Sejarah kebudayaan manusia baik yang sakral maupun yang sekuler, senantiasa menunjukkan diri sebagai sejarah patriarki: lelaki yang membangun dunia dimana perempuan berada di dalamnya (Nugroho;2008). Kita bisa menyebut sejumlah tokoh perempuan seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, atau Nyi Ageng Serang.
Namun, kita hanya bisa menerjemahkannya sebagai sempalan-sempalan emansipatoris di tengah arus besar patriarkal. Hingga di setiap tempat dan sejarahnya, pada akhirnya perempuan berada pada the second sex dengan segala konsekuensinya.
Di kebanyakan daerah di nusantara sebagai entitas cultural otonom yang kemudian ditahbiskan menjadi representasi kebudayaan nasional, inferioritas perempuan dimaterialkan dalam pembagian kerja: perempuan yang dikenal lemah lembut, emosional, keibuan, bekerja di sektor domestik, sementara laki-laki yang dianggap kuat, rasional, bekerja di sektor publik.
Dan semua sifat-ciri yang sebenarnya dapat dipertukarkan, berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari tempat ke tempat maupun dari kelas ke kelas lainnya itu, seakan hendak diabadikan (Mansoer Fakih:2007). Alhasil, perempuan banyak kehilangan hak dan kebebasannya dalam pengambilan setiap keputusan, baik yang menyangkut dirinya maupun masyarakat. Ketidakadilan gender juga termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, pelecehan, dan double burden.
Awal abad ke-19 di Indonesia, hal tersebut menjadi ration de ‘etre bagi munculnya gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Nama Kartini pun kemudian disebut-sebut sebagai pelopor gagasan emansipasi: ia yang pertama kali dengan sadar, argumentatif, serta terdokumentasi, menentang penindasan terhadap kaumnya.
Hingga di paruh pertama abad 20, organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Mereka menggugat adat istiadat yang melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Kemudian fokus dan strategi mereka menjadi dinamis seiring laju jaman—dari mulai undang-undang perkawinan, peran ganda, perkosaan, aborsi, KDRT, dan berbagai isu lainnya.
Faktanya, hingga hari ini, perempuan dan persoalannya terus berdampingan. Di era gegap gempita gerakan perempuan, persoalan perempuan berlanjut pada maraknya kasus buruh migran. Kita menemui fakta bahwa mayoritas buruh migran Indonesia yang ada di seluruh negara penempatan adalah perempuan.
Dan sialnya, sebagian besar ditempatkan pada ranah domestik. Hal tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan pada proses pembangunan begitu kecil. Meski demikian, keberadaan buruh migran menjadi salah satu pemasok terbesar bagi devisa negara.
Sayangnya, negara sebagai pihak yang sangat diuntungkan, tidak memberikan perlindungan memadai bagi mereka. Sekalipun kita tahu, buruh migran sangat berperan pada laju-kembang perekonomian negara dengan menyumbangkan devisa setiap tahunnya. Bahkan, dalam rentang 2004-2010 menempati urutan kedua setelah migas.
Di Indonesia, migrasi dalam skala besar bukanlah perkara baru. Hanya saja, pada masa-masa krisis ekonomi, kecenderungan migrasi internasional menjadi naik. Buchori (2006) menyebutkan bahwa sejak tahun 1980-an, migrasi perempuan sebagai pekerja terutama sektor domestik, mulai terjadi dalam jumlah signifikan akibat adanya kebijakan pemerintah yang mulai mengintegrasikan ekspor buruh ke luar negeri dalam rencana pembangunan.
Melalui data IOM, paling tidak sejak tahun 1995 hingga 2005 jumlah tenaga kerja meningkat sebesar 1,3 persen dimana rata-rata bertambah sebanyak 1,2 juta orang pertahun.
Namun dengan terjadinya krisis ekonomi di tahun 1998, perekonomian Negara mengalami penurunan sebelum kemudian pulih kembali setelah tahun 2000.
Hal ini pun berdampak pada jumlah penyerapan tenaga kerja dimana peningkatan tenaga kerja di tahun 2005 tidak dapat diserap secara efektif dan mengakibatkan angka resmi pengangguran meningkat dari 9,5 juta (2003) menjadi 10,8 juta (2005). Pengangguran pun semakin meningkat pada tahun 2006 dengan jumlah 22.036.693, hingga di tahun 2007 akhirnya menjadi 20.555.059, dan 9.258.954 orang di tahun 2009.
Darinya kita bisa menyimpulkan bahwa membengkaknya angka pengangguran di Indonesia disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan perluasan lapangan kerja. Minat masyarakat untuk melakukan migrasi dan mencari kerja di luar negeri sebagai buruh (migran) pun kian menguat.
Dalam situasi seperti itu, sikap negara tampak ambigu. Di satu sisi, Negara yang berkawijiban menjamin aktifitas dan kelayakan ekonomi masyarakatnya, dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar. Sementara di sisi lain, Negara seperti senang dan sekali lagi, terkesan membiarkan keadaan karena memang sangat diuntungkan.
Kita tahu, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, buruh migran pun menjadi penyumbang signifikan bagi devisa negara. Data yang tercatat oleh Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan empat tahun belakangan (2004-2007), buruh migran menyumbang hingga 13,87 miliar US$. Angka ini meningkat dari 1,9 miliar US$ di tahun 2004 menjadi 5,84 miliar US$ di tahun 2007.
Di Asia, Indonesia sendiri merupakan salah satu dari tiga Negara (bersama dengan Filipina dan Srilanka) yang lebih banyak mengirimkan pekerja wanita daripada pria. Angka ini sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah relatif pengiriman ke Malaysia dan Arab Saudi yang menempati 86 persen dari keseluruhan pengiriman pada tahun 2004.
Kemudian pada tahun 2007, pekerja migran Indonesia meningkat kembali dengan persentase jumlah tenaga kerja perempuan sebanyak 78 persen dari 696.746. Tahun 2008, jumlah tenaga kerja perempuan tercatat 73,3 persen dari 748.825.
Pada tahun 2009, walaupun jumlah tenaga kerja migran Indonesia sedikit mengalami penurunan, namun tenaga kerja perempuan mendominasi dengan persentase 83,7 persen dari 632.172. (Laporan BNP2TKI 2009). Sehingga sebenarnya, yang dimaksud “pahlawan devisa” adalah mereka kaum perempuan yang hingga kini terus menjadi korban tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
Di Negara-negara tempat kerja buruh migran Indonesia, terdapat 44.438 kasus pelanggaran hak-hak TKI (2009). Di tahun 1998 hingga 2010, berdasar catatan Komnas Perempuan, tercatat 6266 kasus kekerasan seksual yang dialami buruh migran perempuan.
Fenomena tersebut, mau tidak mau—seraya mengaitkannya dengan isu-isu feminisme—menuntut “selesai”nya pembacaan negara berkenaan dengan diferensiasi kelamin secara ontologis, biologis dan sosiologis, sekaligus kejelasan sikap terhadapanya.
Jika di satu sisi buruh migran dinisbahkan menjadi “pahlawan devisa” atau “penyelamat ekonomi negara”, sementara di sisi lain itu hanya berarti eksploitasi yang sarat bias gender (ingat, mayoritas buruh migran yang notabene didominasi kaum perempuan dipekerjakan sebagai PRT dan rawan tindak kekerasan), maka dihadapan perempuan dan ekonomi, Negara berada di persimpangan krusial.
Negara sendiri tidak memiliki kebijakan hukum yang sesuai dengan hak asasi kaum buruh. Misalnya dalam UU No.39 tahun 2009 tentang PPTKILN, itu tidak cukup memberikan perlindungan bagi buruh migrant sejak pra penempatan hingga pemulangan. Kita juga melihat Pemerintah dan DPR yang menggantung pembahasan RUU PRT, dan tidak mengedepankan perlindungan hak-hak buruh dan justru hanya memikirkan bisnis imigrasi.
Kita juga menyayangkan sikap Negara yang tidak selektif terhadap Negara penerima tenaga kerja Indonesia seperti Filiphina yang menolak untuk memberangkatkan buruh migrant ke beberapa Negara yang tidak memiliki UU terhadap perlindungan tenaga kerja asing..
Persoalan buruh migran dan perempuan tidak berhenti hanya di situ. Selain faktor tidak berimbangnya jumlah angkatan kerja dan lapangan kerja, besarnya kuantitas buruh migran juga menunjukkan bahwa perempuan belum menerima akses kesehatan, pendidikan dan ketrampilan yang setara dengan kaum laki-laki, sehingga mereka hanya bisa menduduki posisi domestik dalam ketenagakerjaan.
Sayangnya, sampai kini pun itu bukan hal baru. Negara seperti tak memiliki konsep ketenagakerjaan yang kondusif. Negara juga seakan kebingungan mengatasi genders pathologic yang memang sudah berumur tua.
Dan, kita akan melihat, betapa keberlarutan semacam ini adalah bentuk lain dari keberpihakan yang jelas merugikan kaum perempuan. Kita pun akhirnya tahu bahwa negara ini, Negara yang berdiri di atas situs masyarakat patriarki ini—dalam banyak hal terutama soal ketanagakerjaan, ternyata masih sangat patriarki.
Dengan demikian, kita bisa menghadiri kesimpulan bahwa Negara tidak memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan buruh migran yang didominasi oleh perempuan. Kita juga akhirnya berkesimpulan bahwa di Negara ini, stereotype perempuan seperti terus dilanggengkan.