberapa bagian tulisannya. Secara khas, dia tidak memberi perhatian besar pada penerapan-penerapan sosial pada derajat itu, melainkan pada makna kosmologis dan metafisiknya. Dengan kata lain, dia terutama berkeinginan untuk menunjukan apa yang ada dalam hakikat realitas yang menetapkan tingkat ini dan menentukan sifat-sifatnya. Sebagaimana dikemukakannya, ‘derajat itu bersifat ontologis (wujudi), sehingga ia tidak hilang. (Perempuan dalam literatur Islam klasik, 181:2002).

Meski terlihat agak arbitrer, Ibn Arabi disatu sisi juga mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam pernyataan yang dikutip oleh Murata dan juga Annemarie Schimmel dari Futuhat al-Makkiyah, Ibn al-Arabi menyatakan bahwa semua pembicaraan tentang orang-orang yang menggunakan nama pria, dapat juga diterapkan sebagai nama wanita.

Artinya istilah laki-laki (rajul) dan perempuan (nisa’) sesungguhnya merupakan konstruksi sosial daripada biologis itu sendiri. Dan dengan diawali oleh Ibn Arabi inilah, ilmu kalam (tauhid) sudah mulai mencari persamaan iman yang dimiliki antar manusia, bukan sebaliknya, membedakan kadar iman laki-laki dan perempuan yang pada dasarnya sama dimata Allah SWT.

Jika ditarik lagi kepada tradisi Islam awal, kepekaan terhadap isu gender dalam al-Qur’an ditunjukan secara kritis oleh Aisyah RA, disaat struktur sosial, seperti kata Ashgar Ali Engineer, tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Hal itu ditunjukan ketika turunnya ayat-ayat belakangan sesudah an-Nisa’ 34 (Qs 33:50).

Ketika itu Nabi Muhammad SAW memberitahukan wahyu ini (Qs 33:50) kepada Aisyah, seorang yang sangat cerdas dan selalu memperlihatkan minat yang besar di bidang politik dan tata Negara. Setelah itu di satu kesempatan, Aisyah meminta Nabi untuk menjelaskan mengapa Allah SWT menganggap bahwa semua orang mukmin adalah laki-laki.

Pertanyaan yang tak terduga-duga itu segera mengakibatkan perubahan gender. Semua wahyu berikutnya berbicara kepada laki-laki dan perempuan, (Tariq Ali, 68:2004). Kepekaan Aisyah yang juga sebagai seorang Transmitter (al-rawiyah) dari hadis Nabi ini tak pelak semakin memperkuat posisi keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik pada masa awal Islam.

Aktivitas publik Aisyah tidak berhenti dan terus berlanjut pada masa al-Khulafa’ al-Rashidun, Aisyah sering menyampaikan gagasan-gagasannya kepada para penguasa dalam urusan kenegaraan. Bahkan, berkat periwayatan Aisyah terhadap hadis Nabi, muslimin Sunni dalam hal ini, merasa sudah sewajarnya sejarah Islam mengucapkan terimakasih kepada Aisyah karena pengetahuannya yang mendalam terhadap pribadi Nabi Muhammad SAW.

Keterlibatan Aisyah dalam menjadi pendamping Nabi Muhammad SAW, keterbukaan peluangnya terhadap kehidupan sosial politik bersama sahabat serta andilnya yang cukup besar dalam pembentukan wacana Islam awal ini tercatat dalam sejarah Islam di berbagai literatur, dikarenakan Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah memperlakukan istrinya sebagai konco wingking.

Nabi SAW memerankan mereka sebagai partner dalam mengatasi tantangan hidup. Peran serupa juga ditemui dalam diri Khadijah. Seperti diketahui, Khadijah adalah penasehat utama nabi (close confidante) yang selalu memberikan advokasi setiap kali Nabi menghadapi situasi kritis. Karena itu, khadijah dianggap sebagai patronnya Nabi. Melalui kemampuan lobinya, upaya kelompok elite Mekah untuk mengganjal perjuangan Nabi di kota itu selalu digagalkan.

Walupun memang, pada masa Islam awal, struktur sosial pada masa Nabi Muhammad SAW tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan, tapi perempuan dapat menikmati kebebasannya sebagai anggota masyarakat, Khadijah dan Aisyah sebagai contoh yang paling dekat.

Dalam lingkup yang lebih besar, Madinah awal zaman nabi Muhammad SAW dinilai sebagai masyarakat ideal yang dapat memberi suri tauladan, dimana laki-laki dan perempuan hidup berdampingan dengan saling menghormati. Hal ini terjadi karena setiap individu mengamalkan Islam secara total. Sehingga tidak ada kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

Persoalan baru muncul ketika orang tidak lagi konsekuen dengan agama. Disinilah pangkal persoalannya, yaitu ketika tatanan Ilahi dilanggar. Maka azab dan siksa Allah SWT ditimpakan kepada manusia.

Sayangnya, argumen seperti ini masih tidak berlaku pada kalangan yang menekankan pada aspek normatif-teologis. Ditambah, ayat-ayat yang mengatur batasan-batasan terhadap perempuan sangatlah kuat secara tekstual. Walhasil, stereotip negatif mereka terhadap perempuan belum benar-benar hilang bahkan sampai sekarang.

Padahal, pembagian peran laki-laki dan perempuan sudah diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Sudah sejak itu pula, al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat semesta alam. Tidak ada diktat yang membedakan beban perolehan dari pelaksanaan ajaran agama ini berdasarkan perbedaan lahiriah. Sayangnya, sekali lagi, an-Nisa’ ayat 34 tetaplah an-Nisa’ ayat 34, bagi laki-laki yang menuntut lebih.

***

Benturan antar Fundamentalis, Tariq Ali, Jakarta: Paramadina, 2004. Diterjemahkan oleh Hodri Ariev, dari The Clash of Fundamentalism, Crusades, Jihad and Modernity, Tariq Ali.

Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Alai Najib… et al, editor; Ali Munhanif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

The Tao of Islam, Sachiko Murata, Bandung: Mizan, 2000.

Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Amelia Fauzia... et al; editor, Jajat Burhanudin, Oman Fathurahman. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN, 2004.

Ananta Damarjati

Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri | Aktif di Lingkar Studi Matakuhati, Semarang | Suka hal-hal sepele.

Apakah Benar Laki-Laki Satu Derajat Lebih Tinggi dari Perempuan?

Menjadi Cantik Bukan dengan Menulis di Atas Bibir dan Alis

$
0
0
Salah satu iklan kecantikan dengan model Gita Gutawa. Gambar: Youtube.

Ikatan yang saling bertaut antar pegiat Lembaga Studi Advokasi Hukum (selanjutnya disingkat LSAH) rupanya saling mendorong untuk berpikiran maju, melawan bahkan kritis terhadap keadaan sekitar. Salah satu pegiat LSAH, Andi Affandil sering kali menyemburkan kata-kata sindiran kepada kawan-kawan perempuan, "kau hanya menulis di atas bibir dan alis."

Bagi kita semua kawan-kawan yang berpikiran kritis baiknya memang kata-kata itu tidak hanya masuk ke telinga kanan kemudian keluar dari telinga kiri. Kita sebagai manusia yang berintelektual akan terasa progresif apabila memikiran kata-kata itu dan merelasikannya dengan keadaan di sekitar kita.

Ketika kita melihat perempuan, apa yang ada dalam pikiran kita? Kebanyakan orang melihat dari cantiknya, tingginya, bodinya dan seksinya. Betul juga keadaan di sekitar kita menunjukkan bahwa kaum perempuan berlomba-lomba menjadi "cantik" demi menarik perhatian kaum adam.

Dengan high heels yang berukuran 5 sentimenter tubuh mereka akan terlihat lebih tinggi, dengan bedak dan perawatan mereka yang menghabiskan beratus-ratus ribu rupiah per bulannya menjadikan kulit muka mereka mulus putih tanpa jerawat, dengan produk-produk itulah perempuan tidak menjadi dirinya yang sejati, tidak asli dari Sang Penciptanya.

Sadarkah bahwasanya mereka dijadikan obyek akumulasi profit kaum kapital? Bahkan perusahan-perusahan produk kecantikan itu memberikan contoh aktris sebagai panutannya (baca: beauty standard). Di salah satu iklan krim kecantikan, salah satu modelnya adalah Gita Gutawa.

Ya, selain menarik, Gita Gutawa juga seorang yang berpendidikan. Tak tanggung-tanggung kabarnya ia telah menimba ilmu S1 dan S2 di Inggris. Tapi apakah ada yang menarik di iklan yang menggunakan Gita Gutawa sebagai model selain hanya mengumbar “cantik” saja?

Ternyata tidak. Tidak ada nilai lebihnya dalam iklan tersebut. Yang disampaikan hanya menjadi perempuan yang imut, cerah dan bening.

Dengan iklan seperti itu, perusahaan kecantikan menjadikan para model iklan sebagai pedoman yang harus diikuti oleh seluruh kaum hawa yang ada di Indonesia. Sampai-sampai para perempuan tertarik mengonsumsinya demi menjadi “cantik”. Para konsumen seakan terhipnotis bahkan mengakibatkan efek yang bertahun-tahun untuk terus mengonsumsinya.

Dalam perlombaan menulis di bibir, alis, muka dan segala tetek bengeknya untuk menjadi “cantik”  kaum kapitalis memanfaatkan itu dengan memperbanyak produk kecantikan. Bahkan ada perusahaan yang mengklaim bahwa produknya adalah produk halal.

Atas nama halal itu perusahaan kecantikan menciptakan lumbung magnet bagi kaum perempuan yang berhijab untuk mengonsumsinya. Perusahaan kecantikan tersebut menggunakan Laudya Cintya Bella sebagai salah satu model iklannya.

Ia adalah seorang aktris yang baru saja meniatkan dirinya untuk menutup aurat. Layaknya tokoh yang digemari banyak orang, ia mempunyai banyak cara untuk mempercantik diri yang diikuti oleh followers-nya, misalnya menggunakan produk kecantikan yang membayarnya dan bahkan tutorial hijab yang bisa ditonton di Youtube.

Hijab yang memiliki fungsi menutup aurat secara syar’i bahkan sudah kehilangan maknanya karena muncul sebagai ajang fashion.

Hal-hal seperti itulah yang menjadikan perempuan sibuk membenahi wajahnya agar tetap “cantik” tanpa mempertimbangkan nilai-nilai perempuan sebagai manusia yang setara dan subjek yang seharusnya dapat bergerak sendiri tanpa harus disetir oleh iklan-iklan produk yang menggiringmu untuk mengikuti sesuatu (baca : hegemoni).

Penggiringan perempuan kepada hal-hal menyibukkan diri menulis di atas bibir dan alis menjadikannya obyek dan sasaran empuk kaum kapitalis. Perempuan dapat dimainkan layaknya boneka barbie.

Boneka barbie adalah boneka yang sama sekali tidak dapat bergerak kecuali jika digerakkan oleh manusia. Akankah dirimu yang sebagai perempuan dapat disamakan dengan perumpamaan tersebut? Haruskah selamanya perempuan tunduk dan ikhlas dengan adanya konstruksi sosial yang patriarkis? Tentu saja tidak.

Kita sebagai perempuan harus sadar bahwa kita adalah subjek. Kita dapat mengendalikan diri kita secara sadar. Maka, jangan mudah otakmu dikendalikan oleh iklan-iklan sampah yang menggiurkanmu untuk menjadi “cantik”.

Menggunakan produk-produk kecantikan tentu boleh-boleh saja namun harus tetap sadar bahwa yang demikian itu tidak perlu dilakukan secara terus-menerus tanpa kenal waktu.

Tidak dapat dipungkiri semua perempuan pasti menggunakan produk kecantikan terutama para remaja dan dewasa. Boleh-boleh saja tapi tetap dalam koridor kesadarannya, bahwa tidak perlu secara berlebihan mengonsumsinya bahkan sampai mengoleksi berbagai macam produk kecantikan.

Bagaimanapun tubuh perempuan akan lebih alami tanpa embel-embel kimia yang sering kali menyiksa diri; gatal-gatal alergi, panas atau yang lainnya.

Perempuan yang sejatinya setara dengan laki-laki memang seharusnya bergerak untuk mendobrak tatanan konstruksi sosial yang patriarkis. Boleh-boleh saja menulis di atas bibir dan alis tetapi perlu diingat bahwa hal demikian tidak perlu dilakukan secara berlebihan.

Boleh-boleh saja dilakukan tapi jangan sampai menghambat kerja-kerja kerakyatan. Sederhana saja ber make-up karena kita perlu dan harus menghindari hal-hal yang kontra-revolusioner.

Acapkali tak dapat dipungkiri, perempuan yang sibuk merias wajahnya menghabiskan waktu bermenit-menit dan bahkan berjam-jam untuk merias wajah di depan cermin agar terlihat “cantik”. Ini menjadikan perempuan tidak cepat tanggap dalam merespons keadaan sekitar yang darurat, sekalipun seperti adanya penggusuran di lingkungan sekitar. Maka sederhana saja dalam menulis di bibir dan alismu!

Sejatinya perempuan tidak harus melulu merawat area domestik. Perempuan harus memiliki daya dobrak yang kuat untuk tidak mengamini pendikotomian peran antara perempuan dan laki-laki.

Maka sesungguhnya bukan permasalahan “cantik” tidaknya wajah perempuan melainkan “cantik” ilmu dan wawasannya. Perempuan harus berani berpikir kritis dan keluar dari kemapanan yang selama ini diciptakan oleh kaum yang merasa kuat, survival of the fittest.

Perempuan perlu keluar dari area-area domestik, berpartisipasi dalam agenda-agenda yang dapat membuka wawasannya guna mengembangkan kesadaran sosial politik pada dirinya.

Keluarlah dan merapatlah ke ruang-ruang publik, berdialektika bersama kawan-kawan yang sayangnya sampai saat ini masih saja kawan-kawan maskulin yang mendominasi (baca: dominasi maskulin, boys club). Jadikan dirimu sebagai perempuan yang mempunyai nilai lebih dan jangan melulu menyibukkan diri dalam urusan mempercantik wajah.

Perempuan yang dalam pemikiran Simone de Beauvoir adalah manusia kelas kedua “the second sex” yang lahir atas kegelisahan dari pemikiran Jean Paul Sartre. Bahwa perempuan bukan sebagai etre pour soi (manusia yang memiliki kesadaran dan kebebasan) melainkan kebalikkannya, perempuan tidak memiliki kesadaran dan kebebasan.

Demikian pula dengan pemikiran Julia Kristeva yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak memiliki kemampuan untuk ada, “strictly speaking women cannot be said to exist”.

Maka dalam semangat perlawanan perlu diletupkan bahwasanya perempuan bukan lagi makhluk yang lemah seperti yang dibangun dalam konstruksi sosial. Perempuan bukan semata-mata makhluk “cantik” yang sibuk menulis di atas bibir dan alis.

Sedihnya, “cantik” tidak dibangun alami oleh pemikiran yang orisinil dari masyarakat namun merupakan beauty standard yang direkayasa oleh kaum kapital. Dan untuk meng-counter hal-hal busuk yang kontra dengan perjuangan maka perempuan perlu ikut andil dalam agenda-agenda publik, misal dalam perjuangan rakyat melawan penggusuran dan penindasan.

Subjek dan eksistensi diri perempuan perlu dimunculkan di ranah-ranah yang revolusioner. Menulis secara kritis tentunya juga merupakan hal yang dapat bernilai lebih misalnya menulis kritik terhadap kasus-kasus yang hari ini media mainstream sering gemborkan.

Hal demikian guna meng-counter kasus tersebut dengan pandangan yang berpihak pada masyarakat yang dirugikan dan ditindas hak-haknya.

Selain menulis, tentunya perlu aksi konkrit, bersolidaritas dan membela kaum yang tertindas oleh kekuasaan yang beringas, misalnya: membangun solidaritas bersama warga Parangkusumo yang tanahnya akan dirampas, berjuang bersama ibu-ibu Kendeng yang melawan guna membela tanah leluhurnya demi kelestarian lingkungan alam, dan perjuangan-perjuangan lainnya yang lahir atas ketidakmanusiawian pemerintah terhadap rakyatnya.

Pada dasarnya, perjuangan perempuan perlu dinyalakan kembali guna (salah satunya) menyadarkan kawan-kawan kita yang masih menyibukkan diri menjadi “cantik”.

Sejatinya cantik yang perlu dipancarkan adalah keberanian dan pemikiran kritis terhadap tatanan kehidupan yang menindas manusia bukan cantik hasil rias wajah yang bahkan membuat perempuan sendiri tidak nyaman dengan bahan-bahan kimia yang ada di dalamnya. Cantik revolusioner adalah cantik dalam hal keberanian dan pemikiran!

Fitri Lestari

Seorang petualang, pencari ilmu.

Menjadi Cantik Bukan dengan Menulis di Atas Bibir dan Alis

Apa yang Dirindukan Perempuan?

$
0
0
www.pexels.com

Tak sedikit kaum pria yang berpendirian bahwa modal terpenting yang bisa dijadikan senjata utama dalam upaya meluluh-lantahkan hati perempuan ialah ketampanan dan kemapanan.

Orang tampan, bagi mereka, tak akan sulit untuk mencari pasangan. Apalagi jika ketampanan tersebut dipoles dengan kemapanan. Sebagaimana orang mapan juga tak akan sulit mencari wanita idaman. Apalagi jika kemapanan tersebut ditambal dengan ketampanan.

Fakta bahwa ketampanan dan kemapanan merupakan dua hal yang dirindukan oleh perempuan tentu tak bisa kita abaikan. Tapi, di balik dua hal tersebut, sejujurnya ada dua hal lain yang selama ini sering dilupakan.

Perempuan sih sebetulnya ingin mengutarakan, tapi mereka tak berani karena laki-laki—dalam pandangan mereka—mestinya harus lebih paham dan pengertian. Perempuan tak jarang merasa malu untuk berterus-terang, tapi laki-laki kadang merasa tak perlu sehingga pada akhirnya mereka mengabaikan kepedulian.

Pertanyaannya kemudian: apa sih sebetulnya hal terpenting yang harus dimiliki oleh laki-laki dan yang paling dirindukan oleh perempuan? Sabar gan. Menjawab pertanyaan ini kita perlu berjalan secara pelan-pelan.

Tapi saya dirundung kekhawatiran, kalau tulisan ini mengular dan diperpanjang bisa-bisa tulisan ini terasa asin dan membosankan. Alih-alih dibaca dengan penuh perhatian, yang ada bisa diabaikan. Okelah. Daripada tulisan ini dilewatkan, mending sekarang juga saya kemukakan jawaban.

Saya berkeyakinan, bahwa jumhur kaum pria pasti tahu terkait soal ini sehingga mereka tak perlu penjelasan. Tapi meskipun mereka tahu, dua hal ini seringkali dilupakan dan tak diperhatikan.

Akibatnya, hubungan yang sudah dipahat dengan setumpuk pengorbanan tak jarang berakhir dengan keretakkan. Dan kehidupan rumah tangga yang dibangun di atas spirit keharmonisan pun ujungnya terasa suram-buram dan penuh dengan kegalauan.

Kalau hubungan sudah ditimpa gempa kegalauan, tempe mendoan pun terasa seperti triplek bangunan. Dan kenyataan semacam ini harus diatasi, tak boleh dibiarkan.

Kembali kepada persoalan: apa yang dirindukan perempuan? Inilah pertanyaan paling asasi yang harus segera diberikan jawaban. Penjelasan singkatnya akan segera saya paparkan.

Ya. Laki-laki itu sejujurnya perlu sadar bahwa hal yang paling esensial dan paling dirindukan oleh para perempuan dari mereka bukan hanya sekedar ketampanan dan kemapanan. Tapi juga kejantanan dan kesetiaan.

Ketampanan seorang pria menjadi tak bermakna manakala ketampanan tersebut tak mampu membuatnya menjadi sosok yang setia. Sebagaimana kemapanan seorang pria juga menjadi tak berarti apa-apa manakala dirinya tak mampu melayani perempuan dengan gagah perkasa persis seperti lesatan roket yang mengudara ke luar angkasa (Aduh, aku pun tak tahu dari alam mana kosa-kata ini bisa tiba dan mendarat di kepala. Haha).

Poin kesetiaan ini, saya kira, sudah dimafhumi dengan baik oleh semua. Tapi, menyangkut soal kejantanan ini rasanya penting untuk dielaborasi secara lebih mendalam sehingga bisa dipahami sebagaimana mestinya.

Sebab, harus diingat, bahwa kejantanan merupakan salah satu pilar terpenting dalam merajut kebahagiaan. Absennya kejantanan potensial meredupkan harmonisme dan cinta antara kedua pasangan. Sebagaimana hilangnya kesetiaan juga tak jarang memburam-hitamkan hubungan suci yang telah diikrarkan di hadapan Tuhan.

Kembali kepada soal kejantanan; poin terpenting yang sering dilupakan. Nah, secara teoritik, kejantanan itu ada dua macam: ada kejantanan internal (al-Rujûlah al-Dâkhiliyyah), dan ada kejantanan eksternal (al-Rujûlah al-Khârijiyyah).

Atau, dengan istilah lain, ada yang disebut dengan "kejantanan psikologis" (al-Rujûlah al-Fsikûlûjiyyah), dan ada yang diistilahkan dengan "kejantanan bilogis" (al-Rujûlah al-Biyûlûjiyyah).

Kejantanan model pertama itu bisa diverifikasi melalui keterbukaan, ketegasan dan kesetiaan (bagi 'ulama' bermazhab moderat yang memandang bahwa kesetiaan itu secara embeded masuk kedalam prinsip kejantanan). Sedangkan kejantanan model kedua hanya bisa diraba melalui hubungan yang halalan thayyiban.

Orang yang jantan pada level pertama belum tentu memiliki amunisi kejantanan pada tingkatan yang kedua. Sebagaimana orang yang sudah teruji kejantanannya pada tingkatan kedua juga belum tentu memiliki watak kejantanan pada level pertama.

Dengan demikian, yang pertama tak berkait-kelindan dengan yang kedua, sebagaimana yang kedua juga tak bisa diverifikasi melalui yang pertama. Artinya, keduanya tak memiliki "talâzum", dalam istilah Ilmu Logika.

Jika fungsi kejantanan pertama sangat dibutuhkan sebelum merajut rumah tangga, maka kejantanan kedua tak boleh diabaikan ketika kedua pasangan sudah hidup bersama. Rapuhnya keharmonisan rumah tangga tak jarang disebabkan oleh kejantanan nomer dua.

Sebab, manakala bangunan rumah tangga sudah tertata, kejantanan pertama hampir sudah kehilangan relevansinya. Meskipun tetap dibutuhkan walau dengan fungsi dan aktualisasi yang berbeda.

Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah: bagaimana kita mengawinkan dua kejantanan tersebut dengan mesra agar perempuan bisa bahagia?

Aduh, aku tak kuasa menjelaskan ini semua. Ini semua sudah di luar kapasitas mahasiswa, karena ini sejujurnya adalah tugas utama dokter Boyke yang suka tampil di layar kaca.

Aku hanya khawatir kalau tulisan ini dilanjutkan bisa merangsang kemungkaran yang tak disangka. Sudahlah, yang penting jawaban inti sudah mengemuka, soal rincian biarlah itu menjadi renungan kaum pria.

Semoga tulisan singkat ini menjadi representasi dari rintihan kaum Hawa. Dan semoga tulisan sederhana ini menjadi alarm bagi kaum pria yang tak mampu memahami apa yang dirindukan oleh wanita. 

(Kairo, Zahra-Medinat Nasr 03 Oktober 2016)

Muhammad Nuruddin

Mahasiswa Pascasarjana Fak. Ushuluddin, Dept. Akidah-Filsafat, Unv. Al-Azhar, Kairo, Mesir. Koordinator Hiwar (Himpunan Cendekia Jawa Barat). Penikmat buku-buku Tasawuf dan Filsafat. Fb: Muhammad Nuruddin

Apa yang Dirindukan Perempuan?

Berjilbab Lebih Baik? Ya, Tapi...

$
0
0
Foto: VIVA.co.id

Semasa nyantri di Babus Salam saya pernah membaca salah satu buku Prof. Dr. Quraish Shihab, seorang Ahli Tafsir terkemuka Indonesia yang masih eksis hingga saat ini, yang berjudul, Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, terbitan Lentera Hati.

Beberapa kali saya mendiskusikan bahasan inti yang tertuang dalam buku tersebut dengan sejumlah guru dan santri. Memang, buku ini di satu sisi menarik, tapi di sisi lain menimbulkan kontroversi tiada henti.

Uraian dalam buku tersebut—seperti yang dikeluhkan banyak pembaca—tak mampu memberikan kata pasti atas persoalan yang sedang diteliti. Akhirnya pembaca pun bingung; pilih pendapat ulama yang itu, atau pilih pendapat ulama yang ini.

Dulu saya suka sekali dengan buku Ahli Tafsir yang satu ini. Sampai-sampai suatu hari saya rela meminjam uang—dengan mengubur rasa malu—ke salah seorang ustad di Pesantren hanya untuk mengoleksi buku-bukunya sampai memenuhi lemari.

Tak begitu jelas apa alasan utama di balik kegemaran saya dalam membaca buku-buku ayah dari Najwa Shihab ini.

Yang pasti, kegemaran membaca buku-buku Quraish ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong saya untuk melangkahkan kaki di bumi para Nabi, tempat Quraish mengaji dan merajut mimpi bersama para ulama al-Azhar yang sejak dulu hingga kini telah memberikan sumbangsih berarti atas proliferasi ajaran Islam Wasathiy.

Setelah mendarat di bumi para Nabi, kini saya sadar sekali, bahwa di sini orang-orang seperti Quraish—bahkan yang lebih darinya—ternyata sangat melimpah dan banyak sekali. Di samping melimpah, mengaji dan membaca karya-karya mereka pun tak sulit sama sekali.

Jika di Indonesia saya harus membeli buku Quraish dengan harga yang cukup mahal sekali, di sini buku-buku yang lebih berkualitas dari buku-buku Quraish itu bisa dibaca dan dibeli dengan harga yang tak terlalu tinggi. Tak pelak, semua ini merupakan anugerah terindah dari Yang MahaSuci yang patut untuk disyukuri.

Beberapa minggu yang lalu, buku-buku Quraish yang dulu pernah dikoleksi itu akhirnya bisa dinikmati kembali. Setelah adik kelas saya turut serta menginjakkan kaki di Bumi para Nabi dan bersedia membawa buku-buku tersebut tanpa rasa berat hati sama sekali.

Saya tentu sangat berterima kasih sekali atas kesediannya untuk membawa buku-buku yang telah menginspirasi saya selama ini. Salah satu buku yang saya baca kembali ialah buku yang saya sebutkan tadi; buku yang mengulas persoalan jilbab sebagai pakaian wanita Muslimah yang kini sudah menjadi busana trendi, terutama di kalangan muda-mudi.

Harus diakui, bahwa di Indonesia sendiri, buku Quraish tersebut telah menimbulkan sejumlah resistansi tiada henti, terutama dari kalangan pemeluk ajaran Islam Tradisional yang kadang tak biasa menerima perdebatan terkait suatu persoalan keagamaan yang sudah disepakati oleh para pendahulu mereka sejak jauh-jauh hari. Dan fenomena ini, saya kira, bisa dimaklumi.

Sebagai orang yang tak dibekali dengan wawasan fikih keislaman yang memadai, tentu saya hanya bisa mengamini apa yang sudah disepakati oleh para ulama klasik terkait persoalan jilbab ini. Saya meyakini bahwa berjilbab itu wajib.

Meskipun kewajiban berjilbab itu tentu tak setara dengan kewajiban salat sebagai ritus peribadatan yang kita langsungkan setiap hari. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Yusuf al-Qaradlawi, kewajiban dalam Agama itu memiliki tingkatannya sendiri-sendiri.

Dengan demikian, meskipun kita meyakini bahwa berjilbab itu wajib, pada saat yang sama harus ditegaskan bahwa kewajiban berjilbab tak bisa dipersamakan dengan ibadah mahdhah yang kewajibannya termaktub secara tegas dan terang benderang di balik lekukan ayat-ayat suci.

Karena itu, orang yang mengingkari kewajiban berjilbab tak boleh dikafirkan apalagi disakiti. Sebagaimana perempuan Muslimah yang tak mengenakan jilbab juga tak boleh dipandang nista apalagi dikeluarkan dari lingkaran ajaran Islam dengan caci-maki.

Yang menjadi persoalan penting selanjutnya ialah jawaban atas pertanyaan ini: Apakah tradisi berjilbab ini baik dan harus tetap dirawat dalam konteks keberagamaan masa kini? Atau tradisi berjilbab ini justru menyimpan sejumlah hal yang perlu dikoreksi dan terkadang luput dari perhatian kita selama ini?

Sebagai santri yang berpegang teguh pada corak keislaman tradisional sejak dini, saya tentu akan menjawab bahwa tradisi berjilbab itu sangat baik sekali. Di samping fenomena berjilbab itu juga telah mampu memberikan warna unik tersendiri.

Tapi dalam saat yang sama, saya harus buru-buru menyatakan bahwa tradisi berjilbab ini juga menyimpan sejumlah hal yang perlu untuk dikoreksi. Nah, pertanyaannya kini, apa sebetulnya yang penting untuk kita cermati—kalau enggan berkata koreksi—dari tradisi berjilbab yang sudah marak-meruak ini?

Misal sederhana yang penting untuk kita cermati: selama ini ada sebagian orang yang menakar kebaikan seorang wanita Muslimah hanya melalui jilbab dan busana "tertutup" yang ia kenakan sehari-hari.

Kalau ada orang yang berjilbab rapi, pastilah dia distempel dengan label salehah dan baik hati. Tapi ketika ada perempuan dengan rambut terurai tanpa penutup kepala Islami, pastilah kesalehahannya disangsikan meskipun ia rajin salat tahajjud di malam hari, apalagi hanya sekedar putri dan istri kiai.

Persoalan tak berhenti sampai di sini. Orang yang berjilbab kadang merasa bahwa perempuan yang tak berjilbab adalah perempuan yang belum mendapatkan hidayah dari Yang MahaSuci sehingga pada akhirnya, sadar atau tidak, ia merasa dirinya lebih Islami ketimbang saudaranya sendiri.

Yang lebih menyedihkan lagi, kalau jilbab dijadikan sebagai parameter pasti untuk menentukan bahwa yang ini lebih pantas untuk didekati dan yang itu harus segera dijauhi tanpa basa-basi. Dalam konteks ini, jilbab tentu tak bisa salahkan sama sekali. Karena, sekali lagi, jilbab itu sendiri—setidaknya di mata saya—memiliki nilai keislaman yang sangat baik sekali.

Tapi apa jadinya kalau jilbab hanya dikenakan untuk meraih simpati laki-laki? Apa jadinya kalau jilbab dikenakan hanya demi mengikuti trendi? Apa jadinya kalau jilbab dijadikan sebagai parameter pasti? Dan apa jadinya kalau jilbab dikenakan tapi memunculkan rasa besar hati dan merasa diri lebih Islami ketimbang orang yang tak berjilbab sama sekali? Ini tentu perlu dikoreksi.

Penting untuk diingat bahwa mengenakan jilbab itu baik, tapi orang yang berjilbab belum tentu baik. Menanggalkan jilbab itu kurang baik, tapi orang yang menanggalkan jilbab belum tentu tidak baik. Memandang orang yang berjilbab sebagai orang baik itu baik, tapi menistakan orang yang tak berjilbab hanya karena tak berjilbab itu tidak baik.

Orang yang mengenakan jilbab boleh jadi didorong oleh motif yang tidak baik, sebagaimana orang yang menanggalkan jilbab bisa jadi dihadapkan dengan kondisi yang kurang baik.

Berjilbab itu baik, tapi merasa lebih Islami ketimbang perempuan Muslimah yang tak berjilbab itu tidak baik. Menanggalkan jilbab itu kurang baik, tapi memandang perempuan Muslimah yang tak berjilbab sebagai orang baik itu lebih baik ketimbang memandang diri lebih baik.

Orang yang berjilbab boleh jadi hatinya kurang baik, sebagaimana orang yang tak berjilbab boleh jadi hatinya lebih baik. Karena itu, soal berjilbab dan tak berjilbab, kita bisa memandang yang ini baik dan yang itu kurang baik. Tapi menyangkut orang yang berjilbab dan yang tak mengenakan jilbab, semuanya harus dipandang baik.

(Kairo, Zahra-Medinat Nasr, 06 Oktober 2016)

Muhammad Nuruddin

Mahasiswa Pascasarjana Fak. Ushuluddin, Dept. Akidah-Filsafat, Unv. Al-Azhar, Kairo, Mesir. Koordinator Hiwar (Himpunan Cendekia Jawa Barat). Penikmat buku-buku Tasawuf dan Filsafat. Fb: Muhammad Nuruddin

Berjilbab Lebih Baik? Ya, Tapi...

Tentang Perempuan

$
0
0

Ketika seseorang memiliki kedalaman pemikiran dan segudang pengalaman, ia pada akhirnya akan sadar bahwa ia tidak ada apa-apanya di hadapan perempuan.

Perempuan memang lemah. Namun sadarkah anda bahwa itulah satu-satunya senjata perempuan yang paling ampuh untuk membuat laki-laki bersimpuh padu di hadapannya, tunduk patuh terhadap perintahnya.

...

Kemudian akan lain ceritanya ketika kelemahan itu tercabut dari jati diri perempuan. Kesalingan yang dulu ada antara keduanya kini berubah menjadi persaingan. Perhatian dan belas kasih berubah menjadi ketidakpedulian dan kebencian. Perempuan tak bisa lagi bermanja-manja atau tersedu-sedu agar mendapat perhatian dari kaum laki-laki. Semuanya berubah.

Inilah senjata aneh yang pernah dimiliki makhluk Tuhan di atas muka bumi ini. Namun lucunya kebanyakan --bahkan semua-- perempuan tidak suka dikatai sebagai ‘makhluk lemah’. Kaum perempuan akan sangat girang jika mereka disebut makhluk kuat. Padahal, jika mereka benar-benar kuat dalam arti yang sebenarnya, sudah tentu tak ada lagi mata-laki-laki yang tertuju padanya.

***

Jika kita ingin memberikan perumpamaan, maka perumpamaan yang paling tepat untuk perempuan adalah seperti gunung. Iya, gunung akan indah menawan jika anda menatapnya dari kejauhan. Namun ketika anda mencoba mendekatinya, maka keindahan tersebut akan lenyap sedikit-demi sedikit, untuk digantikan oleh ribuan pertanyaan yang menjadi misteri. Bahkan ketika anda sudah berada di lembah gunung tersebut, bisa dipastikan kalau anda sudah tak mampu lagi melihat dunia sebagaimana sebelumnya.

Dari pemaparan di atas, saya tidak peduli apakah anda bisa menangkap apa yang saya maksud atau tidak. Yang jelas, saya hanya ingin menegaskan bahwa:

Jika seorang laki-laki ingin agar perempuan itu tetap cantik di matanya, hendaklah ia menjaga jarak darinya. Janganlah sekali-kali anda mencoba mendekatinya, sebab mendekatinya adalah sebuah kecerobohan terbesar di dalam hidup.

Anda tentu bisa membayangkan bagaimana rasanya tersesat di dalam hutan lebat yang sinar matahari pun tak mampu menerobos masuk ke dalamnya. Jika pun ia bisa keluar dari hutan tersebut, maka sudah tentu butuh tenaga dan masa yang tidak sedikit untuk itu. Lalu akan besar kemungkinannya jika anda bakal tetap terpasung di dalam hutan tersebut untuk selama-lamanya.

Tentang Perempuan

Penyakit Kronis Kaum Hawa

$
0
0
Are you the one who's fear and unconfident wearing hijab?

Pernah suatu hari saya terheran, menerka-nerka mengapa sikap dosen kesayangan saya tak seceria biasanya. Ada apa gerangan? Beliau seperti sedang kecewa, entah dengan siapa. Seakan mau mengutarakan kekecewaannya, beliau pun berkata,

"Sekarang penyakit TIDAK PERCAYA DIRI sudah menggerogoti KAUM HAWA nak."

"Maksud ibu?" tanyaku tak paham.

"Lihat saja sekarang, segala upaya di lakukan utk menarik perhatian," kata beliau menjelaskan.

Saya yang sudah berusaha keras untuk memahami tapi tidak juga paham pun kembali bertanya, "Perhatian bu?"

Seakan tahu gelagat saya yang kebingungan, beliau pun menjelaskan lebih panjang,

"Wanita yang Percaya Diri pasti yakin, TANPA HARUS memamerkan perhiasan berharga miliknya pun ia sudah bisa membuat seorang atau bahkan lebih kaum adam jatuh hati padanya. Jika benar ia PERCAYA DIRI maka ia tak akan malu dan justru akan sangat bangga ketika mengenakan pakaiannya--yang berbahan tebal, longgar, serta lebar, --menutupi seluruh perhiasan yang ada padanya. Dan jika ia memang benar-benar wanita yang PERCAYA DIRI, maka sekejappun takkan pernah ia biarkan martabatnya jatuh karena tingkah lakunya yg tak mengenal akhlak."

Saking khusyu'nya mencerna perkataan beliau, saya jadi terbengong.

"Can you catch what I mean, dear?" lanjutnya yang spontan membuat saya sadar dari keterbengongan itu.

Dengan sigap saya pun menjawab, "Siap bu.. saya mengerti. Hanya saja saya tidak pernah berpikir kearah itu. Mengkorelasikan antara ketidak-percayaan diri dengan pemakaian hijab. Itu pembicaraan yang sangat menarik bu.. hehe"

Cukup menggelitik bukan, apa yang yang telah beliau utarakan?

Bagi saya, apa yang diutarakan ibu dosen memang benar adanya. Mengapa?

Coba cermati kalimat ini, “I feel more confident without  hijab. And I’m so unconfident wearing it.. No, I don’t wanna wear it. Coz It just cover my beauty. So, if I wear it, I’m not pretty.”

Kalimat di atas adalah salah satu contoh alasan yang dilontarkan kaum wanita muslim atas ketidakinginannya dalam mengenakan hijab. Meskipun kalimat tersebut hanyalah hasil dari asumsi saya pribadi, akan tetapi saya bisa pastikan bahwa kalimat tersebut pasti pernah atau bahkan selalu hadir di dalam setiap hati mereka––para wanita yang KTPnya berstatuskan “Islam” akan tetapi enggan mengenakan hijab.

Ketidakpercayaan diri inilah yang tanpa disadari menjadi motivasi terbesar mereka untuk tetap berpenampilan terbuka, --menonjolkan bagian-bagian dari fisiknya yang dapat membahagiakan setiap mata yang melihatnya. Percayakah Anda?

Mari sejenak kita berkaca pada fenomena-fenomena berbau ‘wanita’ di negeri Nusantara. Apakah masyarakat di negeri ini mengenal yang namanya prostitusi? Tentu jawabannya adalah Ya.Mengapa? Tentu sebagian besar akan menjawab, karena banyaknya kasus dan berita.

Atas dasar apa mereka melakukannya? Kalian pun pasti akan melontarkan berbagai macam persepsi. Entah karena intensitas hasrat seksualnya yang tinggi, keinginan mendapatkan kepuasan seksual yang berlebihan, pun alasan-alasan lain yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan “perilaku menarik perhatian lawan jenis”.

Apa buktinya? Tentu saja, pakaian-pakaian mereka yang super vulgare adalah hal pertama yang bisa disoroti. Lalu, penampilan mereka dalam berias atau menggunakan make up yang berlebihan, perilaku mereka yang seolah-olah ingin memperlihatkan ke-sexy-an, bahkan sampai pada tindakan mengoperasi bagian fisik tertentu sebagai upaya menutupi kekurangan dan mempercantik diri.

Menurut Anda, apakah orang-orang semacam itu memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi terhadap dirinya? Percaya diri dengan tindakan-tindakan mempercantik diri misalnya, atau berpenampilan seperti bintang Hollywood misalnya. Apakah perilaku-perilaku tersebut mencerminkan kepercayaan diri yang tinggi? Apakah mereka –yang berperilaku seperti itu adalah orang-orang yang bisa menerima keadaan dirinya sendiri beserta seluruh kekurangan yang melekat padanya? Bagaimana menurut Anda?

Kalau menurut saya, orang-orang semacam itu bisa dikatakan memiliki penerimaan diri yang rendah. Dengan kata lain, mereka belum sepenuhnya bersyukur atas segala kondisi real yang dimilikinya. Sehingga apabila penerimaan dirinya rendah, maka tingkat percaya dirinya pun rendah. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa penerimaan diri dan kepercayaan diri memiliki hubungan yang signifikan positif.

Bukan hanya prostitusi, sebenarnya rendahnya tingkat percaya diri kaum wanita ini juga dapat kita temui pada kehidupan sehari-hari. Apakah Anda menyadari bahwa hal-hal kecil seperti mempercantik gaya rambut, mewarnainya, berpakaian ketat, memakai pakaian di atas lutut, memakai make up tebal, dan sejenisnya, adalah beberapa cara yang dilakukan wanita dalam rangka meningkatkan percaya dirinya? Tentu saja.

Hal-hal semacam itu tentu dilakukan wanita untuk meningkatkan rasa percaya diri. Ada pula yang melakukannya untuk mendapatkan perhatian dan ketertarikan dari lawan jenis atau lelaki yang diincarnya. Hal yang sudah umum bukan? Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak memperdulikannya dan malah menganggapnya sebagai suatu yang lumrah dan biasa saja.

Kebanyakan dari kita mungkin lupa bahwa ‘tidak percaya diri’ juga bisa membuat kita melakukan perbuatan-perbuatan berdosa pun melanggar norma. Ya, wanita memang banyak yang lupa, bahwa mereka sering sekali melukai Tuhannya dengan perbuatan-perbuatan asusilanya.

Dengan demikian, setujukah Anda bahwa wanita yang memamerkan auratnya atau berpakaian tidak sepatutnya adalah mereka yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah? Dan setujukah Anda apabila saya memiliki statement bahwa “Unconfident Disease” adalah penyakit kronis kaum wanita? (Jawab di kolom komentar ya.. :D )

Sebagai paragraf penutup, saya ingin menyimpulkan dan menambahkan beberapa hal. Pertama, menurut saya, seorang wanita yang dengan bahagianya memamerkan bentuk tubuhnya, pun memakai pakaian yang tidak sesuai dengan norma, adalah seorang wanita yang teridap penyakit “Tidak Percaya Diri”.

Kedua, seorang wanita yang dapat dikatakan memiliki kepercayaan diri yang tinggi adalah dia yang dapat menjaga perilaku serta penampilannya sesuai dengan norma atau kaidah-kaidah yang dianutnya. Apabila ia seorang muslim, maka ia berhijab, menutup aurat sesuai syariat, pun berperilaku sesuai akhlak.

Dan apabila ia non muslim, ia pun dapat menjaga perilakunya, tindak-tanduknya, pun penampilan yang sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh agamanya. Bukankah semua agama selalu mengajarkan tentang kebaikan? Bukan hanya Islam kan? Dan yang terakhir, saya hanya ingin mengajak Anda untuk berkaca. Mengintrospeksi diri lebih tepatnya. Mari kita renungkan, sudah percaya diri kah kita? Sebesar apa rasa percaya dirinya?

Mari menjadi agen perubahan! Menjadi lebih baik mulai dari sekarang. Untuk diri sendiri, bangsa, pun negara. Bersedia kan?

Dekati Sang Ilahi! Maka tingkat percaya dirimu akan melambung tinggi!

Salam Literasi smiley

Diah Fatimatuzzahra

Psychology student of Diponegoro University - The owner of Pena Fathimah (bit.ly/penafathimah) - "Tanpa MEMBACA saya bukan apa-apa, pun tanpa MENULIS saya bukan siapa-siapa."

Penyakit Kronis Kaum Hawa


Mengenang SK Trimurti

$
0
0
http://www.langitperempuan.com

Pada 11 Oktober 2016 lalu, dunia memperingati International Day of the Girl Child. Penulis berinisiatif membagi sedikit hasil refleksi tentang seorang perempuan yang konsisten memperjuangkan hak kaum perempuan di Indonesia. Namanya Ibu Soerastri Karma Trimurti atau yang akrab disapa SK Trimurti dikenal tokoh jurnalis perempuan Indonesia. Apa sih kiprah beliau bagi perjuangan hak buruh dan anak?

Terlahir dalam keluarga ningrat, SK Trimurti memang sudah mengenyam pendidikan di sekolah khusus perempuan menjadi guru. Dia pun mengikuti saran kedua orangtuanya untuk menjadi guru berstatus pegawai negeri. Sayangnya segala berkah itu dipandang SK Trimurti sia-sia saja karena bangsa-nya masih mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari bangsa kulit putih alias bangsa Belanda.

Sikap kepedulian terhadap masyarakat begitu kencang muncul dalam diri SK Trimurti karena sering ikut ayahnya berkeliling dari satu desa ke desa lain menjalankan tugas sebagai ndoro seten. Sebagai informasi, Ndoro Seten itu seorang carik yang kemudian meningkat menjadi Asisten Wedana alias Camat. Jadi tentu terbayang ayah SK Trimurti adalah orang terpandang saat itu. Akibat naluri yang terus menolak sikap kaum penjajah, SK Trimurti lalu melepaskan pekerjaannya sebagai guru dan memilih bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) yang diganyang oleh Soekarno.

Perempuan bertubuh kecil nan lincah ini pun bergabung sebagai kader Partindo di Bandung. Di Bandunglah petualangan SK Trimurti dimulai, dia menjadi kader Partindo dan anak didik Soekarno bersama Wikana, Sukarni, dan Asmara Hadi. Dia juga menjalin relasi yang sangat akrab dengan istri Soekarni, yaitu Inggit Ganarsih. Bandung adalah kota dimana SK Trimurti mengawali karirnya sebagai seorang jurnalis. Seorang penulis.

Suatu kali, dia diminta langsung oleh Soekarno untuk menulis pada harian Fikiran Ra’jat, salah satu harian yang digarap oleh kelompok Partindo.

“Saya tidak bisa,” kata SK Trimurti. Namun apa daya, Soekarno mendesak. “Harus bisa.” kata Soekarno.

Pilihan SK Trimurti bergabung di Partindo dan menulis mendapat pertentangan keluarga. Menurut ayah dan ibunya, kegiatan SK Trimurti akan membahayakan seluruh anggota keluarga. Oleh sebab itu, perempuan yang lahir pada tanggal 11 Mei 1912 ini memutuskan pergi dari rumah keluarganya di Klaten, dan memulai hidup sebagai seorang pengembara.

SK Trimurti memulai karir dalam organisasi perempuan di Yogyakarta bersama kerabatnya Sri Panggihan mereka mendirikan Pengurus Besar Persatuan Marhaeni Indonesia. Zaman dulu, dan sampai zaman sekarang, media massa merupakan alat politik, corong kepentingan. Begitupula zaman SK Trimurti, Persatuan Marhaeni Indonesia juga berhasil membuat majalah Suara Marhaeni.

Tulisan-tulisan yang dimuat dalam Suara Marhaeni jelas berisikan kecaman kepada pemerintah Belanda. Hal itu membuat pengurus majalah Suara Marhaeni menjadi buronan Belanda. Untuk mengamankan diri mereka kerap kali berpindah tempat dan itu menyulitkan aktivitas politik dan percetakkan pamflet.

Ketidakberuntungan tetap membuat SK Trimurti dijerumuskan ke dalam bui dan disiksa oleh Belanda. Setelah 9 bulan dalam penjara, SK Trimurti dibebaskan. Ia tetap tak jera juga, nyatanya, dia masih bergabung di majalah Suluh Kita. Semakin hari perempuan berzodiak Taurus ini semakin piawai dalam menulis, tak ayal dia pun menerima tawaran lain menulis di Sinar Selatan, milik Jepang.

Perkembang pers yang pesat saat itu membuat gerah pemerintah Belanda. Maka dikeluarkanlah aturan bahwa semua media yang beroperasi harus atas izin Gubernur Belanda, jika tidak ada maka pemerintah berhak mencabut hak penerbitan alias persbreidel ordonantie. Semacam penerbitan SIUPP zaman Orde Baru.

Kisah Cinta SK Trimurti

SK Trimurti yang sangat terbius dengan aktivisme dunia menulis dan dunia perjuangan nyaris abai pada keinginan untuk menjalin hubungan pacaran. Dia pun bahkan sempat berpikir untuk tidak menikah guna memurnikan perjuangannya seperti halnya yang dilakukan para imam Katolik.

Hingga suatu hari berjumpalah SK Trimurti dengan Sayuti Melik, seorang bekas tahanan Boven Digoel. Kisah pertama antara keduanya terjadi ketika Sayuti Melik menuliskan sebuah artikel di Sinar Selatan. Tulisan yang mengecam Belanda itu ditulis secara anonim karena dia adalah bekas interniran Boven Digoel. Oleh sebab itu SK Trimurti ingin bertanggung jawab atas tulisan yang bagus itu dengan mencantumkan namanya sebagai penulisnya.

Keduanya begitu sering berjumpa dalam diskusi politik dan sering beradu pendapat secara sengit. Maklum, sejak kecil Sayuti adalah anak yang terkenal nakal, sering memberontak bahkan kepada kedua orangtuanya. Kalau kata orang Jawa cinta tumbuh karena terbiasa bertemu demikianlah yang terjadi antara Sayuti dan SK Trimurti. Suatu kali Sayuti pun melamar SK Trimurti.

“Kelihatannya kita bisa bekerja sama. Bagaimana kalau kau menjadi istri saya?” kata Sayuti Melik kepada SK Trimurti.

Siapa sangka SK Trimurti, permepuan bermental baja itu menerima pinangan Sayuti Melik. Namun sayang, pernikahan keduanya tak mendapat restu keluarga SK Trimurti. Sebagai keluarga ningrat ayah dan ibu SK Trimurti tidak mengharapkan menantu yang datang dari keluarga masyarakat biasa, apalagi Sayuti juga tak bekerja sebagai PNS. Namun karena keteguhan hati SK Trimurti pernikahan tetap digelar.

Pada masa mengarungi bahtera rumah tangga, keduanya bahkan membuka majalah bersama dengan nama Pesat, dimana Sayuti Melik menjadi pemimpin redaksinya. Maklum saja, Sayuti Melik awalnya mencoba menafkahi keluarga dengan berdagang batik, tetapi dia sering kecolongan pembeli. Alhasil SK Trimurti mengusulkan suaminya untuk mendirikan majalah saja.

Sayanganya kisah cinta ini bukanlah kisah cinta yang berakhir indah pada adegan pernikahan. Awal pernikahan mereka diuji dengan penangkapan SK Trimurti oleh polisi Belanda atas tulisan yang dimuat di Sinar Selatan, yang mana itu adalah tulisan Sayuti Melik. Tulisan itu dipandang Belanda sebagai tulisan yang memihak Jepang.

SK Trimurti pun dipenjara [sekali lagi ya, itu karena tulisan Sayuti Melik] dalam keadaan hamil pertama. Dalam tanahan kondisi SK Trimurti baik-baik saja, dia pun kerap melalui hari-harinya dalam tahanan dengan banyak berguyon kepada sesama tahanan baik itu orang Indonesia ataupun orang Jepang.

Ketika SK Trimurti bebas, Harian Pesat dibubarkan karena penjajah baru, pemerintah Jepang menolak ada organisasi, partai, ataupun penerbitan apapun. Gantian, Sayuti Melik yang diciduk pemerintah Jepang karena Sayuti diduga bagian dari anggota komunis bawa tanah. Anak pertama mereka pun kerap diungsikan ke beberapa kerabat karena panasnya kondisi politik saat itu.

Gloria Fransisca Katharina

Jurnalis perempuan pada salah satu harian ekonomi dan investasi di Indonesia.

Mengenang SK Trimurti

Pejuang Hak Buruh Perempuan dan Anak

Perempuan, Menulis, dan Ingatan

$
0
0
koleksi pribadi

Salah satu ingatan paling awal saya tentang menulis adalah sebuah catatan harian, atau diary. Waktu itu saya masih kelas satu atau dua SD, saya lupa persisnya. Kami baru pindah ke Bandung. Entah dari mana saya mendapat ide untuk menulis diary. Dear diary, hari ini aku…, begitu pembukaannya selalu.

Namanya anak kecil, curhatnya, ya, soal-soal “kecil”. Soal makanan yang saya suka, misalnya. Singkat-singkat lagi, satu entry cuma ada beberapa baris. Tapi ada satu topik yang saya ingat. Di waktu-waktu itu, ayah saya hampir setiap hari pulang malam sekali, kadang-kadang sampai hampir subuh. Maka di salah satu entry, saya menuliskan tentang apakah Papa hari ini akan pulang malam lagi? Kenapa beliau pulang malam melulu?

Bertahun-tahun kemudian, ketika sudah jauh lebih besar, saya baru mengetahui bahwa masa-masa itu adalah bagian dari tahun-tahun terberat dalam pernikahan orangtua saya. “Pulang malam” adalah cara Papa untuk melarikan diri dari rumah. “Pulang malam” adalah sesuatu yang tidak disukai Mama, karena Papa pernah tepergok main mahjong. Setelah belasan tahun “perang dingin”, mereka memang akhirnya bercerai.

The past is the past, surely. Kata Mama saya, kita harus hidup untuk masa depan. Tapi yang menarik adalah bagaimana otak kanak-kanak saya menangkap suatu keadaan yang bahkan belum saya sadari betul maknanya pada saat itu, lalu menuliskannya di atas kertas. Dan belasan tahun kemudian, saya mengingatnya lagi sebagai memori yang menyimpan benang merah situasi perjalanan kehidupan keluarga saya.

Menulis adalah suatu upaya untuk mengingat dan mengabadikan. Apa pun bentuknya. Disadari atau tidak. Disesali atau tidak. Biarpun itu cuma nama mantan yang ditato ke tubuh, lalu diurek-urek sembarangan setelah putus. Atau curhat di media sosial tentang hidup yang sering terasa buruk. Atau memberanikan diri menuliskan, atau minta dituliskan, pengalaman menjadi korban kekerasan. Sesuatu yang bisa menjadi begitu berat untuk diingat sendirian.

Saya lahir menjelang era 90-an. Saat peristiwa 1965, saya jadi bibit pun belum. Saat peristiwa Mei 1998, saya masih anak SD ingusan – meski kebetulan juga keturunan Tionghoa dan sedikit merasakan cipratan cekamannya. Masa hidup saya, ditambah dengan ingatan kolektif kesejarahan bangsa kita yang masih cenderung menolak untuk jujur sepenuhnya, membuat anggota generasi X seperti saya menjadi generasi yang lost.

Tumbuh dewasa dalam reformasi, menikmati reformasi, tapi tak tahu-menahu soal reformasi. Saya sedikit beruntung, karena berhasil “bergaul” dalam lingkaran pergaulan online yang menguntungkan bagi wacana sejarah alternatif.

Mulanya, saya penasaran dengan peristiwa 1965. Entah kenapa, saya merasa tak punya ingatan menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang fenomenal itu. Entah memang tak pernah betul-betul atau kesadaran saya yang menolak mengingat. Meski tentu saja, “ingatan” tentang PKI si partai setan jahanam tetap ada. Yang membuat saya penasaran awalnya sederhana saja: kenapa, sih, komunisme begitu dibenci di negara ini?

Saya memutuskan, saya tak bisa membenci atau bersimpati pada sesuatu yang tak saya pahami. Lewat pergaulan daring dan kegemaran saya membaca, saya berhasil bersinggungan dengan banyak pedagang buku alternatif, termasuk orang-orang yang menjual buku-buku “kiri” dan buku-buku tentang G30S.

Akhirnya, saya pun sedikit “tercerahkan” – jauh lebih lumayan daripada sebagian besar teman-teman saya, yang biasanya bengong saat mendengar pemaparan sejarah yang berbeda dari versi Orba. Regardless of which political ideology I am into now.

Semakin lama, semakin banyak saja yang menarik. Saya berkenalan dengan feminisme, di antaranya melalui Komnas Perempuan, yang selanjutnya menjadi salah satu passion saya. Dari feminisme, ke liberalisme dan pluralisme. Bersinggungan pula dengan reformasi seksual, HAM, dan isu gender. It’s like, in the end, everything is really connected.

Saya mulai belajar banyak hal. Tentang politisasi gender dan tubuh perempuan oleh budaya sosial politik yang patriarkis dan mendewakan agama. Tentang perjuangan perempuan dalam sengketa tanah. Tentang posisi Gerwani dalam peristiwa 1965. Tentang penghancuran tubuh perempuan sebagai suatu bentuk teror dan represi dalam berbagai pendudukan militer – Aceh, Timor Leste, Papua.

Tentang relasi kuasa dalam kekerasan seksual, termasuk KDRT dan kekerasan dalam pacaran. Tentang peristiwa Mei 1998, pemerkosaan massal yang terbukti terorganisasi namun sering disangkal, dan lahirnya Komnas Perempuan.

Mbak Neng Dara Afifah, seorang sosiolog dan mantan komisioner Komnas Perempuan yang saya kagumi, pernah berkata dengan caranya yang sangat adem bahwa dalam persoalan-persoalan perempuan, termasuk di antaranya kekerasan seksual, kaum perempuan memiliki suatu pengalaman yang khas dan tak dimiliki oleh laki-laki.

Saya memaknai kata-kata Mbak Neng itu sebagai semacam afirmasi bagi “pengalaman rasa kolektif” kaum perempuan, sebagai suatu kaum yang masih relatif termarjinalkan dalam masyarakat kita. Ada suatu perspektif yang khas dalam gerakan feminisme yang hingga sekarang masih sulit saya jelaskan pada teman-teman pria yang tidak/belum sependapat.

Sulitnya, yang namanya pengalaman rasa, sekhas apa pun, ia memang sulit ditakar dengan dinginnya ilmu matematika atau dikenai syarat double blind bagi suatu percobaan ilmu ilmiah – yang banyak dipuja mereka yang (sering mengaku) berpikiran adil. Hal ini bisa jadi kelemahan atau kelebihan, tergantung kita melihat dari mana.

Dalam kasus kekerasan dalam pacaran, misalnya. Logic says, kalau si laki-laki minta sesuatu yang elu sebagai perempuan nggak suka atau nggak bersedia, dan kemudian elu nggak menolaknya, berarti elu yang bego mau aja dikibuli laki-laki. Kan gampang, tinggal bilang “nggak”. Kan gampang, tinggal lapor polisi. Kan gampang, tinggal elu tinggalin. Dan berbagai “kan, gampang” lainnya.

Yang sering kita laporkan adalah, apakah si perempuan pada waktu itu berada dalam situasi di mana ia memiliki power untuk melakukan semua yang katanya gampang itu? Apakah ia merasa cukup powerful, bebas, aman, dan punya bekal penghargaan diri yang cukup untuk melakukannya?

Apakah dinamika hubungan mereka memungkinkan itu? Math can’t really argue about these kind of problems. Di sinilah pengalaman rasa dan perspektif perempuan mestinya dipertimbangkan.

Kembali lagi kepada menulis. Selain untuk mengingat dan mengabadikan, menulis juga bisa menjadi suatu cara untuk menceritakan kembali suatu pengalaman. Dalam suatu tulisan, selain hard facts, yang juga bisa dilakukan si penulis adalah menyajikan pengalaman batin yang menyertai fakta-fakta itu. Sesuatu yang tidak bisa betul-betul dilakukan dengan orisinalitas yang baik bila orang lain yang menceritakannya.

Dan karena itulah, menurut saya, menulis adalah suatu pekerjaan yang sangat penting bagi kaum perempuan sebagai suatu bentuk perjuangan. Lewat tulisan, perempuan bisa bahu-membahu menyajikan perspektif dan pengalaman batin kolektif mereka, menuangkannya ke dalam bentuk yang bisa dibagikan pada banyak orang.

Bukan semata-mata untuk dibenarkan. Tapi setidaknya untuk dapat dialami kembali, dipahami dengan segala keterbatasan, dan akhirnya dipertimbangkan bagi keadilan.

Keadilan, ah, keadilan. Sesuatu yang selalu dikaitkan dengan tugas-tugas hukum. Masalahnya, menurut saya – and I pray the universe make me wrong about this– hukum terlalu jamak dikaitkan dengan, well, tugas menghukum. Tugas “kuratif”, kalau memakai istilah medis. Mengobati saja, sebisanya. Perkara mencegah atau preventif kadang terlupakan. Kalaupun teringat, juga terlalu sering memakai hukuman. Kebiri sana, hukum mati sini.

Padahal tindakan preventif hakikatnya tak selalu dengan melakukan pengobatan. Pencegahan adalah perkara modifikasi dan meng-upgrade– gaya hidup, pola pikir, isi kepala. Dan untuk bisa melakukannya, kita membutuhkan pemahaman tentang “mengapa” serta “bagaimana”, bukan cuma “apakah”.

Selamat hari jadi yang keenam belas untuk Komnas Perempuan. Terima kasih atas undangan ke acara blogger gathering perdananya. Tulisan ini adalah suatu refleksi sekaligus sebagai hadiah kecil untuk kalian. Meski sengaja saya tak mem-posting tulisan ini di blog saya sendiri, supaya views-nya bisa lebih banyak, ehehe. Sebab memang sadar diri, saya tak se­eksis teman-teman blogger yang lain (ups, semoga tak merasa salah undang).

Sekali lagi, terima kasih untuk kehormatan ini. Teruslah berjuang, dan teriring doa saya untuk Komnas Perempuan: semoga semesta selalu berkenan.

Putri Widi Saraswati

Penggemar membaca, menulis, dan wacana aneh-aneh - misalnya humanisme dan kesetaraan gender. Bukan penggemar berat tren moralitas kekinian - sayangnya, ia seorang dokter.

Perempuan, Menulis, dan Ingatan

Refleksi Ultah Ke-16 Komnas Perempuan

Perempuan Menjadi Serigala Bagi Sesamanya

$
0
0
Foto: Google/Penindasan sesama perempuan

Telah berpuluh-puluh tahun orang-orang yang menyatakan diri feminis bersama berjuang melawan diskriminasi yang dibuat oleh kaum patriakal. Diskriminasi tersebut dapat berupa pembagian pekerjaan (laki-laki di rana sosial dan perempuan di rana domestik), pendidikan (laki-laki dapat melanjutkan sampai pada tahap perguruan tinggi, tetapi perempuan maksimal pada bangku SMA) dan jabatan dalam pelbagai organisai (laki-laki sebagai ketua dan perempuan sebagai sekretaris).

Perjuangan yang perlahan tetapi pasti telah berhasil menembus dinding-dinding patriakal dan membawa perempuan mencapai posisi yang sama dengan laki-laki - jabatan dalam organisasi, tingkat pendidikan - yang membuat para feminis sedikit mendapatkan angin segar.

Perjuangan merekonstruksi budaya patriakal yang telah mengkristal dalam kehidupan masyrakat, tentunya bukan sekedar mendapat posisi yang sama dengan para lelaki, tetapi mencapai tujuan akhir, yaitu kehidupan  yang harmonis antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya sekat-sekat pembatas.

Namun, angin segar tersebut tidak bertahan lama. Perempuan yang telah mendapat posisi atau tempat yang sama dengan laki-laki, melupakan apa yang telah diperjuangkan selama ini. Perempuan-perempuan yang mendapat jabatan, kelas yang lebih tinggi dan memegang otoritas yang besar justru melakukan penindasan atau diskriminasi terhadap sesamanya perempuan. Peristiwa ini mungkin dapat digambarkan dengan pendiskriminasin perempuan kulit putih terhadap perempuan berkulit hitam, perempuan hetero terhadap perempuan yang homo dan juga dari seorang “ratu” kepada bawahan atau “budak”-nya.

Perempuan-perempuan yang telah mendapatkan posisi yang baik dalam masyarakat, memandang sesama perempuan (yang memiliki status lebih rendah) sebagai mangsa untuk dikambinghitamkan dengan tujuan untuk mempertahankan posisi atau menaikkan jabatannya. Otoritas dipakai tanpa berdiskusi bersama rasio dan nurani, sehingga berimplikasi terhadap perbudakan perempuan yang memiliki kelas lebih  rendah. Masalah-masalah ini dapat ditemukan dalam berbagai bidang, salah satunya dunia pendidikan.

Di dalam dunia pendidikan, banyak pendidik perempuan yang menggunakan otoritasnya untuk melemahkan pelbagai perjuangan perempuan yang ingin menegakkan masalah yang tidak sesuai dengan kesetaraan jender. Otoritas dipakai untuk mendukung hal yang jelas tidak sesuai dengan kesetaraan jender. Hal ini dilakukan dengan tujuan seperti yang telah dinyatakan di atas, yaitu untuk mengambil “posisi aman”.

Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan para feminis bukan lagi melawan para lelaki patriakal, tetapi juga para perempuan patriakal. Sikap inferioritas dan kecenderungan mengambil posisi nyaman oleh para perempuan yang mempunyai otoritas justru menjadi titik cerminan feminis.

Dalam hal ini, feminis harus terus berjuang melawan budaya-budaya patriakal yang terus bertumbuh, ibarat padi (feminis) yang selalu dihantui oleh ilalang (patriakal). Feminis harus lebih bekerja keras dalam mendidik setiap orang – termasuk perempuan – supaya ketika berada pada posisi yang tinggi dan memiliki otoritas yang besar tidak menjadi serigala bagi para pejuang dan menjadi pemimpin yang diam, yang layak disebut the stupid boss.        

            Akhirnya, Tulisan ini merupakan buah refleksi atas pelbagai persoalan yang menyangkut dengan pengkhianatan dan adanya sikap diam dari pelbagai pemimpin perempuan dalam menganggapi pelbagai kasus atau masalah yang terjadi di dalam lingkup kerjanya. 

EManoe

Menulis, Menulis... Ya menulis cara saya membagi cerita kehidupan dan masalah di sekitar saya

Perempuan Menjadi Serigala Bagi Sesamanya

Mengapa GADIS Ahok Lebih Jantan daripada Pria-Pria Berdaster?

$
0
0
http://www.publicdomainpictures.net/view-image.php?image=76001

Deklarasi wanita-wanita umur 17-35 tahun dengan nama GADIS AHOK (Gerakan Aksi Srikandi Coblos Ahok) baru-baru ini dilakukan di Cilandak, Jakarta Selatan. Mereka adalah salah satu relawan tim sukses Ahok yang secara khusus ingin menyasar demografis wanita muda usia 17-35 tahun. Mereka berencana melakukan sosialisasi di kantong-kantong pemilih yang kurang meminati Ahok dan menyasar pemilih perempuan.

Harapannya, mereka bisa menyumbang minimal 50 suara perempuan di setiap TPS, sehingga targetnya adalah menyumbang minimal 750.000 suara untuk Ahok-Djarot."Kami ingin perempuan dengan usia 17-35 untuk datang ke TPS. Kalau tidak datang ke TPS, tidak keren. Kalau tidak datang ke TPS dan coblos Ahok itu tidak kece," kata penanggung jawab gerakan, Miriam Haryani.

Deklarasi GADIS Ahok ini adalah bentuk kejantanan pemilih perempuan di Jakarta untuk berani turun ke lapangan memperjuangkan nasib mereka ke depan. Kejantanan ini diwakili dengan secara rasional menggunakan strategi kampanye kreatif dan persuasi. Mereka mengharapkan pertarungan yang sebenarnya di bilik TPS dimenangkan melalui pemilih perempuan.

Pergerakan GADIS Ahok tentu dimulai dari nikmatnya kebijakan Ahok-Djarot yang sudah bisa dinikmati oleh para pemilih perempuan. Berikut adalah beberapa kebijakan yang sudah dan akan menguntungkan pemilih perempuan:

1.       Kebijakan Kartu Jakarta Pintar, yang menguntungkan para ibu agar semua anaknya bisa sekolah. Tentu, dalam ranah domestik perempuan banyak berperan mengelola keuangannya. Dengan diangkatnya beban keuangan sekolah, calon pemilih perempuan bisa mengalokasikan anggarannya untuk kebutuhan lain.

2.      Program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak yang memiliki ruang khusus laktasi ber-AC. Bagi pemilih ibu-ibu yang setiap hari harus merawat anak-anaknya, keberadaan RPTRA ini sudah sangat menguntungkan. Mereka bisa bersosialisasi dengan tetangga sembari membiarkan anak bermain outdoor dengan fasilitas lengkap. Bagi para ibu yang juga harus merawat lansia, mereka bisa ikut membawa lansia untuk ikut berolah raga dan menikmati fasilitas RPTRA ini. Apalagi bagi ibu menyusui. Keberadaan ruang laktasi ber-AC ini tentu sangat berguna.  

3.      Transjakarta yang menyediakan bis umum Pink khusus perempuan. Dengan kata-kata yang mengambil dari semangat Ibu Kartini, “Habis Gelap, Terbitlah Terang,” bis ini mengakomodir pekerja perempuan yang harus berangkat pagi dan pulang malam. Beroperasi dari pukul 5 pagi hingga 11 malam, bis ini mengakomodir pekerja perempuan agar tidak diganggu oleh laki-laki yang iseng atau tindak perkosaan. Daripada menyalahkan perempuan pulang malam sebagai korban pemerkosaan, kebijakan ini sangat membantu perlindungan pada perempuan tanpa penghakiman.

4.      Pembangunan pasar tradisional. Perempuan sebagai salah satu pengguna pasar tradisional tentu diuntungan dengan pasar tradisional yang rapi, bersih, dan teratur.

5.      Pembangunan rumah susun dilengkapi dengan taman bermain anak, perpustakaan, dan dokter. Ini tentu melegakan para ibu dari keluarga miskin, yang tadinya harus tinggal di rumah kumuh bersanding dengan para tikus yang ginuk-ginuk. Kini bisa tinggal di rumah susun yang lengkap. Setara dengan apartemen mewah seharga 400 jutaan di Jakarta.  

Itu hanya beberapa kebijakan Ahok-Djarot yang cukup menonjol untuk pemilih perempuan. Selama ini, di Jakarta belum ada kebijakan yang cukup memanjakan perempuan seperti jaman Ahok-Djarot ini. 

GADIS Ahok pun memiliki strategi dalam berkampanye untuk para pemilih perempuan yang selama ini selalu dianggap kelas kedua. Perempuan dulu pernah mendapat fatwa haram untuk dipilih menjadi pemimpin. Ini terjadi saat dulu Megawati akan dipilih menjadi Presiden. Kejadian Ahok difatwa haram tentu tidak asing diingatan para perempuan, karena kaum perempuan pun pernah mengalaminya sebagai minoritas. 

Juga, berbagai perkataan menyakitkan bagi perempuan seperti ketika ada kejadian pemerkosaan. Kata-kata itu misalnya, “Kalau tidak mau diperkosa, jangan pakai rok,” “Kalau tidak mau diperkosa jangan pulang malam,” dan seterusnya. Kalimat dari para laki-laki penguasa itu seolah menyalahkan perempuan atas segala kejadian perkosaan. Alih-alih memberi solusi untuk mencegah perkosaan seperti pengadaan bis khusus wanita ala Ahok-Djarot, banyak pria-pria yang hanya berkomentar seenak jidatnya saja.

Saatnya Srikandi bangkit dari tidur. Saatnya perempuan siap berjuang dan berperang untuk kebaikan bagi banyak orang. Saatnya pemilih perempuan bangkit untuk memilih. Tinggalkanlah cerita Cinderella dan Putri Tidur yang menunggu lelaki berkuda putih untuk menyelamatkan perempuan. Saatnya menjadi Pocahontas, Mulan, atau Merida yang melawan otoritas pria-pria yang hanya ingin berkuasa tanpa memperhatikan kesejahteraan perempuan dan anak-anak. 

Paling tidak GADIS Ahok lebih jantan dengan turun ke jalan menyuarakan visi misi Ahok-Djarot. Mengumandangkan program-program yang sudah menguntungkan perempuan. Mengkampanyekan perempuan untuk berkontribusi yang benar melalui memilih di TPS. Mengkampanyekan program kerja dan festival gagasan, seperti cita-cita demokrasi di negara yang bhineka.

Ini jauh lebih jantan, daripada pria-pria berdaster yang takut menghadapi kenyataan tentang kebaikan kerja Ahok-Djarot. Habib Riziq telah melarang selebaran program kerja yang sudah dilakukan Ahok yang menguntungkan umat Muslim. Ia takut pemilih akan berpindah hati. Ia hanya berani mengobarkan emosi dan sentiment SARA yang sensitif. Membuat banyak pendukungnya ikut-ikutan marah tanpa argumen jelas, persis seperti kalau perempuan PMS.

Jadi siapa yang lebih jantan?

GADIS Ahok yang mengandalkan pemikiran rasional dan persuasif di era demokrasi atau pria-pria berdaster yang mengandalkan emosi dan ngamuk-ngamuk. Mungkin pria-pria itu otaknya sedang menopous, sehingga cara berpikirnya agak lambat. Kasihan!

Desideria Cempaka Wijaya Murti

Desideria, seorang pecinta traveling, dunia politik, pemasaran, dan komunikasi. Saat ini menempuh studi S3 bidang Media, Culture, and Creative Arts di Curtin University. Aktif menulis blog, buku, dan edukasi tentang demokrasi cerdas.

Mengapa GADIS Ahok Lebih Jantan daripada Pria-Pria Berdaster?

Ketika Perempuan Akar Rumput Bersikap

$
0
0
Foto: flickr.com

Training ini sangat berguna bagi saya, saya jadi tahu kebanggaan yang berlebihan pada agama dan suku membuat kita berkonflik. Apalagi akhir-akhir ini banyak sekali ajakan untuk demo tanggal 4 November, saya ngeri dan takut, takut kehilangan orang-orang yang saya sayangi.” -- Ning Setiani, Sekolah Perempan Bidara Cina

“Dialog antaragama saya pikir hanya bisa dilakukan oleh elite, tapi kita juga bisa ya, biar saling paham dan menghargai masing-masing agama dan suku, gak mudah ikut-ikutan, jadi punya sikap sebagai perempuan.” -- Musriyah, Sekolah Perempuan Rawajati

Ning dan Musriah, dua dari 25 peserta yang menyampaikan kesan dan pesan setelah mengikuti “Pelatihan Menumbuhkan dan Memperkuat Nilai-Nilai Pluralisme, Multikultural, dan Dialog Antaragama” pada 1 November 2016 di Aula Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Timur, kemarin.

Memang harus diakui, jelang Pemilukada DKI Jakarta, aura terasa cukup panas, utamanya bila dikaitkan dengan situasi demo 4 November mendatang.

Kiranya tafsir surat al-Maidah ayat 51 yang dijelaskan oleh para pemikir Islam dengan akal dingin dan tanpa emosi tak jua mampu meredam rencana aksi dua hari ke depan. Sebuah aksi lanjutan yang berujung pada permintaan proses hukum pada Ahok, salah satu kandidat gubernur DKI Jakarta.

Ajakan untuk berdemo bergema melalui banyak cara. Bahkan, seorang peserta training mengakui ajakan dilakukan melalui masjid di tempat ia tinggal, lepas azan subuh sejak dua hari lalu. Pada saat yang sama, disadari atau tidak, situasi tersebut bisa berdampak memunculkan riak-riak konflik di akar rumput.

Merespon situasi tersebut, penguatan bagi kelompok akar rumput sangat diperlukan. Jika konflik terjadi, adalah masyarakat di akar rumput yang mula-mula terkena dampak secara langsung; sebagai korban ataupun sebagai masa yang digerakkan di mana perempuan selalu menjadi korban berlapis. Dan kita tak akan ingin peristiwa Poso, Aceh, Sampang, Tolikara, dan wilayah lain terjadi di Indonesia terjadi lagi.

Mpho A. Tutu, putri Archbishop Desmond Tutu berucap akan pengalamannya membangun budaya damai di Afrika Selatan, bahwa perempuan karena perannya sebagai ibu dan dekat dengan keluarga dan komunitas dapat menjadi pilar dan agen perdamaian. Budaya maaf yang ditularkan oleh perempuan disana berkontribusi penuh menjadikan negara itu bisa membangun puing-puing rekonsiliasi setelah Apartheid.

Hal yang sama, Muhammad Abu Nimer juga menarasikan pentingnya memaafkan. Ia menggambarkan maaf dan damai yang diberikan Palestina pada Israel akan menyumbang perdamaian di negeri itu dan juga dunia.

Di Jakarta, Sekolah Perempuan dari tiga wilayah yakni Bidara Cina, Jatinegara Kaum, dan Ciliwung (Rawajati) yang diinisiasi pembentukannya oleh Institut KAPAL Perempuan sejak tahun 2003 kiranya juga punya visi yang sama, mencegah konflik, membangun budaya damai.

Training kolaborasi antara KAICIID, Institut KAPAL Perempuan, dan Sekolah Perempuan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman para leader tentang pluralisme, multikultural  politik identitas, serta pentingnya membangun dialog antaragama telah memuat enam materi.

Materi tersebut di antaranya yakni identitas, politik identitas, prasangka, memahami asal mula konflik, pencegahan konflik, pluralisme dan upaya membangun budaya damai melalui dialog antaragama.

Untuk itulah, Sekolah Perempuan sebagai kelompok perempuan di akar rumput memang tepat mendapatkan pelatihan ini. Sebagai leader mereka harus melek dan faham politik tetapi nilai-nilai non partisan dan tidak terlibat aktif dalam politik praktis sebagaimana disampaikan oleh Sofia dan Winoto penting dijaga.

Di tataran elite, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Muhammadiyah, NU, dan MUI kemarin nampaknya juga bermaksud mengajak tiga organisasi ini meredam umatnya agar tak ikut berdemo.

Saya pikir, akar rumput juga harus bergerak.

Saya bayangkan, jika 25 orang dari tiga wilayah berbeda ini dapat menyerukan nilai-nilai perdamaian kepada anggota kelompok dan komunitasnya, dan anggota kelompoknya menyebarkan kembali pada orang lain, minimal saja melarang suami, anak laki-laki, saudara laki-lakinya untuk bergabung pada Jumat mendatang serta memberikan pemahaman kiranya upaya nyata membangun budaya damai di akar rumput akan terjadi.

Inilah penyikapan para pemimpin perempuan yang patut diapresiasi dan didukung. Semoga.

Yulianti Muthmainnah

Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka Jakarta dan Resource Center Institut KAPAL Perempuan Jakarta. Sejak tahun 2003, aktif menggeluti isu hak asasi manusia, gender, dan Islam. Meraih gelar Magister Ilmu Hubungan Internasional dari Sekolah Paskasarjana Universitas Paramadina dengan judul tesis ‘Hak Asasi Manusia dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Studi Kasus LGBT’ (2015). Ia juga lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai wisuda terbaik (2005).

Ketika Perempuan Akar Rumput Bersikap

Viewing all 72 articles
Browse latest View live