Quantcast
Channel: Qureta - Perempuan
Viewing all 72 articles
Browse latest View live

Seumpama Sabda Perempuan adalah Jingga

$
0
0
Foto karya @Siiiwak

Sabda perempuan, secara garis historis, selalu lahir dari tegangan antara kemelut logika dan goa-goa mistis perasaan antah berantah. Sebut saja Hawa, melalui bibirnya yang berdusta melumat buah surga, adalah kebermulaan lahirnya kehidupan manusia di dunia. Sejarah manusia itu cukup menggambarkan, betapa dalam diri seorang perempuan selalu takluk oleh penghayatan dan pengorbanan yang menjadikannya selalu berada di singgasana kemuliaan.

Lantas mengapa sabda seorang perempuan juga terkadang menjadi sumber petaka? Jika penyair  serupa Chairi sering mengingatkan  tak ada yang tahu seperti apa nasib waktu, maka tidak dengan perempuan. Sebab jiwa perempuan itu sendiri adalah waktu yang menentukan nasib hidup anak manusia dari lobang kesuburan yang paling dalam.

Kita memang tidak pernah tahu betapa sangsi rasa kasih sang Ibu setelah mengutuk Malin menjadi sebongkah batu, tapi di situlah kita juga mengerti, bahwa sabda perempuan bagaikan pintu masuk sebuah sihir yang dapat mengundang kekuatan-kekuatan alam demi menjaganya dari ketidakberdayaan dan kehancuran luka perasaan.

Namun ada kalanya para penghuni kahyangan luluh dengan aksara perempuan. Ia mengantarkan keteduhan serupa bebunyian gemericik mata air di semenanjung istana lelangit barat. Ia bukan dalam hujan, melainkan berbaur dalam merahnya suara pada dekap terang rembulan.

Ia datang menyiapkan ruh-ruh Srikandi untuk mengaum memecah sunyi perjamuan makan malam para dewa. Kemudian pecahlah peperangan yang menunjukkan gurat-gurat ksatria dalam bayang-bayang pelita dan lengking Paramitha.

Kita pun bergegas, demi melepas dahaga untuk saling beradu cumbu di sudut peternakan lebah, kemudian lekas tersengat oleh ingatan yang sempat tersesat dalam satu kecupan puitis. Kemudian Ia hilang ditelan angin dan hanya menyisakan wewangian aroma cendana.

*Naskah ini sebagai esai pengantar foto-foto karya Siwak alias Wahyu Nurdiansyah dalam Pameran bertajuk Woman On Top yang diselanggarakan oleh PFI (Pewarta Foto Indonesia)

Mutia Husna Avezahra

Sarjana Psikologi Universitas Negeri Malang. Bergiat di Teater Komunitas sambil menulis di halaman pribadi avezahra.blogspot.com.

Seumpama Sabda Perempuan adalah Jingga


Meretas Jalan Ulama Perempuan

$
0
0
Foto: www.fiqhmenjawab.net

Pada tanggal 25–28 Agustus 2016 lalu, Nasyiatul Aisyiyah (NA), organisasi otonom putri-putri Muhammadiyah telah menggelar Muktamar ke-13. Bertempat di Yogyakarta, muktamar kali ini mengusung tema Gerakan Perempuan Muda Berkemajuan untuk Kemandirian Bangsa.

Tema ini tentu bukan sekedar slogan dan hiasan semata. Melainkan, diharapkan dapat menjadi kristalisasi kesadaran, komitmen, serta perjuangan NA sebagai gerakan perempuan muda Islam dalam menjawab berbagai persoalan keummatan dan kebangsaan, khususnya terkait dengan permasalahan perempuan muda.  

Harus diakui bahwa persoalan yang dihadapi oleh perempuan muda di Indonesia masih sangat banyak. Saat ini fenomena perdagangan perempuan dan anak masih begitu marak. Perekrutan perempuan dan anak untuk dijadikan pasukan gerakan extremis semakin nyata.

Begitu juga, jumlah anak perempuan yang putus sekolah juga masih tinggi. Kekerasan terhadap perempuan, KDRT serta fenomena kemiskinan berwajah perempuan juga masih menjadi persoalan yang hingga hari ini belum dapat dituntaskan. Selain itu, fenomena perkawinan di bawah umur juga menggelisahkan. 

Soal perkawinan anak dibawah umur, misalnya, sungguh memprihatinkan. Jumlah anak perempuan usia 10-14 tahun yang sudah menikah yakni 4,8% atau sekitar 22.000 orang. Pada usia 15-19 tahun mencapai 41,9%. Bila dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama, jumlah perempuan mencapai 11,7 % sedangkan laki-laki 1,6% (Riskesdas, 2010).

Di tahun yang sama, UNICEF melaporkan jumlah perempuan menikah di usia dibawah 19 tahun sekitar 34,5%. Sayangnya, Indonesia Demographic and Health Survey tahun 2012 menyebutkan bahwa 22% perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berakhir dengan perceraian mencapai 50%. Serta 2 dari 7,2 juta perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah.

Ulama Perempuan

Selain persoalan tersebut, hal lain yang harus mendapatkan perhatian besar oleh Nasyiatul Aisyiyah adalah persoalan langkanya ulama perempuan di Indonesia. Ulama berarti seseorang yang ahli atau pakar, senantiasa menempati posisi atas dalam struktur masyarakat kita, serta diberi otoritas keagamaan. Istilah ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari ‘alim’ dan kata kerja ‘alima’ yang berarti ‘mengetahui’ atau ‘berpengalaman tentang’.

Nabi Muhammad SAW senantiasa mengapresiasi kedudukan dan peran perempuan dalam urusan agama. Nabi pernah bersabda ‘ambilah setengah urusan agama kalian dari Humairah’ (Hadist at-Tirmidzi). Ini berarti nabi mengakui kapasitas keulamaan Aisyiyah (Humairah) sehingga meminta para sahabat belajar padanya.

Sukaynah binti Husein, Amrah binti Abd al-Rahman (w. 718 m), Hafsah binti Sirin (w. 718 m), Zainab binti al-Syari’i dan Sayyida Nafisa adalah beberapa nama ulama perempuan. Mereka merupakan ulama perempuan yang kritis. Mereka tak ragu menyalahi pandangan ulama laki-laki yang salah terhadap suatu hukum.     

Faqihuddin Abdul Kodir dalam Menegaskan Ruang Ulama Perempuan, menarasikan bahwa Aisyah binti Abi Bakar ra setidaknya memiliki 299 murid, Ummu Salamah binti Abi Umayyah ra dengan 101 murid, Hafsah binti Umar ra punya 20 murid, Hajimah al-Wassabiyah ra dengan 22 murid, Asma binti Umais ra dengan 13 murid, Ramhlah binti Abi Sufyan ra dengan 21 murid, dan Fathiman binti Qays ra dengan 11 murid. Laki-laki adalah mayoritas murid mereka.

Kehadiran ulama perempuan memang senantiasa dinantikan, utamanya persoalan perempuan. Selain memiliki ilmu agama yang baik, berpengalaman tentang isu perempuan, ulama perempuan diharapkan memiliki kepekaan isu kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki.

Sayangnya, ulama perempuan yang seperti itu masih langka. Umumnya, bila perempuan mengadu tentang KDRT atau dipaksa menikah oleh orang tuanya. Maka atas nama sabar dan kesabaran berbalas pahala dan surga, ulama meminta itu pada perempuan. Hampir tidak ditemukan ada ulama yang meminta perempuan untuk kritis dan menggugat ketidakadilan yang mereka alami.

Nasyiatul Aisyiyah sangat berkepenting terhadap persoalan tersebut dan senantiasa menyiapkan kader agar bisa menjadi ulama perempuan dan menjawab persoalan perempuan. Sejak berdiri tahun 1931, selama kurang lebih 85 tahun berkiprah, sudah banyak kontribusi yang dijalankan oleh organisasi ini bagi Islam dan Tanah Air. Program Pashima, Paralegal NA, Mother School, dan Kaderisasi Mubalighat adalah sebagian kecil penyiapan ulama perempuan.

Tantangan Kedepan

Estafet ulama perempuan harus diteruskan. Selain sarana untuk mempertanggungjawabkan program Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah dihadapan semua wilayah, cabang dan ranting, Muktamar juga momentum untuk memilih ketua umum. Berangkat dari persoalan perempuan tersebut, dibutuhkan pemimpin yang peka terhadap persoalan perempuan.

Pemimpin atau qowwamun dalam bahasa Arab, selain bermakna pemimpin, kata ini juga berarti pelindung atau pendidik. Menjadi pemimpin berarti seseorang ditunjuk, dipercaya oleh organisasi atau komunitasnya untuk menjadi pelindung, pendidik, sekaligus menjadi contoh yang baik bagi orang yang dipimpinnya.

Kader potensial Nasyiatul Aisyiyah sangat berlimpah, dari Marauke hingga Sabang. Sehingga sebagai Ketua Nasyiatul Aisyiyah terpilih, memimpin 34 Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah. Maka dibutuhkan pemimpin yang open minded terhadap persoalan perempuan, berfikir kritis, progresif, berani mengambil sikap jika berhubungan dengan nasib perempuan dan anak sekalipun harus berbeda dengan Muhammadiyah sebagai organisasi induk, sedia meluangkan waktunya untuk memimpin Nasyiatul Aisyiyah, serta sedia mencetak makin banyak ulama perempuan. Semoga. 

Yulianti Muthmainnah

Aktivis perempuan dan dosen. Sejak tahun 2003, aktif menggeluti isu hak asasi manusia. Meraih gelar Magister Ilmu Hubungan Internasional dari Sekolah Paskasarjana Universitas Paramadina dengan judul tesis ‘Hak Asasi Manusia dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Studi Kasus LGBT’ (2015). Ia juga lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai wisuda terbaik (2005).

Meretas Jalan Ulama Perempuan

Refleksi Hasil Muktamar Nasyiatul Aisyiyah

Koperasi Sebagai Alat Memajukan Politik Perempuan

$
0
0
Foto: berdikarionline.com

Upaya mendorong keterwakilan peran politik perempuan, salah satunya dengan memperbanyak porsi perempuan dalam parlemen terus digalakan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, dalam beberapa kali ajang pertarungan pemilu gagal mengangkat partisipasi politik perempuan dalam parlemen.

Kebijakan affirmative action yang selama ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik tidak membuahkan hasil yang signifikan. Terbukti  9 persen pada pemilu tahun 1999 menjadi 11,8 persen pada tahun 2004, dan menjadi 18 persen pada tahun 2009. Namun, pada pemilu 2014 jumlah itu mengalami penurunan yakni menjadi 17 persen.

Memaknai Partisipasi Politik Perempuan

Politik merupakan arena untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik untuk kepentingan umum dan kebaikan bersama. Pertarungan kepentingan pun bisa datang dari kelas sosial manapun. Jadi politik bukan sekedar memilih dan dipilih di ruang pemilu saja.

Saat ini kehadiran perempuan dalam ruang politik sangat minim, sehingga perumusan kebijakan masih bias akan gender—laki-laki memegang kendali penuh dalam menentukan kebijakan. Alhasil kebijakan krang menyentuh perempuan—perempuan tetap tertinggal dan miskin.

Minimnya jumlah perempuan dalam parlemen tentu akan mempengaruhi kebijakan yang menyangkut perempuan pula.  Contoh: kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang mempengaruhi kenaikan harga bahan pokok lainnya, maka perempuanlah yang paling terkena dampaknya karena memegang kendali domestik.

Selain itu masih banyak produk kebijakan politik yang mendiskriminasi dan merugikan perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, hingga saat ini masih ada 365 peraturan daerah yang mendiskriminasi dan merugikan perempuan.

Memang ada beberapa perempuan yang terlibat aktif dalam ruang politik—Menteri, anggota parlemen, Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan legislative, namun tidak dibarengi dengan agenda politik yang jelas untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

Faktor Penghambat

Ada sejumlah faktor sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang menghambat partisipasi politik perempuan. Pertama, masih kuatnya anggapan sosial bahwa tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga (domestifikasi). Di sisi lain, urusan publik atau politik dianggap sebagai urusan laki-laki. Anggapan sosial ini merupakan cerminan dari masih kuatnya ideologi patriarkhi di dalam masyarakat kita.

Kedua, warisan politik Orde Baru (Orba), yakni penghancuran gerakan politik perempuan. Dengan dalih komunisme, Orba menghancurkan gerakan politik perempuan terbesar di tahun 1960-an, yaitu Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Juga melumpuhkan organisasi nasionalis lainnya. Lalu, ketika Orba berkuasa, kendati beberapa ormas perempuan dibiarkan berdiri, tetapi mereka dijauhkan dari gerakan politik. Akibatnya, organisasi perempuan hari ini kurang perspektif politik.

Ketiga, biaya politik yang sangat mahal. Kita tahu, untuk berlaga di Pilkada, biasanya seorang kandidat merogoh kocek hingga milyaran rupiah. Kalaupun si kandidat tidak mau menempuh biaya mahal, tetapi mereka tetap harus menyiapkan uang untuk kebutuhan operasional dan alat peraga.

Di sisi lain, karena domestifikasi yang menjauhkan perempuan dari ruang produksi ekonomi, kaum perempuan kurang berdaya secara ekonomi. Tidak mengherankan, kalaupun ada perempuan yang sanggup berlaga di Pilkada, mereka biasanya berasal dari kalangan atas: pengusaha, keluarga pejabat, artis, dan lain-lain.

Ditambah lagi kebijakan pemerintah yang mengadopsi model ekonomi neoliberal semakin memperlemah langkah perempuan menuju gelanggang politik. Dalam masyarakat patriarkal, laki-laki ditempatkan sebagai “pencari nafkah utama”. Sedangkan perempuan bertugas sebagai petugas rumah tangga (domestik). Ketika sesuatu hal, taruhlah tekanan ekonomi, memaksa perempuan keluar rumah untuk bekerja, maka posisi mereka hanya sebagai “pencari nafkah tambahan”.

Hal ini membawa ketidakadilan dalam sistem pengupahan. Jadinya, upah buruh laki-laki lebih banyak dari upah buruh perempuan karena adanya komponen tunjangan keluarga (istri dan anak). Sementara buruh perempuan, sekalipun sudah menikah atau sudah berkeluarga, tetap dianggap buruh lajang.

Jadi, neoliberalisme diuntungkan oleh konstruksi sosial yang menganggap perempuan hanya “pencari nafkah tambahan” ini. Ini nampak pada fakta bahwa buruh perempuan paling rentan terhadap kebijakan upah murah dan penempatan pada pekerjaan tidak tetap.

Dengan posisi sebagai ‘pencari nafkah tambahan’, perempuan paling banyak mengisi pekerjaan tidak tetap. Sebuah data mengungkapkan, hampir 80 persen buruh kontrak, harian lepas, dan borongan adalah buruh perempuan. (Suara Merdeka, 2007).

Selain itu, karena selalu diposisikan sebagai petugas rumah tangga (domestifikasi), maka sebagian besar tenaga kerja perempuan tergolong berketerampilan rendah.

Sebagian besar perempuan yang dipaksa bekerja di luar rumah memilih pekerja yang berkaitan dengan pekerjaan domestik mereka, yakni sebagai pembantu rumah tangga, pelayan toko, pelayan warung makan, pengurus bayi, dan pengurus lansia. Dan, ironisnya, hingga hari ini pekerjaan-pekerjaan itu belum dipayungi aturan hukum yang menjamin hak-hak normatif mereka, seperti upah layak, hak cuti, jaminan keselamatan kerja, dan lain-lain.

Walhasil, perempuan kurang berdaya secara ekonomi. Kemiskinan melekat pada perempuan. Bahkan ada yang menyebut bahwa kemiskinan di Indonesia lebih banyak berwajah perempuan. Saling sengkarut antara kemiskinan dan patriarki menyebabkan perempuan sulit tampil lebih leluasa di ruang-ruang publik.

Koperasi Perempuan Sebagai Senjata

Menurut saya, meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya dengan langkah affirmative action saja. Perlu memadukan  antara pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan politik. Tanpa pemberdayaan ekonomi, yang memungkinkan perempuan lebih mandiri dan berdaulat sebagai manusia, sangat sulit mengharapkan perempuan berdaya di lapangan politik.

Pemberdayaan ekonomi memungkinkan perempuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti kesehatan, pendidikan, pangan, dan lain-lain, sebagai prasyarat untuk pengembangan dirinya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat. Ini juga yang akan menjadi pintu masuk perempuan di ruang-ruang sosial.

Menurut saya, ide pembangunan koperasi perempuan menjadi sangat relevan. Koperasi akan menjadi senjata untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi. Koperasi juga akan menjadi alat mewadahi kaum perempuan dalam berbagai kolektif-kolektif kerja yang produktif.

Koperasi juga akan mengajari perempuan tentang bagaimana menyelesaikan persoalan ekonomi, bukan dengan bersaing satu sama lain seperti terjadi di alam kapitalisme, melainkan dengan kerjasama dan solidaritas. Ini merupakan alat yang penting untuk mengorganisasikan kembali rakyat, termasuk perempuan, yang tercerai-berai akibat persaingan bebas ala kapitalisme.

Tetapi koperasi perempuan tidak hanya mengajarkan soal bagaimana berproduksi. Merujuk pada pengalaman perempuan di Venezuela melalui program Banmujer (Bank Perempuan), koperasi perempuan juga bisa menyelenggarakan workshop, seperti pengenalan soal hak-hak perempuan, bagaimana melawan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemeliharaan kesehatan keluarga, pemberantasan buta-huruf, dan kursus-kursus politik.

Jadi, koperasi perempuan ini tidak hanya mengejar kemajuan ekonomi, tetapi juga kemajuan sosial, budaya, dan politik. Akumulasi pengalaman dari berproduksi bersama, belajar bersama, dan menyelesaikan persoalan secara bersama, akan menjadi basis bagi lahirnya kesadaran politik yang bervisi pembebasan.#LombaEsaiPolitik

Rini Hartono

Aktivis Perempuan

Koperasi Sebagai Alat Memajukan Politik Perempuan

Wanita, Budaya dan Karakter Bangsa

$
0
0
foto sindiran terhadap fenomen degradasi moral budaya dan wanita (source;internet}

Wanita. Makhluk yang seringkali dilambangkan dengan pribadi yang lembut, perasa dan berhati peka. Tapi dengan semua sifat “kewanitaan” itu, tak dipungkiri mereka memegang peranan penting dalam kancah bernegara dan berbangsa.

Wanita sering kali menjadi penentu arah laju perkembangan moral dan karakter bangsa. “Ibu’’ begitulah kelak mereka, adalah sebuah tonggak penegak moral setiap anak Indonesia. Mau jadi apa, harus bagaimana anak Indonesia kelak adalah lahir dari ajaran dan patron seorang ibu. Sebegitu pentingnya peran wanita, bahkan sampai mereka pun kurang menyadari hal ini.

Budaya dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai hasil pikiran. Dalam istilah yang lebih luas budaya adalah cerminan dari tingkat intelegensi masyarakat majemuk. Bagaimana budaya itu akan berkembang, ke arah mana laju perkembangan itu menuju berbanding lurus dengan perubahan tingkat intelegensi masyarakat terkait. Masyarakat adalah  faktor utama pendorong berkembangnya suatu budaya sekaligus sebagai faktor penentu arah perkembangan budaya.

Berkembang atau tidaknya suatu budaya, tergantung perubahan yang diinginkan masyarakat itu sendiri. Ketika perkembangan budaya menjadi semakin baik, ataupun memasuki level high, maka itu adalah cerminan dari perubahan kondisi yang sesungguhnya terjadi pada masyarakat.

Berangkat dari kedua pemahaman diatas, sesungguhnya ada sebuah korelasi yang intens antara budaya dan wanita. Masyarakat yang  notabene menjadi subjek utama perkembangan budaya adalah hasil dari penanaman moral seorang wanita yang berstatus “ibu”.

Carut-marut bangsa ini yang katanya sering disebut sebagai bangsa yang kehilangan jati diri, bangsa yang krisis identitas, atau paling parah adalah bangsa yang mengalami degradasi moral, adalah bukan hasil dari ulah semacam kelompok atau bandit-bandit kecil maupun kelas kakap. Laju perkembangan budaya kita yang seringkali disebut lambat terhadap ilmu pengetahuan dan justru mengarah pada kejahiliaan sesunguhnya merupakan kesalahan masyarakat kita sendiri.

Di amerika serikat, keprihatinan yang terjadi karena generasi muda mereka lebih senang bermain games, atau menjadi maniak games dibanding menyikapi isu-isu kenegaraan, tidak menjadikan para pengamat mencari-cari kambing hitam dengan menyalahkan siapa-siapa, tapi justru dengan bijak mengatakan bahwa fenomena ini adalah akibat dari industri entertainment yang memang meningkat drastis, hingga menyebabkan pergeseran pola pikir yang amat dikalangan generasi  muda mereka.

Hal ini seharusnya menjadi sebuah pelajaran besar bagi bangsa kita, pelajaran karakter yang mendalam, melihat fenomena yng terjadi pada bangsa ini, dimana masalah selalu dicarikan kambing hitam, bukan sosusi. Jika kita memahami, pentingnya peran wanita dan juga bagaimana pola pikir masyarakat terbentuk, tentu hal semacam perkembangan budaya dan pembentukan karakter bangsa Indonesia sudah tidak perlu diperdebatkan lagi dalam setiap seminar dan diskusi-diskusi. Cukup pengoptimalisasian peran wanita dalam pembentukan moral dan karakter bangsa.

Pada tahun 1998 sampai 1999 terjadi sebuah skandal yang sangat menggemparkan warga Amerika Serikat, Presiden kebanggaan mereka, Bill Clinton, terkena skandal mempunyai affairs dengan sekertaris gedung putih saat itu, Monica Lewinsky.

Bill Clinton yang kala itu begitu tinggi popularitasnya setelah berbagai prestasi dalam masa pemerintahannya, terutama  mempertegas status Amerika Serikat sebagai Negara “adidaya”. Skandal yang  terkenal dengan nama “Monicagate” itu begitu mengherankan, karena Bill Clinton waktu itu dianggap sebagai pemimpin yang hebat, tahan banting, mampu mengatasi lawan-lawan politiknya sekaligus menahan tekanan tinggi sebagai Presiden Negara “super power”, takluk oleh sebuah wanita dimulai dengan kejadian “memperlihatkan celana dalam” oleh monica Lewinsky.

Pepatah Inggris mengatakan bahwa “kebenaran acapkali lebih aneh daripada cerita fiksi”, memang benar adanya. Sosok yang begitu tangguh, takluk oleh signal celana dalam. Haha, ibarat sebuah lelucon memang, tapi ini fakta.

Kejadian yang membuktikan amat besar peran seorang wanita dalam hal membentuk sekaligus mengahancurkan moral dan karakter suatu bangsa. Dari realita diatas harusnya lahir sebuah paradigma yang lebih proporsional. Sekali lagi, keadaan bangsa yang memprihatinkan ini, bukan karena ulah sebahagian kelompok atau bandit-bandit kecil maupun kelas kakap.

Tapi keadaan hari ini adalah cerminan dari keadaan masyarakat Indonesia. Hasil perbuatan dan pemikiran aku, kamu, dia dan mereka (Kita). Maka dipahami, langkah kedepan adalah pengoptimalisasian peran wanita, dalam pembentukan moral bangsa.

Diberikannya porsi lebih kepada mereka yang memang  punya hak dan kompetensi untuk mendidik. Lebih tepatnya kepada para wanita bangsa Indonesia, bukan kepada media yang penuh dengan kepentingan, atau game-game yang merusak moral. harusnya kita bisa lebih baik…

Irsyad Madjid

Asli makassar, Fuhrer Islami

Wanita, Budaya dan Karakter Bangsa

Tak Boleh Ada Perempuan Yang Meninggal Karena Melahirkan

$
0
0
www.google.co.id

Siang itu kami sedang bersiap – siap untuk menguji para mahasiswi kebidanan untuk pelatihan Pertolongan Pertama Gawat Darurat – Obstetrik Neonatal (PPGD-ON) di salah satu Universitas swasta di Kediri Jawa Timur. Kebetulan hari itu adalah hari terakhir kami mengajar setelah selama dua hari penuh teori dan praktik. 

Tiba – tiba ada salah seorang peserta menghampiri dan mengatakan ingin konsultasi khusus dengan saya  Namanya ibu Bidan  Agustin Yeni Panduwal. Beliau adalah seorang bidan dari NTT, wajahnya yang khas orang timur dan tutur bahasanya yang spesial membuat saya mudah mengenalinya diantara mahasiswi yang lain. 

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya saya sambil mempersilahkan duduk. Dengan tegas dan penuh harap bidan itu menyampaikan “ begini pak dokter, saya dari NTT, angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan) itu tinggi sekali, saya mau menyampaikan bahwa program revolusi KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) itu tidak berhasil” 

Kemudian ibu bidan tersebut menceritakan mengapa program tersebut tidak berhasil, menurut sudut pandang beliau salah satunya dikarenakan kurangnya jumlah dan kompetensi tenaga bidan, medan yang sulit, masyarakat sekitar yang belum terdidik dan lain – lain.

Terus terang saya kaget, kenapa ibu bidan Agustin menyampaikan hal itu kepada saya bukan kepada yang lainnya. Kaget karena saya tahu kapasitas saya yang bukan lah siapa – siapa dan kaget karena saya menganggapnya itu bukan suatu kebetulan. (sekian lama saya melatih bidan dan mahasiswi kebidanan, baru kali ini ada yang menyampaikan sesuatu yang menurut saya sangat tulus seperti ini)

Saya lalu bertanya kepadanya “ menurut bu Agustin, apa yang bisa saya lakukan?” dengan lantangnya ibu Agustin menjawab “ saya tidak tahu pasti, tapi mungkin dokter bisa menulis penelitian atau bagaimana sehingga bisa menyampaikan bahwa program revolusi KIA itu tidak berhasil”. 

Kemudian saya pun menganggukkan kepala, tanda bahwa cukup sekian konsultasinya, karena kami akan segera memulai ujian. Dari raut wajahnya sepertinya bu Agustin begitu lega menyampaikan hal itu kepada saya. Sedangkan saya kebalikannya, merasa bingung  karena tidak tahu harus berbuat apa.

Iseng-iseng  kemudian saya browsing di Google, ternyata memang benar angka kematian Ibu di Kabupaten TTS tertinggi di NTT, bahkan hingga 590/100.000 kelahiran di tahun 2009. Meskipun angkanya sudah menurun hingga 289/100.000 di tahun 2011 namun masih dikategorikan tinggi karena melebihi target nasional yaitu 125/100.000. Turunnya angka kematian ibu salah satunya adalah berkat program revolusi KIA yang dicanangkan oleh Gubernur NTT sejak tahun 2009.

Melihat data tersebut, seharusnya revolusi KIA boleh dibilang cukup berhasil, tetapi maaf saja sepertinya saya lebih percaya kepada ibu Agustin yang memang seorang bidan di lapangan. Tatapan mata dan ketulusan hatinya mengatakan bahwa yang disampaikan benar adanya. Saya sendiri banyak mendengar cerita  dari rekan pengajar lainnya, bahwa banyak data berupa angka yang ditampilkan di statistik itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, beberapa bahkan sengaja disembunyikan.

Melalui google selain banyak ditemukan tulisan mengenai tingginya angka kematian di kab TTS, juga banyak ditemukan penelitian yang menjelaskan mengapa angka tersebut demikian tinggi. Bahkan ada yang menjabarkannya untuk setiap kasus kematian ibu yang terjadi.

Pertanyaan saya, mengapa angka kematiannya tetap saja tinggi? Mengapa tidak ada perbaikan? Mengapa revolusi KIA tidak berhasil? Bila sudah tahu penyebabnya mestinya lebih mudah kan menyelesaikannya.

Pertanyaan saya ini membuat saya berhenti mencari data, dan kemudian melupakan masalah ini begitu saja. 

Sebulan pun berlalu hingga hari ini tanpa sengaja saya membaca sebuah artikel yang dishare oleh teman facebook saya (Alex Kusanto). Artikel itu menceritakan betapa tingginya angka korupsi di NTT. Menurut data dari ICW tahun 2015, NTT berada di peringkat teratas korupsi di Indonesia.

Mungkin inilah penyebab utamanya, yang menjadi akar permasalahan utama. Korupsi adalah kejahatan sosial yang dapat melumpuhkan segala aktivitas kemanusiaan. Budaya korupsi membuat program revolusi KIA tidak mampu berbuat banyak. Saya bukannya menuduh uang yang dipakai untuk revolusi KIA itu dikorupsi,  tapi saya berpikir bahwa korupsi yang lumrah terjadi membuat mental pejabat pada umumnya mementingkan dirinya sendiri dan golongannya.

Berantas korupsi adalah langkah awal yang harus dilakukan untuk bisa menurunkan angka kematian Ibu yang tinggi. Reformasi kepemimpinan dan pelayanan kesehatan berbasis komunitas perlu diwujudkan. Berikan dukungan lebih secara moral dan meterial kepada para tenaga kesehatan yang berjuang di lapangan. Tingkatkan kemampuan dan kompetensi bidan di bidang emergensi. Ajak masyarakat untuk ikut berperan aktif menyukseskan program ini.

No woman should die giving birth, tidak boleh ada seorang ibu yang meninggal karena melahirkan. Proses melahirkan adalah salah satu keajaiban yang diciptakan oleh Tuhan, seharusnya membawa tangisan kebahagiaan, bukan tangisan penderitaan. Menyelamatkan nyawa ibu berarti menyelamatkan satu keluarga, menyelamatkan satu keluarga berarti menyelamatkan satu generasi.

Akhir kata, semoga tulisan saya ini dapat menebus rasa bersalah saya, terutama kepada ibu Agustin karena saya memang tidak dapat berbuat lebih. Tak mampu kerena keterbatasan saya secara pribadi dan karena memang saya tidak sanggup melakukannya.

Terima kasih karena saya percaya bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan.

Rousdy Noor

Medical Stand Up Entertainer

Tak Boleh Ada Perempuan Yang Meninggal Karena Melahirkan

Selamatkan Perempuan dari Belenggu Perdagangan Manusia

$
0
0
Sumber: theradicalnotion.com

Sungguh sebuah ironi, Negara Indonesia yang sedari hakikatnya menjunjung tinggi martabat manusia seturut amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar, justru menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya benih perdagangan manusia. Actus humanus manusia memperdagangkan manusia, tak lagi dipandang sebagai hal yang tabu di negara ini dan malah sebaliknya menjadi semacam kompromi sosial demi meningkatkan pendapatan ekonomi.  

Human trafficking secara paksa merebut luhurnya martabat manusia dari seorang individu. Kodrat keberadaannya yang adalah makhluk yang bebas dan luhur, kini tak lagi diperhitungkan dan secara paksa diganti dengan identitas baru yaitu sebagai budak. Human trafficking serentak menjadi model perbudakan modern masa kini.

Perdagangan manusia dalam hukum nasional dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang terorgansir sebab di dalamnya terlibat sekumpulan orang yang memulai aktivitas kejahatan dengan melibatkan diri pada pelanggaran hukum untuk mencari keuntungan secara ilegal dengan kekuatan ilegal serta mengikatkan aktivitasnya pada kegiatan pemerasan dan pemaksaan. 

Kekuatan ilegal yang menjadi modus pelaksanaan human trafficking biasanya menjerat perempuan sebagai korbannya sebab perempuan kerap dipandang sebagai  pribadi yang lemah dan rentan. 

Kasus perdagangan perempuan de facto adalah fenomena yang kian mengental tiap tahunnya, dan bahkan yang lebih ngerinya lagi kasus serupa bukan saja terjadi lintas daerah dalam negeri melainkan melibatkan dunia internasional. Tambahan pula, Sindikat human trafficking dewasa ini, bahkan sudah melawati batas-batas teritorial sebuah negara.  

Tak dapat dielak bahwa faktum human trafficking menggugah kesadaran kita untuk berhenti sejenak dan bersama-sama menemukan jalan terbaik guna menyelamatkan kaum hawa dari lilitan yang membelenggu haknya. Tidak ada lagi waktu untuk berpangku tangan, saatnya sebagai putra-putri yang lahir dari bangsa yang sama, kita dipanggil untuk menyelamatkan saudari-saudari kita yang menjadi korban perdagangan.

Perempuan: ‘Komoditi’ Unggul dalam Human Trafficking

Perdagangan manusia  dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindakan pidana perdagangan orang, didefinisikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, peyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain  tersebut, baik yang dilakukan dalam negara maupun antranegara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.  

Human trafficking adalah sebuah tindakan pidana yang paralel dengan tindak kejahatan kemanusiaan sebab menjadikan  individu atau sekelompok orang sebagai komoditas yang diperjualbelikan. 

Sebagaimana yang telah disebutkan pada awal tulisan ini, bahwa perempuan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban human trafficking. Catatan tahunan Komnas perempuan tahun 2013 sebagaimana yang dilansir oleh Sri Nurherwati menulis, terdapat 279.760 kasus terhadap perempuan yang ditangani.

Angka ini naik mencapai 30 % dari tahun sebelumnya yang hanya terdiri dari 216.156 kasus. Dari jumlah ini, tiga angka terbesar kekerasan dalam ranah komunitas adalah perkosaan, pencabulan dan perdagangan orang.  

Perdagangan yang menempatkan perempuan dalam posisi sebagai komoditas utama dalam actus jual-beli disinyalir merupakan bisnis yang menguntungkan dan dapat membentuk piramida uang dalam waktu singkat. Ironisnya, kaum perempuan yang sedari kodratnya adalah pribadi yang bermartabat dan merdeka, tak diberi kebebasan sedikit pun untuk memerjuangkan kemerdekaannya. 

Martabatnya sebagai manusia ditelanjangi dengan sangat sadis. Ia bukan lagi sebagai subyek melainkan obyek. Relasi dalam ranah ini bukan lagi dibangun di atas konsep I-You tetapi I-It. Perempuan bukan lagi manusia melainkan barang yang dengan bebas diperjualbelikan dan bahkan dibawa hingga ke dunia yang tidak diinginkannya.

Kisah dramatis perdagangan perempuan diawali dengan bujukan dan rayuan yang menggiurkan hingga mereka sungguh tak menyadari bahwa dirinya diperbudak. Para korban diming-iming dengan sebuah janji akan kehidupan yang lebih layak, dan bahkan ditawari sebuah pekerjaan dengan janji akan upah yang menggiurkan. Selanjutnya, tanpa disadari mereka dijadikan pembantu rumah tangga dan yang mengerikan mereka dijadikan sebagai perempuan penghibur bagi para lelaki. 

Kodrat perempuan sebagai pribadi yang lemah lembut sengaja diperdaya untuk tujuan eksploitasi dehumanis. Data yang dihimpun oleh seorang dosen  dan peneliti dari FISIP UI menunjukkan bahwa dari kasus-kasus yang ditemui, perdagangan perempuan bukan saja terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan.  

Sebagian besar kasus yang terjadi di Indonesia adalah pola perdagangan perempuan untuk prostitusi paksaan (enforced prostitution) atau perdagangan seks yang disertai kekerasan seksual.  Adapun Ekonomi menjadi alasan utama dalam isu perdagangan.

Indonesia sebagai negara yang beradab ternyata tak mampu menjaga dan mempertahankan  martabat putra dan putrinya. Litani kasus perdangan manusia dipertontonkan tahun demi tahun dalam wilayah tanah ini. Sementara itu, dalam ranah lokal, TRUK –F (Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores) Maumere tak ketinggalan menyajikan sebuah  narasi yang berjudul human trafficking. 

Sebagaimana yang dikutip dalam jurnal ledalero, dikatakan bahwa sejak tahun 2000-2013, Divisi perempuan Truk-F menangani sebanyak 320 kasus perdagangan orang dan 66 diantaranya adalah kasus perdagangan perempuan dewasa. Bukan tidak mungkin kasus serupa terus bertambah tiap tahunnya. Perdagangan manusia seolah telah menjadi momok yang menakutkan dan tak pernah jauh dari kamus kehidupan seorang perempuan.

Perempuan dalam Lilitan Ideologi yang Membelenggu

Perempuan dalam sebuah konstruksi sosial kemasyarakatan patriarkat kerap dipandang sebagai mahkluk yang lemah yang mesti tunduk di bawah dominasi kaum pria. Budaya patriarki sebagai sebuah ideologi yang sengaja dikonstruksi untuk menegakkan totalitas hegemoni kekuasaan laki-laki atas perempuan, serentak pula jauh dari ciri egaliter dan berseberangan dengan prinsip equal opportunity (setiap orang mempunyai hak dan peluang yang sama).

Budaya patriarkat in se tak pernah membenarkan prinsip perendahan martabat kaum perempuan oleh laki-laki. Paradigma yang mendiskreditkan peran kaum perempuan ini sengaja diciptakan oleh kaum pria demi keuntungan mereka sendiri. Hal senada dibenarkan oleh Anne M. Cliiford. Bagi Anne, budaya patriarkat menempatkan perempuan dan anak dalam posisi yang tidak sederajat dengan laki-laki.

Yohanes Dionisius Bosco Galus

Saya dilahirkan pada 10 Maret 1993 di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT. Menamatkan pendidikan SD hingga SMA di Manggarai. Sekarang tengah menjalankan kegiatan perkuliahan pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledalero-Maumere, NTT, Semester V.

Selamatkan Perempuan dari Belenggu Perdagangan Manusia

Mem-politik-kan Perempuan, Mem-perempuan-kan Politik

$
0
0
kajiangender.pps.ui.ac.id

Dan kamu,

Kamu wanita Indonesia,

Akhirnya nasibmu adalah ditangan kamu sendiri,

Kamu sendiri harus terjun mutlak dalam perjuangan.

(Soekarno)

Dengan bermaksud manarik hubungan antara perempuan dan politik. Mem-politik-kan Perempuan, memiliki arti menanamkan politik dalam sendi-sendi kehidupan perempuan. Penggalan kalimat ini secara langsung dan tidak langsung mencoba menyuntikan perhatian perempuan akan politik. Kemudian, Mem-perempuan-kan politik, memiliki arti yang lebih dalam untuk menanamkan jati diri perempuan dalam politik.

Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam politik. Namun begitu, hambatan yang timbul diantaranya karena faktor budaya, menyebabkan representasi politik perempuan di parlemen masih sangat rendah. Sebagai upaya mengejar ketertinggalan tersebut, disyahkanlah Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang memberikan quota minimal 30 persen bagi perempuan di parlemen.

Lahirnya prinsip keterwakilan perempuan atau juga disebut sistem kuota perempuan, bersumber dari ketidakpuasan beberapa kalangan. Hal itu khususnya dari kelompok feminis, yang melihat betapa “memperihatinkan” porsi atau presentasi kalangan perempuan di lingkungan parpol-parpol yang ada.

Dari sejumlah perangkat hukum yang ada perempuan Indonesia mempunyai landasan hukum yang kuat akan hak-haknya terlibat dalam bidang politik dan lembaga politik formal yang sama dengan laki-laki.

Sayangnya ditingkat implementasi, masih banyak ditemui keterbatasan  dan kendala baik itu akibat dari nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat, maupun kendala tekhnis dilapangan, masih rendahnya tingkat pendidikan, dan pemberdayaan perempuan akan pendidikan politik juga belum optimal.

Perempuan yang akan terjun ke dunia politik harus mempersiapkan diri, untuk itu kaum perempuan harus aktif di dalam kepengurusan partai politik, dan membekali diri dengan memenuhi kapasitas, kompetensi dan sebagai warga politik dengan tetap dalam koridor kesempurnaan jati diri perempuan. (Nur Asikin Thalib, Hak Politik Perempuan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 2 Desember  2014 – 247)

Hasil penelitian dari M. Yusuf Pambudi yang dituangkan dalam makalah berjudul Perempuan dan Politik, menunjukkan hambatan yang ditemui perempuan selama proses pencalonannya sebagai caleg dan pada saat berkampanye di masyarakat adalah :

Pertama, dominasi elita parpol yang mayoritas adalah laki-laki dengan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak strategis pada kepengurusan, sehingga perempuan memiliki sedikit peran untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Kedua, penempatan calon legislatif perempuan pada nomor urut buncit dan  pada dapil yang bukan “wilayahnya” juga dapat merugikan calon legislatif perempuan dari segi perolehan suara.

Ketiga, fungsi parpol untuk memberikan pendidikan politik dan sosialisasi politik yang sesuai dengan ketentuan tidak dijalankan. Ini menyebabkan kualitas calon legislatif perempuan menjadi rendah, dan pada akhirnya mempengaruhi pada elektabilitas dan popularitas yang juga rendah.

Berbagai realitas politik menguatkan analisis Daniel Dhakidae tentang Oligarki Partai Politik bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite.

Dominasi elite parpol yang ditunjukkan  dalam kebijakan  dan  keputusan di tingkat internal partai yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan masih menjadi faktor yang sangat kuat untuk menghambat aksesibilitas perempuan menjadi anggota legislatif.

Khofifah Indar Parawansa, dalam makalahnya berjudul Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia mengajukan beberapa strategi meningkatkan representasi perempuan, yaitu :

membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi perempuan,
mengupayakan untuk menduduki posisi-poisisi strategis dalam partai,
melakukan advokasi para pemimpin partai-partai politik,
membangun akses ke media,
meningkatkan pemahaman dan kesadaran perempuan melalui pendidikan dan pelatihan,
meningkatkan kualitas perempuan.

Beragam perspektif dan strategi perjuangan perempuan yang ada sesungguhnya tak hanya efektif digunakan sebagai alat pencerdasan dan penyadaran, tapi lebih dari itu sebagai instrumen dalam membangun koalisi besar gerakan perempuan Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, toleransi, dan demokrasi.

Beragamnya organisasi perempuan yang tumbuh di Tanah Air harus di lihat secara positif dan diletakkan pada konteksnya, yakni saling mengisi dan melengkapi. Penyatuan banyak kekuatan dalam sebuah koalisi besar gerakan perempuan akan kian mempertinggi posisi tawar kaum perempuan vis a vis negara.

Perjuangan untuk mencapai keadilan jender dan mewujudkan representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi turut mewarnai) di negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang untuk dibuktikan.

Karena ia menyangkut kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, pengalaman yang relevan, serta visi misi yang tak hanya sejalan dengan partai politik yang diwakilinya, namun juga harus sebangun dengan harapan dan keprihatinan rakyat.

Jika kita meyakini “politik tak bermula dari kebencian, tetapi dari rasa sayang dan nalar untuk membangun bangsa”, maka aspirasi politik perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsa bisa dimaknai sebagai bentuk penguatan demokrasi kita yang selama ini kental beraroma maskulin dengan cirinya yang cenderung arogan, culas, dan agresif.

Dibutuhkan upaya ekstra keras guna mengonstruksi isu representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang setara dan partisipatif dan wacana jender dalam frame pluralisme demokratis (non-patriarkis) sebagai prioritas kebijakan negara ke depan agar tatanan masyarakat demokratis yang berkeadilan jender bisa sungguh-sungguh terwujud.

Keterbatasan partisipasi perempuan di wilayah politik akan sangat berpengaruh terhadap upaya pengembangan masyarakat Jika tingkat partisipasi politik perempuan rendah, maka ada indikasi bahwa pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak baik.

Safitri, dalam tulisannya “Affirmative Action 30 Persen Kuota Caleg Perempuan: Sebuah Semboyan?”, yang dimuat dalam Jurnal Psikologi Vol. 5 No. 1, Juni  2007, menyatakan, perempuan harus membuktikan perannya dalam perpolitikan nasional, harus aktif dengan lembaga-lembaga kajian perempuan, mencapai kemandirian politik, menjaga kesetaraan dengan laki-laki dalam menjalankan peran politik.

Persepsi masyarakat terhadap peran perempuan dalam politik harus ditingkatkan, dan merubah prilaku perempuan yang berminat dalam politik agar  timbul rasa percaya diri  bahwa mereka mampu apabila semua persyaratan memang telah, terutama pendidikan, pengalaman dan keahlian serta sikap.

Perlu dilakukan banyak informasi dan pencitraan bahwa perempuan bisa dan mampu bila menjadi bagian dari pembuat kebijakan Dengan demikian diharapkan affirmative action 30 persen kuota calon legislatif perempuan terpenuhi tidak hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas, dan bukan hanya sebagai semboyan saja.

#LombaEsaiPolitik

Taufik Hidayat

Lahir di Medan, tanggal 15 Oktober 1976

Mem-politik-kan Perempuan, Mem-perempuan-kan Politik

Peran Perempuan untuk Bangsa

$
0
0
Sumber: berita.suaramerdeka.com

Apa sih pentingnya kita membahas perempuan dalam dunia politik? Jangan salah ketika Malahayati, Cut Nyak Dien, RA. Kartini, Rohana Kudus, Rasuna Said serta Fatmawati adalah pejuang-pejuang hebat yang tidak mendikotomikan gender.

Pertanyaan yang sederhana ketika kita bertanya apa pentingnya bicara affirmative action bagi perempuan, sesungguhnya memuat gugatan epistomologis atas gerakan perempuan, khususnya dalam konteks gerakan politik.

Amerika sebagai negara champion demokrasi saja belum pernah memiliki presiden perempuan. Indonesia sebagai negara yang baru berdemokrasi pernah dipimpin oleh presiden perempuan. Bahkan seorang Malahayati menjadi laksamana perempuan pertama di dunia. Inilah yang penting jangan sampai perempuan Indonesia terjebak dalam medan perjuangan kesetaraan gender.

Sejarah Indonesia sudah menunjukan emansipasi itu sendiri serta tekah mengakar dan mentradisi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagaimana ditunjukan spirit Mahalayati, Kartini, Fatmawati, dan lainnya.Secara historis perempuan Indonesia lebih progresif dari barat.

Dalam membahas rupa perempuan Indonesia dalam kiprah politik di Republik ini dalam sejarah telah ditoreh bukti-bukti pencapaiannya. Dalam buku Bung Karno berjudul Sarinah, akan kita temukan sebuah gambaran keadaan perempuan Eropa abad ke-15.

Bung Karno berpatokan pada catatan Thomas Murner, seorang sastrawan Jerman, yang menceritakan betapa kehidupan perempuan Eropa sangat berbeda dari keadaan perempuan seperti Malahayati di Aceh pada abad yang sama. Perempuan-perempuan Eropa pada masa itu seperti barang yang dapat begitu saja "disuguhkan" oleh tuan rumah kepada tamu layaknya menyuguhkan makanan. Nyonya rumah dan putri di rumah itu menjadi jamuan untuk tetamu.

Perempuan Eropa masa itu sama terjajahnya dengan negara-negara yang dijajah Eropa pada masa yang sama. Sementara Malahayati, saat itu telah menjadi panglima terdepan yang berani menunjuk hidung kapten kapal Belanda yang pertama kali merapat ke wilayah Nusantara.

Malahayati menjadi laksamana pertama di dunia saat perempuan Eropa belum mendapatkan harkat sebagaimana semestinya. Terang sudah emansipasi telah diraih dan dipegang erat perempuan-perempuan Nusantara masa itu. Sementara dibelahan dunia Barat, pada keadaan yang kurang lebih sama, ditengah kepungan berbagai peperangan, tidak terjadi fenomena emansipasi serupa.

Namun ada negara yang menunjukan kemajuan kesetaraan politik menuntut kemerdekaan dan persamaan hak perempuan, serangkaian dengan revolusi yaitu Perancis. Saat Amerika Serikat merdeka dan mulai berdiri sebagai sebuah negara, tidak serta merta kaum perempuannya memiliki hak-hak yang sama secara politik dengan rekan lelaki mereka.

Perempuan Amerika baru memperoleh hak memilih pada tahun 1920, setelah 144 tahun negara ini merdeka. Sebelum abad ke-20, perempuan Amerika disamakan dengan anak-anak dibawah umur yang tidak boleh mengikuti pemilu. Hak memilih pun awalnya hanya diperoleh perempuan di sembilan negara bagian, dan proses perjuangannya pun harus memakan waktu 64 tahun.

Pada dekade sebelum pemilu pertama Indonesia tahun 1955, perempuan Amerika masih turun ke jalan untuk menuntut persamaan hak. Tahun 1948, sejumlah perempuan berkumpul di Seneca Falls, New York, untuk menuntut hak-hak mereka berbicara didepan umum.

Di Indonesia perempuan sudah berpartisipasi pemilu pertama tahun 1955. Padahal saat itu Indonesia memasuki ujian pertama praktik berdemokrasi sebagai negara muda yang berumur 10 tahun. Namun pemerintah saat itu tidak pernah membatasi hak perempuan untuk ikut dalam pemilu.

Perempuan Indonesia tahun 1955 ikut sebagai bagian dari 37,7 juta lebih pemilih. Tak salah jika dari beberapa sisi, penyelenggaraan pemilu pertama ini dinilai sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah Republik.

Sejarah pergerakan perempuan Indonesia tidak memilah-milah medan perjuangan. Ia datang untuk berkiprah secara menyeluruh. Gerakannya tidak hanya membebaskan perempuan secara gender, tetapi perjuangan kedudukan perempuan sebagai sebagian dari kemanusiaan secara keseluruhan.

Pergerakannya lebih maju dari jiwa "burgerlijk liberalism", istilah yang yang di pakai Bung Karno untuk menamai perjuangan feminis Internasional Alliance for Women Sufferage and Equal Citizenship pada awal abad ke-20 yang hanya menyasar sekelompok perempuan elit saja.

Gerakan perempuan di Indonesia juga tumbuh bukan sebagai perjuangan yang menentang laki-laki, sebab prinsipnya adalah kemanusiaan. Perjuangan perempuan Indonesia berakar pada perjuangan bersama-sama kaum laki-laki merebut keadilan.

"Mempertahankan adalah ujian yang lebih berat dari pada memperjuangkan," sulit menyangkal kebenaran ungkapan populer ini. Setelah melihat kematangan perempuan dalam sejarah bangsa, pertanyaan untuk perempuan masa kini, yang punya tugas mempertahankan keberhasilan perjuangan perempuan terdahulu, adalah "Sanggupkah Malahayati-Malahayati abad ke-21 bangsa ini mengemban tugas dan peran yang lebih berat dibanding pendahulu mereka?"

Dalam konteks politik, siapa pun menyadari nilai strategis perempuan. Jumlahnya yang lebih banyak dibanding laki-laki menjadi obsesi tersendiri bagi banyak partai politik. Keberadaannya selalu menjadi sasaran utama untuk dipikat dalam ajang lima tahunan bernama pemilu.

Dan di akhir tulisan saya sepakat perempuan di Indonesia sudah selesai dengan soal emansipasi dalam politik dan tidak pernah mempermasalahkan perempuan untuk mengikuti proses politik, dan sejak berdiri, Republik ini tidak pernah menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dalam semua proses bernegara. Intisari persamaan hak dan pengakuan atas keberadaan perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari bangunan politik bangsa.#LombaEsaiPolitik

Dwi siswanto

Suka berkumpul dengan orang-orang sekitar.

Peran Perempuan untuk Bangsa


Perempuan Bukan Komoditi

$
0
0

“Kami berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi lembaga penegak hukum”. Komitmen ini merupakan janji pertama presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kala pada sembilan agenda prioritas (angka 4) ihwal penegakan hukum yang tertuang dalam Nawacita (Kompas, 19/10/2015).

Sejak pertama kali dilantik sebagai pemimpin tertinggi negara Indonesia, ada berbagai macam agenda perubahan yang menjadi program utama dari Jokowi-JK termasuk salah satunya adalah agenda prioritas yang tertuang dalam Nawacita seperti yang telah disebutkan di atas. Di dalam agenda tersebut berisi berbagai komitmen dan janji Jokowi-JK yang pada dasarnya menjamin kesejahteraan semua warga negara Indonesia.

Namun, seiring dengan berjalannya roda pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi-JK yang kini telah memasuki usia satu tahun, apakah komitmen-komitmen atau janji-janji itu telah terbukti? Jawaban atas pertanyaan di atas dapat kita lihat sendiri dalam berbagai realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang terjadi saat ini.

Ada begitu banyak realitas yang melenceng dan tidak sejalan dengan apa yang telah menjadi komitmen mereka seperti kasus korupsi yang kian menggurita, ketidakadilan dan kekerasan semakin meraja lela, serta berbagai macam kasus lainnya yang mengancam kesejahteraan hidup warga negara Indonesia saat ini. Berbagai realitas ini dengan sendirinya memberikan jawaban kepada kita bahwa apa yang menjadi janji dan komitmen Jokowi-JK sesungguhnya belum tercapai.

Dapat dikatakan bahwa janji itu hanya sebatas mimpi yang mungkin takkkan pernah tercapai. Seperti yang telah disampaikan di awal tulisan ini bahwa salah satu agenda perubahan yang menjadi komitmen utama dari Jokowi-JK adalah penegakan hak asasi manusia (HAM).

Komitmen ini tentunya lahir dari keprihatinan mereka atas berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu dan juga yang kini marak terjadi di tengah masyarakat. Namun, lagi-lagi yang menjadi pertanyaannya adalah apakah komitmen penegakan HAM ini telah dijalankan dengan baik dalam artian bahwa semua kasus pelanggaran HAM telah diselesaikan dan dengan itu tidak ada lagi kasus pelanggaran HAM?

Tentu saja tidak. Buktinya, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat ini. Salah satu dari sekian banyak kasus itu adalah kasus perdagangan manusia atau human trafficking. Kasus ini telah menjadi fenomena aktual yang marak terjadi dalam kehidupan masyarakat saat ini khususnya di negara kita ini.

Keterungkapan kasus perdagangan manusia atau human trafficking yang menimpa 10 perempuan berusia 18-20 tahun asal Banyumas, Banjarnegara, dan Cilacap yang dipekerjakan sebagai wanita penghibur di Batam membuka mata bahwa fenomena itu sangat dekat dengan lingkungan kita (Suara Merdeka, 20/10/2015). Iming-iming memperbaiki kehidupan dengan imbalan gaji tinggi membuat mereka (dan orang tuanya) lupa bahaya yang mengancam keselamatan, harga diri, dan nyawa.

Kasus itu juga menambah daftar panjang laporan tingginya angka human trafficking di Indonesia. International Organization for Migration mencatat bahwa tahun 2014 sedikitnya 7.193 orang Indonesia, 82% di antaranya perempuan, menjadi korban. Migrant Care memperkirakan 43% buruh migran menjadi korban perdagangan manusia. Selanjutnya, Kemenlu AS merilis data saat ini Indonesia menduduki posisi tier 2.

Tier adalah peringkat suatu negara dalam upayanya memerangi perdagangan manusia. Meskipun hal itu lebih baik dibanding tahun 2001 yang menempati posisi tier 3, kondisi itu menunjukkan pemerintah kita belum bisa memenuhi standar minimal Trafficking Victims Protection Act (TVPA), atau regulasi proteksi korban perdagangan manusia.

Kendati realitasnya kita telah memiliki UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Suara Merdeka, 20/10/2015). Mencari Akar Masalah Dari setiap realitas yang ditampilkan di atas, kita dapat melihat bahwa kebanyakan yang menjadi korban perdagangan manusia adalah kaum perempuan.

Mereka begitu rentan terhadap berbagai jenis kasus kemanusiaan tak terkecuali perdangangan manusia. Sangat disayangkan bahwa dalam kasus ini, perempuan menjadi seperti barang atau komoditi yang layak untuk diperjualbelikan. Situasi ini membuat kita tentunya bertanya, mengapa perempuan begitu rentan menjadi korban perdagangan manusia? Sejauh yang penulis amati (mungkin juga kita semua), ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kasus perdangangan manusia khususnya kaum perempuan.

Pertama, budaya patriarki yang melekat erat dalam diri masyarakat hingga saat ini. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam budaya patriarki, kaum laki-laki mempunyai hak penuh sebagai kepala keluarga. Sedangkan kaum perempuan pada umumnya hanya menjadi pelayan yang setiap hari hanya bekerja di dapur.

Mereka bahkan tidak mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan (pandangan ini memang merupakan pandangan zaman dulu, namun bukan tidak mungkin masih melekat dalam masyarakat hingga saat ini). Dalam budaya patriaki kita juga mengenal adanya budaya belis. Dalam setiap upacara perkawinan, kaum lelaki wajib memberi belis kepada kaum perempuan.

Jumlah belis tergantung pada keputusan kaum perempuan. Intinya, kaum laki-laki harus membayar belis apabila ingin menikah dengan perempuan yang diinginkannya. Apabila diartikan secara lurus, budaya belis ini sesungguhnya mau merendahkan martabat kaum perempuan.

Dalam budaya belis, perempuan seolah-olah menjadi seperti barang dagangan. Oleh karena itu, tak jarang apabila dalam realitas hidup sehari-hari, kaum laki-laki menindas kaum perempuan. Bahkan, mereka menjadikan kaum perempuan yang notabene istri mereka sendiri seperti komoditi.

Hal itu terjadi karena mereka berpikir bahwa mereka telah membayar belis untuk mendapatkannya sehingga mereka bebas untuk memperlakukannya seturut kemauan mereka. Kedua, rendahnya kualitas pendidikan. Ini merupakan dampak lanjut dari budaya patriarki. Perempuan tidak mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan sebab pada akhirnya mereka akan tetap berada di dapur.

Hal ini membuat mereka mudah terjerumus dalam kasus perdagangan manusia sebab mereka tidak mempunyai pendidikan yang memadai tentang berbagai kasus kemanusiaan yang terjadi termasuk perdagangan manusia itu sendiri. Ketiga, ekonomi lemah. Kebanyakan orang yang menjadi korban perdangangan manusia adalah perempuan-perempuan yang dalam keluarga mengalami kesulitan ekonomi.

Situasi ekonomi lemah membuat perempuan rela melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Contoh konkrit yang dapat kita lihat saat ini adalah para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) Ilegal dan PSK (Pekerja Seks Komersial). Mengangkat Martabat Perempuan Masalah perdagangan perempuan tentunya harus diatasi. Untuk dapat mengatasi masalah ini, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah pola pikir masyarakat tentang budaya patriarki.

Budaya ini sebenarnya bukan bermaksud untuk merendahkan martabat kaum perempuan. Akan tetapi, budaya patriarki sesungguhnya mau menyatakan bahwa laki-laki mempunyai tanggung jawab penuh untuk melindungi dan menyejahterakan anggota keluarganya. Demikian juga halnya dengan budaya belis. Budaya belis sesungguhnya bukan untuk menjadikan perempuan sebagai komoditi.

Akan tetapi, budaya belis sesungguhnya bertujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan antara anggota keluarga. Dalam Kitab Suci dikisahkan bahwa perempuan pertama (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk manusia pertama (Adam). Kisah penciptaan ini sesungguhnya mau menyatakan bahwa perempuan diciptakan untuk selalu berada disamping laki-laki dan berada sejajar dengannya.

Keduanyapun memiliki kedudukan yang setara. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk memberikan perlindungan khusus terhadap kaum perempuan dan memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk tampil dalam berbagai aktivitas politik. Martabat perempuan harus diangkat dan dihargai. Perempuan punya harga diri. Perempuan bukan komoditi!! #Lomba Esai Kemanusiaan

eduardus only putra

saya lahir di Bali pada tanggal 14 Mei 1994. hobi saya adalah menulis. saya suka menulis esai atau artikel.

Perempuan Bukan Komoditi

Kesetaraan Gender untuk Parlemen yang Bersih

$
0
0
Gender: Ilustrasi kesetaraan gender dalam kancah politik, blogspot.com

Jumlah kasus korupsi yang menjerat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari tahun ke tahun nampaknya seperti mengurai benang kusut. Bahkan jumlah kasus tercatat selalu meningkat sehingga menyebabkan banyak anggota dewan harus mendekam di balik jeruji besi di masa jabatannya.

Berdasarkan data statistik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat sebanyak 42 anggota Dewan yang ditetapkan sebagai tersangka koruptor sejak 2010 hingga Maret 2016. Meski sudah tergolong banyak, namun rupanya jumlah ini belum seberapa jika dikalkulasikan dengan jumlah kasus korupsi anggota dewan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kementerian Dalam Negeri mencatat ada sebanyak 2.545 anggota DPRD Provinsi dan 431 anggota DPRD Kabupaten/Kota terjerat kasus korupsi sejak 2004 hingga 2014 lalu. Tentu jumlah yang mencapai ribuan ini sangat fantastik, belum lagi ditambah dengan banyaknya jumlah kerugian yang harus ditanggung Negara.

Jumlah anggota Dewan di Parlemen Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh kalangan laki-laki. Karena perempuan hanya mendapatkan 30 persen jatah kursi untuk menjadi dewan. Sebenarnya hal ini telah berlaku sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 pasal 55 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) DPR, DPD, dan DPRD. Dan hal ini diperkuat lagi pada pasal 56 ayat 2 yang menyebutkan bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1orang perempuan.

Meski kaum perempuan telah mendapatkan jatah kursi untuk berkarir di tingkat parlemen, namun agaknya kesetaraan gender di panggung politik Indonesia belum terasa dampaknya. Padahal jika mengamati perkembangan kualitas politisi perempuan saat ini, mereka sudah mulai berani menunjukkan kualitasnya.

Banyaknya jumlah anggota dewan laki-laki yang duduk di gedung parlemen dibanding dengan perempuan juga bisa menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya kasus korupsi di Negara ini. Bagaimana tidak? Dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi hampir semuanya dilakukan oleh anggota laki-laki.

Sebuah penelitian dunia oleh Frances Rosenbluth dari Yale University yang meneliti ke 84 Negara di dunia termasuk Indonesia membuktikan bahwa anggota dewan laki-laki lebih banyak mau menerima ‘sumbangan pribadi’ daripada perempuan. Dan hal inilah yang memicu banyaknya kasus korupsi di berbagai Negara lainnya.

Namun permasalahan seperti ini sudah dianggap sangak klasik oleh negara-negara Nordik yang menempati wilayah Eropa Timur dan Atlantika Utara. Hingga sangat klasiknya, Negara-negara di wilayah Nordik ini pun sudah mengantisipasinya dengan membuat perubahan kebijakan yang sangat luar biasa.

Pada parlemen mereka, jumlah politisi perempuan yang mendapatkan kesempatan berkarir di tingkat dewan hampir seimbang dengan jumlah laki-laki, yaitu sebanyak 41,6 persen. Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan Negara-negara Pasifik yang hanya mencapai 15,3 persen.

Survei membuktikan, Negara-negara yang telah menerapkan kebijakan ini telah berhasil mendapatkan kualitas baik di parlemennya. Tidak hanya jumlah kasus korupsi yang semakin sedikit, namun ide-ide kreatif dari kaum politisi perempuan juga banyak dikembangkan.

Hal ini juga diperkuat oleh Negara Rwanda (Afrika Tengah) yang menempatkan perempuan sebanyak 64 persen di kursi parlemen. Dan negara ini menjadi Negara juara dengan jumlah kasus korupsi paling sedikit dibanding dengan negara-negara tetangga. Padahal negara ini mempunyai kepadatan penduduk tertinggi di Afrika. 

Sepertinya keberanian pemerintahan mereka dalam membuat kebijakan tersebut perlu dijadikan contoh di Indonesia. Bahkan sangat mungkin jika diaplikasikan di Negara kita. Terlebih saat ini, sudah mulai banyak kader perempuan yang berhasil mendapat kepercayaan menempati jabatan penting di Pemerintahan. Banyak dari mereka, juga berhasil menunjukkan kualitas kerja serta komitmennya. Lantas kenapa ini tidak dikembangkan?

Sebagai contoh, Tri Rismaharini, Walikota Surabaya yang hingga saat ini masih diharapkan datang ke Jakarta untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta. Jutaan dukungan masyarakat Jakarta yang diberikan kepadanya jelas karena kualitas kerjanya yang dianggap baik.

Selain itu, beberapa tokoh politisi perempuan seperti Susi Pudjiastuti, yang masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, telah membuktikan gebrakan dan keberaniannya menjaga kelautan Indonesia, Sri Mulyani Menteri Keuangan Indonesia yang telah berkiprah hingga kancah Internasional, dan masih banyak politisi perempuan hebat lainnya.

Dengan pembuktian mereka tersebut, kenapa Indonesia tidak ingin memunculkan Tri Rismaharini, Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani lainnya? Padahal, potensi-potensi luar biasa seperti ini sangat dimungkinkan bisa ditemukan pada kader perempuan Indonesia lainnya. Atau bahkan, contoh sepak terjang mereka bisa ditularkan ke perempuan-perempuan politisi lainnya.

Pemerintah seharusnya bisa lebih peka dengan perkembangan kualitas para politisi perempuan ini. Mereka telah jelas mampu membuktikan kualitas kerjanya yang tidak kalah dengan politisi laki-laki. Meskipun pemerintah telah berupaya melakukan kesetaraan gender dalam representasi politik, namun kuota untuk mempercepat kesetaraan representasional perempuan masih pada angka rendah.

Dan inilah yang sering menjadi hambatan para politisi perempuan untuk bisa berkontribusi lebih dalam pemerintahan.

Jika pemerintah Indonesia berani membuat kebijakan menambah jumlah porsi perempuan di parlemen, maka Indonesia akan benar-banar menjadi Negara baru. Dan upaya ini juga bisa menjadi sebuah kesempatan besar bagi para perempuan Indonesia yang ingin berkarir lebih di kancah parlemen.

Tidak hanya itu, banyaknya survei yang menunjukkan bahwa politisi perempuan lebih mau bekerja dengan hati dan mau mengandalkan ‘kebersihan’ dalam bekerja akan menjadi sebuah harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengurangi jumlah koruptor di kalangan para dewan. Dan tentu ini akan menjadi sebuah gebrakan bagus yang hingga saat ini masih diupayakan oleh Negara-negara berkembang lainnya.

Namun, rencana besar ini juga perlu mendapatkan dukungan penuh dari pihak keluarga. Karena komitmen keluarga inilah yang akan menjadi penentu para perempuan untuk bisa berkarir lebih di dunia politik. Dengan harapan besar ini, maka sangat sependapat dengan Michelle Bachelet, Presiden Chili yang menyatakan “When one woman is a leader, it changes her. When more women are leaders, it changes politics and policies.”

Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya perlu lebih berani memberikan kepercayaan kepada perempuan untuk ikut membantu membangun pemerintahan di Indonesia. Sehingga image panggung politik yang selama ini masih jauh dari kata layak dan baik, harapannya bisa diperbaiki dengan bertambahnya jumlah kesempatan para perempuan yang ingin berkarir lebih di dunia politik nasional. 

#LombaEsaiPolitik

Arina Faila Saufa

Lahir di Kudus, 13 Februari 1994. Saya mahasiswa ilmu perpustakaan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya cukup tertarik pada dunia menulis, terutama dalam bidang politik, perempuan, dan bidang keilmuan saya.

Kesetaraan Gender untuk Parlemen yang Bersih

Antara Beyonce, Perempuan, dan Politik

$
0
0
Beyonce dalam video 'Formation' http://www.independent.co.uk/arts-entertainment/music/features/beyonces-lemonade-film-and-the-uneven-history-of-the-visual-album-a7001616.html

Penampilan Beyonce di panggung penghargaan MTV Video Music Award (VMA) pada tanggal 29 Agustus (atau 30 Agustus di Indonesia) lalu benar-benar memukau banyak orang. Penampilannya yang memakan waktu lebih dari 16 menit dengan membawakan 4 buah lagu dari album terbarunya “Lemonade”, membuat acara penghargaan itu lebih menarik. Album yang dirilis pada tahun 2016 juga berhasil memboyong 6 moonmen (sebutan untuk piala MTV VMA) pada hari itu.

Untuk album “Lemonade” sendiri, saya belum mendengar seluruh isinya karena saya belum memiliki albumnya, tetapi lagu dan video dari single pertamanya yang berjudul “Formation” (yang saya harus dengar melalui website Beyonce), benar-benar menarik perhatian saya, meskipun lagu itu didedikasikan untuk perempuan kulit hitam, tapi saya merasa lagu ini buat siapa saja, termasuk saya seorang perempuan Indonesia.

Dalam video ini menunjukkan kepedulian Beyonce dengan isu yang hangat yaitu sosial-politik dan tentu saja girl power , tema yang bukan hal baru bagi Beyonce karena dia mempunyai beberapa single seperti “Run The World (Girls)” dan “Pretty Hurts”, tetapi untuk lagu dan video “Formation”, tema politik yang diusung membuat lagu ini, sekaligus album “Lemonade” menjadi berbeda dan spesial.

Selama ini Beyonce sering dikritik karena diam dengan masalah politik dan sosial mengenai masalah rasial di Amerika Serikat. Tetapi anggapan itu mungkin berubah setelah Beyonce merilis video “Formation”, video itu seolah menegaskan bahwa dirinya juga peduli dengan masalah politik dan sosial yang dialami oleh orang kulit hitam.

Dalam video itu, Ia memakai penari latar yang semuanya perempuan berkulit hitam, ia juga memakai tulisan “Stop Shooting Us” (berhenti menembaki kami) yang menunjukkan bahwa dirinya lelah dengan masalah penembakan yang sering terjadi antara polisi dan orang berkulit hitam di sana.

Menurut interpretasi saya, dia mengajak perempuan (terutama perempuan kulit hitam) untuk lebih peka dan paham dengan masalah politik sehingga perempuan bisa memahami politik, merapatkan barisan, dan bersatu menghadapi masalah yang terjadi di Amerika Serikat sekarang.

Setelah album visualnya rilis secara eksklusif di sebuah stasiun televisi, publik menjadi tahu kalau tidak hanya satu lagu saja yang berbau politik, tetapi satu albumnya nyaris berisi pandangan politik Beyonce. Satu hal yang sangat jarang dilakukan oleh penyanyi perempuan.

Lalu bagaimana di Indonesia?, perempuan di tanah air sendiri juga memiliki sedikit kepedulian mengenai perkembangan politik di tanah air. Tidak sedikit yang terang-terangan mengaku bahwa dirinya tidak mengerti dan masa bodo dengan keadaan politik serta nasib politik di Indonesia seolah mereka alergi dengan kata politik, meskipun pada tahun 2001, Indonesia memiliki Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden perempuan pertama RI. Sungguh sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia sebelum tahun 1965.

Rakyat Indonesia sudah mengenal nama-nama tokoh perempuan Indonesia yang berkecimpung di dunia politik semenjak era Hindu-Buddha masuk ke Indonesia, seperti Tribhuwana Tunggadewi yang pernah menjadi pemimpin Majapahit, Ratu Shima dari Kalingga, atau dari era kerajaan Islam, Samudera Pasai mempunyai Sultanah Nahsariyah.

Pada masa kolonial, tokoh-tokoh perempuan pemberani seperti Martha Tiahahu, Tjut Moetia, Tjut Njak Dhien memiliki keberanian untuk terjun langsung untuk membela kaumnya dari ketidakadilan. Dalam persiapan kemerdekaan dan setelah kemerdekaan, muncul nama seperti S.K. Trimurti dan Rasuna Said yang semakin menunjukkan eksistensi perempuan dalam berpolitik, dan satu-satunya organisasi perempuan terbesar Indonesia (dan kemudian dilarang), Gerwani, memasuki ranah politik pada awal tahun 1960.

Kembali ke tahun 1928, banyak organisasi perempuan yang bermunculan, seperti Aisiyah, Wanita Oetomo, dan Wanita Tamansiswa. Organisasi-organisasi perempuan pada waktu itu berfokus kepada  masalah feminis, seperti pendidikan bagi perempuan, nasib anak-anak yatim, masalah perkawinan paksa, serta perkawinan anak-anak, dan tidak membahas politik karena politik identik dengan maskulinitas.

Pada 22 Desember 1928, organisasi-organisasi perempuan berhasil mengadakan kongres perempuan pertama (setelah perempuan ikut pada hari pendeklarasian Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928). Setelah kongres pertama, organisasi-organisasi perempuan masih melakukan kongres hingga kedatangan Jepang yang kemudian menghapus keberadaan organisasi-organisasi tersebut.

Setelah Indonesia merdeka, beberapa organisasi perempuan kembali muncul dan vokal dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, salah satu organisasi yang paling menonjol adalah Gerwis, yang kemudian berganti nama menjadi Gerwani. Meskipun pada awalnya mereka hanya mengurusi masalah feminisme seperti pemberatasan angka buta huruf di kalangan perempuan, bantuan hokum, dan masalah penyetaraan jender.

Pada tahun 1960, Gerwani yang menjadi organisasi perempuan terbesar dan paling berpengaruh, mulai berani menyentuh politik, setelah PKI mendekati Gerwani dalam rangka menarik massa perempuan. Tetapi kiprah mereka dalam berpolitik terhenti setelah pecahnya peristiwa 1965, organisasi mereka dibekukan dan dilarang, para anggotanya ditahan, serta mengalami kekerasan baik fisik maupun mental.

Imej Gerwani diubah menjadi hancur dan rezim yang berkuasa selama 32 tahun dengan memakai nama mereka untuk menakut-nakuti demi membentuk imej “perempuan ideal” yang sesuai dengan pandangan Orde Baru, yaitu berada di rumah, tidak berorganisasi, dan tentunya jauh dari politik. Akibatnya, perempuan Indonesia yang terdegradasi pemikirannya menjadi tidak mau ikut campur soal politik tanah air.

Saya sendiri sebelumnya adalah seseorang yang berusaha menjauhi politik karena saya lelah dengan apa yang saya lihat di televisi dan baca di Koran. Tetapi Bapak saya -yang mencintai politik- mengingatkan bahwa saya tidak bisa meninggalkan politik karena dalam kehidupan sehari-hari pun manusia berpolitik, misalnya saat manusia berteman atau saat mencari teman, karena pada dasarnya manusia memakai taktik dalam hidupnya, dan itulah yang dinamakan politik.

Ketika saya berada di bangku kuliah, tuntutan dunia kampus yang mengharuskan untuk tetap up to date dengan masalah politik dan membuat saya memahaminya meskipun saya tidak aktif secara politik. Tapi lagi-lagi saya berharap bahwa saya tidak memahami politik, karena teman-teman saya sedikit sekali yang mau diajak berbicara mengenai politik, baik perempuan maupun laki-laki. Sebenarnya dalam bicara politik, kita pasti akan membahas sosial, hukum, dan masalah lainnya.

Bagi perempuan Indonesia yang mengalami “alergi” politik, menganggap  kalau politik hanya milik kaum elitis atau laki-laki saja, sebagaian mengatakan bahwa politik memiliki banyak kebohongan, sisanya memilih kata tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai politik. Padahal kebutaan perempuan terhadap politik membuat perempuan rentan menghadapi “penipuan” politik.

Perempuan kerap diiming-imingi akan mendapatkan hak mereka, namun harus dengan syarat harus mendukung mereka dalam mendapatkan kekuasaan. Namun setelah berkuasa, orang-orang yang memakai suara-suara perempuan akan lupa dengan janji-janji mereka sedangkan kaum perempuan juga tidak mendapatkan hak-haknya.

Jika perempuan memahami politik, perempuan akan mendapatkan banyak keuntungan, seperti bisa memenuhi kuota 30% kursi di DPR, menjadi pejabat tinggi, dan tentunya leluasa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, atau minimal memahami situasi politik di tanah air yang tentunya menambah wawasan.

Perempuan Indonesia harusnya belajar dari tragedi besar di negara ini seperti Peristiwa 1965 dan Tragedi Mei 1998, yang membawa pengaruh besar kepada perempuan, entah menjadi korban, atau kehilangan anggota keluarga, mata pencaharian, hingga tempat tinggal.

Bila banyak perempuan mengerti politik, maka bisa mencegah oknum-oknum yang tidak bertangung jawab untuk menguasai jabatan penting dan tentunya bisa mengurangi angka korupsi. Dengan memahami politik, perempuan tentu tidak hanya sekedar memilih hanya karena mereka terkenal, atau mendapatkan uang saja. Karena sejatinya, ketidak tahuan kita-lah membuat negara ini semakin terjerumus.

Tidak ada kata terlambat untuk mengetahui politik karena memang sudah hak dan kewajiban perempuan untuk melek politik. Besarnya akses untuk mendapatkan pengetahuan politik seperti buku dan internet, seharusnya membuat perempuan bisa memahami politik lebih banyak. Jika seorang Beyonce saja “terlambat” dalam menunjukkan sisi politiknya dan bisa membuat perubahan, lantas mengapa kita perempuan Indonesia mau terus-terusan mengalami “alergi” politik?, ingat kata Beyonce:

“Okay, ladies, now let’s get in formation, cause I slay”

Karena memahami politik bukan berarti enggak keren kok, malah menunjukkan kalau kita juga memiliki wawasan luas dan tentu saja, makin keren.

Untuk Beyonce Knowles, selamat atas kemenanganmu.

#LombaEsaiPolitik

Rendrawati

seorang penggila buku dan pecinta lipstik yang sedang kuliah di jurusan sejarah, Universitas Diponegoro.

Antara Beyonce, Perempuan, dan Politik

Partisipasi Politik Perempuan dalam Upaya Mewujudkan Perdamaian Aceh

$
0
0
sumber: diliputnews.com

Konflik berkepanjangan di Aceh bermula dari pemberontakan yang dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dengan tujuan untuk memperoleh hak-hak Aceh yang diabaikan oleh pemerintah pusat dan menginginkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia antara 1976 hingga tahun 2005. Konflik yang berdurasi lebih kurang 30 tahun lamanya sangat berdampak terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Aceh.

Salah satu dampak konflik yang terjadi di tanah Serambi Mekkah ini adalah diskriminasi perempuan yang merupakan pusat dari pelampiasan konflik di manapun termasuk di Aceh. Diskriminasi itu salah satunya adalah hak dan peran perempuan dalam mengambil keputusan politik sebagai kesetaraan gender dalam ruang lingkup konflik Aceh sangat diabaikan oleh para pemegang kekuasaan. Karena perang atau konflik menyediakan ruang definisi untuk perspektif patriarkis ketika berhadapan dengan perempuan.

Realitas

Perempuan berdasarkan jumlahnya mencakup separuh dari keseluruhan jumlah anggota masyarakat di segala tempat di dunia. Dimana Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jenis kelamin yang belum/tidak pernah sekolah untuk laki-laki 3,04 persen sedangkan perempuan 7,28 persen, jumlah jenis kelamin untuk tingkat SD/MI laki-laki 7,78 persen dan perempuan 7,17 persen, untuk tingkat SMP/MTs laki-laki 5,82 pesen dan perempuan 5,76.

Untuk tingkat SMU/SMK/MA laki-laki 4,13 persen dan perempuan 4,02 persen, dan untuk tingkat Diploma I sampai dengan Universitas laki-laki 2,63 persen dan perempuan 2,71 persen, sedangkan jumlah yang masih bersekolah laki-laki 20,41 persen dan perempuan 19,67 dan yang tidak bersekolah lagi laki-laki 76,55 persen dan perempuan 73,05 persen.  

Data di atas menunjukkan bahwa perempuan seharusnya tempat pengambilan separuh solusi dari semua persoalan yang muncul di masyarakat. Partisipasi perempuan menjadi paling penting untuk memastikan bahwa perempuan sebagai kelompok yang dominan dalam masyarakat tidak ditinggalkan dan dirugikan dalam pembangunan perdamaian dan transisi yang tengah berlangsung.

Menurut Lian Golali (2004)  partisipasi politik perempuan merupakan agen perdamaian terbaik karena mereka memiliki kemampuan untuk melihat lebih jauh fakta-fakta historis mengenai konflik dan memandangnya dari perspektif berbasis komunitas bukan minoritas.

Sebagai contoh ia mencatat bahwa dalam konflik Poso para perempuan saling memberikan peringatan ketika terjadi bahaya, bahkan ketika suami dan anak-anak mereka tengah bertikai dalam posisi yang berseberangan seorang perempuan (ibu/istri) dapat bertindak secara netral, adil dan bukan sepihak.

Dalam proses perdamaian di Aceh, asessment yang pernah dilakukan oleh Comflict Management Initiative (CMI) UNIFEM, dan Center for Community Development and Education (CCDE) menemukan minimnya keterlibatan perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam perundingan-perundingan politik tidak dinilai sebagai representasi dari perempuan sebagai bagian mayoritas kelompok melainkan sebagai individu minoritas saja. Hal ini dibuktikan dengan partisipasi perempuan di tingkat legislatif secara rata-rata hanya 3 persen yang menempati keanggotaan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat kabupaten.

Untuk tingkat eksekutif provinsi, saat ini tercatat hanya ada satu perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan setingkat kepala dinas. Sementara itu ditingkat yudikatif, persentase keterwakilan perempuan rata-rata adalah 11.99 persen saja.

Kondisi yang kurang keterlibatan perempuan juga tampak pada implementasi kesepatan perdamaian, hal ini didukung dengan tidak adanya kesempatan atau peluang bagi perempuan untuk terlibat maupun dilibatkan.

Pada pasca penanda tanganan damai, peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik di Aceh tertuang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), termasuk terlibat dalam penyusunan UUPA itu sendiri. Namun masih bisa dihitung oleh jari partisipasi perempuan Aceh dalam keterlibatannya untuk mengambil keputusan politik di Aceh.

Realitas masyarakat Aceh menganggap sosok seorang perempuan hanya bisa mengurusi urusan domestik (memasak, mencuci dan segala urusan yang berada di rumah), padahal perempuan adalah salah satu organ dari kelompok masyarakat manusia yang secara keseluruhan berfungsi fundamental dalam kelompoknya agar masyarakat berfungsi dengan baik.

Apabila salah satu organ itu rusak maka akan berakibat pada organ lain, hal ini dapat di analogikan sebagai seorang perempuan yang tidak sama sekali berfungsi dalam kehidupan politik sebagai pengambil keputusan, maka fungsi bersama dalam masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan implementasi UUPA tentang keterlibatan perempuan dalam rana publik hanya mimpi saja.

Harapan

Seharusnya ketika sebuah konflik dalam suatu wilayah teritori politik berakhir, maka hal utama yang harus ditempatkan untuk memastikan damai terbangun sekaligus menjadi upaya pencegahan konflik adalah mendukung upaya-upaya demokratisasi di semua khalayak masyarakat dan penguatan kapasitas bagi institusi demokrasi perempuan.

Demokrasi perempuan dalam transisi politik bekas konflik adalah satu-satunya solusi model pemerintahan yang memberikan ruang bagi perempuan untuk membuat keputusan politik secara adil berdasarkan gender, partisipasi dalam kebijakan pemerintahan, legitimasi popular, dan adanya kesetaraan.

Institusi dan proses-proses demokrasi merepresentasikan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, dan ini membantu pengaturan akan banyaknya kepentingan yang saling berkompetisi dengan cara kompromi-kompromi politik yang berdasarkan kesetaraan gender. Hal ini sangat membantu meminimalisir potensi kemunculan perbedaan dan pembedaan secara gender demi kepentingan mayotitas masyarakat yang nantinya akan berujung pada konflik dan kekerasan.

Disinilah seharusnya partisipasi perempuan menemukan konteksnya secara demokrasi yang menjamin terbukanya ruang bagi penglibatan perempuan di berbagai proses dan institusi demokrasi.

Partisipasi perempuan dalam politik sangat dibutuhkan demi kelanjutan perdamaian Aceh yang berlandaskan pada kesejahteraan masyarakat, karena mencampurkan kepentingan laki-laki dan perempuan serta perspektif perempuan bisa diartikulasikan bersama dalam ranah publik yang dikukuhkan oleh kebijakan politik.

Dalam hal ini, perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan politik di berbagai institusi tidak hanya bertindak sebagai kurir yang menyampaikan pesan, akan tetapi mereka sendirilah yang menjadi pesan tersebut. Ini sekaligus juga menghindari upaya sistematis yang meminggirkan peranan perempuan Aceh dalam institusi pemerintahan.

Solusi

Tiba saatnya Pemerintah Aceh menerapkan demokrasi partisipasi perempuan dan mengintip sejarah kepemimpinan perempuan Aceh dalam politik, yang ditunjukan dengan peran sentral sejumlah tokoh perempuan dalam politik formal di wilayah ini.

Jauh sebelum berdirinya kerajaan Darussalam, kepemimpinan kerajaan Aceh di pegang oleh sejumlah perempuan seperti Puteri Lindung Bulan yang memerintah kerajaan Benua/Teuming pada tahun 1333-1398 dan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu yang memimpin kerajaan Islam Samudra/Pase pada tahun 1400-1428.

Pada era berikutnya, yakni masa kerajaan Aceh Darussalam, perempuan diberi peran cukup besar dalam angkatan perang kerajaan. Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda, kerajaan Darussalam dipimpin oleh beberapa ratu selama 59 tahun, yakni Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin memerintah pada tahun 1675-1678, Sulthanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin yang memerintah pada tahun 1678-1688 dan terakhir adalah Sulthanah Sri Ratu Kamalat Syah yang memerintah pada tahun 1688-1699.

Para pemimpin perempuan diatas mempunyai kemampuan memimpin dan memerintah juga berhasil memberikan perlindungan hukum pada perempuan. Pada masa imprerialisme perlawanannya terhadap Belanda, tercatat pula keterlibatan pemimpin perempuan seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren dan sebagainya.

Tentu saja jika mengintip sejarah kepemimpinan perempuan di Aceh pada masa lampau dapat dijadikan referensi bagi pemerintah Aceh untuk lebih intensif dalam melibatkan perempuan, walaupun keberadaan perempuan-perempuan ini tentu saja harus juga dipahami dalam konteks di masa mereka masing-masing

Termasuk sistem dan proses politik seperti apa yang waktu itu berlaku sehingga memungkinkan perempuan berpartisipasi aktif sekaligus juga proses politik seperti apa yang kemudian memutarkan balikan posisi sentral perempuan ke titik terendah, sehingga untuk konteks hari ini, perempuan butuh dilibatkan kembali dalam ruang politik di Aceh.

Jadi, pemerintah Aceh seharusnya menerapkan lebih intensif  Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), dimana salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pendirian Partai Lokal (Parlok) di Aceh adalah dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Dan penerapan demokrasi perempuan dalam partisipasinya membangun masyarakat yang sejahtera diatas kepentingan mayoritas adalah wajib, serta solusi yang harus diambil oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan perdamaian Aceh melalui partisipasi perempuan dalam politik adalah memberikan kesempatan, keadilan dan kebebasan kepada perempuan untuk dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan politik.

Riki Ramdani

Nama saya Riki Ramdani, lahir di Aceh 1994. Sekarang saya sedang menekuni profesi sebagai penulis, pengalaman saya menulis ketika menduduki bangku kuliah sering mengikuti LKTI dan alhamdulillah empat kali mendapatkan penghargaan sebagai juara Karya Tulis Ilmiah baik regional maupun nasional. Saya alumni Universitas Syiah Kuala dengan jurusan Ilmu Sosiologi, 24 Agustus 2016 kemarin saya mendapatkan gelar S.Sos dengan predikat Cum Laude.

Partisipasi Politik Perempuan dalam Upaya Mewujudkan Perdamaian Aceh

Sesuatu yang Tidak Membunuhmu, Membuatmu Lebih Kuat

$
0
0
https://www.aclu.org/issues/hiv

“Hari itu seperti kiamat bagi saya”

Seumur hidup, Mentari (bukan nama sebenarnya) takkan pernah melupakan kejadian di malam itu. Sebuah malam di bulan Maret 2011 yang mengubah hidupnya untuk selamanya. Kelana (bukan nama sebenarnya), suami Mentari harus dibawa ke rumah sakit malam itu juga lantaran tak kuasa lagi menahan sakit yang mendera tubuhnya. Ia sudah tak sanggup lagi berjalan. Badannya yang dahulu tinggi besar kini terkulai lemas di atas pembaringan. Kulitnya menggelambir karena lapisan lemak dan jaringan otot yang dulu membentuk badannya sudah tiada lagi.

Wahidin Sudirohusodo menjadi rumah sakit yang dipilih sebab dianggap punya fasilitas paling memadai. Ditemani mertua dan ketiga anaknya, ia berangkat dari rumahnya di kawasan Maccini menuju Tamalanrea. Malam sudah sangat larut saat Mentari sampai di rumah sakit.

Perasaannya sudah tak keruan malam itu. Ia tak tahu persis penyakit apa yang tengah menggerogoti suaminya. Yang ia tahu, suaminya memang punya penyakit diabetes mellitus. Tapi itu pun diturunkan secara genetik dari orang tuanya. Selain itu seingatnya tak ada penyakit lain. Namun meski telah berobat kesana kemari, mulai dari medis hingga alternatif, tak jua membuahkan hasil. Justru kondisinya semakin hari semakin memburuk.

Malam itu juga, suaminya langsung ditangani oleh dokter. Tapi ia heran, sewaktu mendorong suaminya yang terbaring diatas brancard sepanjang lorong rumah sakit, hampir semua petugas yang kebetulan berpapasan menatap suaminya dengan tatapan aneh. Seolah ada yang janggal. Di dalam ruang perawatan Mentari lebih heran lagi. Bahkan emosinya hampir meledak saat mendengar pertanyaan perawat.

“Apa pekerjaan suaminya Bu?” Tanya perawat tersebut.

Batin Mentari serasa teriris. Mengapa justru pekerjaannya yang ditanyakan? Mengapa bukan penyakit atau yang berhubungan dengan itu yang ditanyakan? Apa maksud dari semua ini?

Pun ketika dokter datang dan tuntas melakukan pemeriksaan awal, tak satu pun penjelasan mengenai penyakit yang ia terima. Justru suaminya langsung dipindahkan ke gedung lain di bagian belakang rumah sakit yang belakangan ia tahu bernama Infection Center. Dokter lalu mengambil sampel darah Kelana untuk diuji di laboratorium. Kata dokter, hasilnya baru bisa diketahui esok hari.

Keesokan harinya, dokter memanggil Mentari. Diiringi permohonan maaf, dokter mengatakan bahwa hasil tes menunjukkan Kelana positif terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan sudah dalam kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Sistem imun tubuhnya sudah amat lemah.

CD4 atau sel darah putih penanda sistem imun sudah pada level 7 dimana pada kondisi normal diatas 1000. Seketika langit terasa runtuh. Mentari tak sanggup untuk percaya. Terjawab sudah pertanyaan mengapa perawat semalam bertanya pekerjaan suaminya. Itu pula yang menjadi alasan mengapa sepanjang koridor, suaminya dipandang ‘aneh’. Mereka sudah curiga suaminya tertular HIV saat melihat kondisinya.

Tapi badai musibah masih belum berlalu. Dokter lalu menganjurkan agar ia juga dites untuk mengetahui apakah ia juga tertular. Menurut penjelasan dokter, jika suami positif, besar kemungkinan istrinya juga tertular. Pasalnya virus HIV juga dapat menular melalui hubungan seks. Ia setuju. Hari itu juga hasil tes keluar dan hasilnya sesuai perkiraan dokter. Hanya saja karena CD4-nya masih di kisaran 495, gejala-gejala HIV/AIDS masih belum nampak.

“Hari itu seperti kiamat bagi saya,” kata perempuan berhijab ini. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, Mentari masih sulit percaya atas musibah yang menimpanya. Ia mengingat, sejak hari itu sampai seminggu kemudian ia tak sekalipun meneteskan air mata. Bukan karena tegar. Tapi karena merasa jiwanya telah hilang. Air mata sudah tak perlu lagi mengalir. Sebulan kemudian, sekitar akhir April, suaminya menghembuskan nafas terakhir.

***

Enam bulan usai divonis positif HIV, Mentari berusaha menata kembali hidupnya. Namun ia belum berani membuka statusnya ke orang lain kecuali kepada ibu kandung, mertua dan anak-anaknya. Bahkan ayah kandungnya hingga meninggal tak pernah tahu status Mentari.

Agar tak selalu memikirkan musibah yang menimpanya, ia menyibukkan diri dengan bergabung di komunitas ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Ia tertarik untuk bergabung karena melihat orang-orang yang senasib dengannya tetap terlihat sehat. Namun di akhir tahun 2011, kondisinya mulai drop.

Sistem kekebalan tubuhnya sudah mulai tak sanggup melawan keganasan virus HIV. Kulit disekitar kukunya mulai menghitam. Begitu pula dengan bagian bawah matanya. Bintik-bintik berair mulai menjalar disekujur tubuhnya.  Berat badannya melorot drastis hingga 49 kilogram dari sebelumnya 60 kilogram.

Bulan Mei 2012 kondisinya sudah amat memprihatinkan. Ia sudah tak sanggup lagi hadir di pertemuan komunitas. Hingga saat memeriksakan diri, CD4-nya sudah di angka 80. Ia pun dianjurkan menjalani terapi ARV (Anti Retroviral). ARV merupakan obat yang dapat menghambat perkembangan virus HIV.

Selama menjalani terapi ini, ODHA akan merasakan efek samping seperti muntah darah dan  radang lambung. Dua bulan usai terapi, CD4 Mentari melonjak di atas 500. Ia pun mulai menjalani pola hidup sehat seperti makan teratur, mengonsumsi protein dan banyak minum air putih. Berkat semangatnya yang besar, kini CD4 Mentari sudah diatas 700. Angka yang cukup baik untuk seorang ODHA.

Sewaktu bertutur, wanita berdarah Bone ini tak bisa menutupi rasa bahagianya  saat mengenang masa-masa indah bersama suaminya dulu. Sebagai seorang musisi, Kelana cukup dikenal di eranya. Bahkan pada tahun 2001, Kelana memboyong seluruh keluarganya ke Jakarta karena karir musiknya di sana cukup cerah.

Kata Mentari, beberapa musisi yang saat ini sukses, sewaktu meniti karir dulu sering berlatih musik dan mengutak-atik lagu di rumahnya di kawasan Bintaro. Bahkan, beberapa lagu Kelana dibeli oleh label ternama dan hingga sekarang masih sering diputar.

Namun, karir sebagai musisi itu pula lah yang menjerumuskan Kelana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kalangan musisi, narkoba menjadi sarana pergaulan. Salah satu yang sedang tren kala itu adalah putaw. Cara penggunaan putaw yang menggunakan jarum suntik secara bergantian merupakan salah satu penyebab penularan virus HIV yang paling sering terjadi.

Menurut analisa dokter, Kelana tertular virus pada tahun 2006 dan gejalanya baru muncul di tahun 2011. Hal ini sesuai dengan teori penularan HIV dimana status penderita baru diketahui 5 tahun setelah virus menginfeksi apabila tertular lewat jarum suntik atau tranfusi darah.

Biasanya, penderita tak tahu bahwa virus HIV sudah menginfeksi dirinya. Begitu pula orang disekitarnya. Mereka hanya menganggap gejala yang muncul merupakan penyakit biasa sehingga tak cepat ditangani. Seperti itulah yang dialami Mentari. Setelah hartanya habis untuk pengobatan dan sampai pada taraf putus asa, barulah diketahui bahwa suaminya mengidap HIV. Dari sudut pandang psikologi, apabila seorang yang divonis HIV tak segera di tolong secara psikis akibatnya bisa fatal.

Mentari tak sendiri. Bintang (bukan nama sebenarnya) juga punya kisah yang hampir serupa dengan Mentari. Perempuan berparas ayu ini tahu dirinya positif HIV pada tahun 2007 lalu. Bintang kini aktif di Komunitas Dampingan Sebaya (KDS) bersama dengan Mentari.

Komunitas ini aktif membantu para ODHA utamanya  yang baru mengetahui statusnya. “Saya merasa diluar sana masih banyak teman-teman yang butuh dukungan,” kata Bintang saat ditanya alasannya aktif di KDS. Sejak setahun lalu, ia juga resmi ditunjuk sebagai ketua. Di komunitasnya, ada 20 orang yang aktif dimana 80 persennya merupakan ODHA pasif.

Titin Chomariah S.Psi.,M.Psi., seorang psikolog yang pernah menangani kasus HIV/AIDS mengatakan bahwa seorang ODHA akan mengalami gangguan traumatik atau stress disorder saat mengetahui statusnya. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa sampai di tahap depresi.

Utamanya bila ia merasa diasingkan oleh lingkungannya. “Semakin ditolak oleh lingkungan, kondisi mereka akan semakin parah,” kata Titin. Oleh karena itu, mereka membutuhkan dukungan dari orang terdekat dan lingkungan yang bisa menerima mereka. Dan karena jumlah ODHA semakin hari semakin meningkat, maka pemerintah punya tanggung jawab untuk membantu mereka.

Kini setelah empat tahun berlalu, Mentari sudah bisa enjoy dengan keadaannya. Tubuhnya pun kini lebih sehat. Bahkan di umur yang sudah menyentuh angka 43, ia masih terlihat awet muda dan segar bugar. “Yang penting pola makan dijaga dan tak terlalu larut memikirkan masalah ini,” katanya. Karena kondisinya itu pula lah, ia kerap dijadikan sebagai role model bagi sesama ODHA. Ia juga beberapa kali diminta memberi testimoni (mengungkap status) meski masih dalam lingkup terbatas.

Mentari masih belum berani membuka status di publik, termasuk di lingkungan tempat tinggalnya. Bukan karena ia takut dijauhi, tapi karena memikirkan nasib anak-anaknya. Meski sesungguhnya, ketiga anaknya sama sekali tak keberatan. “Biar orang-orang tahu, kalau kami tidur bersama ODHA dan tetap tidak tertular,” kata Mentari menirukan ucapan anak-anaknya.

Ia mengakui, bahwa masih banyak masyarakat yang belum paham tentang penularan virus HIV sehingga mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif bahkan oleh tenaga kesehatan sekalipun. Mentari berharap agar semakin banyak yang paham bahwa virus HIV tak semudah itu menular sehingga tak perlu khawatir untuk berinteraksi dengan mereka. Karena mereka pun pada dasarnya ingin berbaur dan berbagi dengan orang lain.

Di sisa umurnya, ODHA seperti Mentari dan Bintang hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka. Tentang perjuangan, ketabahan, dan keberanian menghadapi hidup. Seperti kata Friedrich Nietzsche, filsuf ternama asal Jerman, “Sesuatu yang tidak membunuhmu, membuatmu lebih kuat.”

abdul rahman

penggemar (hampir) fanatik Manchester United. penyuka tulisan berkualitas. bercita-cita menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya dan suami yang menyenangkan untuk istrinya.

Sesuatu yang Tidak Membunuhmu, Membuatmu Lebih Kuat

Angkara Pembelit Femina

$
0
0
Sumber: www.thetimes.co.uk

"Wanita itu racun dunia." ucap salah seorang kerabat saya yang baru saja menikah. Dia bercerita gamblang tentang topik seputar bahtera rumah tangga kepada kami, seisi grup penikmat sastra dan dialektika yang tergabung sejak tahun 2014 secara acak. Dia juga sempat memberikan pesan penting kepada saya, dengan diselingi tawa renyahnya kala itu, "Kamu akan dapat inspirasi malam ini! Tentang kaum-mu itu!"

Saya tidak pernah tahu bahwa pertemuan singkat kami sekitar delapan bulan lalu yang teranulir tanpa agenda itu, akhirnya benar-benar menjadi poros pemikiran saya dalam menulis artikel ini sekarang. Ternyata benar, bahwa isu seputar "wanita/femina" maupun feminisme selalu menjadi sebuah pilihan topik yang menarik sekaligus menggelitik di waktu bersamaan.

Melihat wanita di hampir seluruh pelosok dunia yang semakin lugas dalam berkiprah hingga aliran feminisme yang semakin berkembang di banyak negara (penyempurnaan dari fenomena the third wave feminism), tentu setiap wanita akan bersorak atas dominasi mentah itu.

Namun jika ditilik secara lebih mendetil, kedua hal tersebut hanyalah terkategorisasi sebagai genus dari berbagai isu terkini yang sedang marak terjadi. Atau bahkan tidak terjadi sekarang, tapi sudah sejak lama, atau bisa juga baru berpotensi terjadi dalam waktu dekat. 

Contoh riilnya dapat kita saksikan melalui berbagai media, seperti kasus Gigi Hadid, seorang model terkemuka yang dipuji sekian banyak pers karena berani melakukan aksi pembelaan diri atas tindakan fansnya yang tidak senonoh di Milan, pembebanan kewajiban dan agenda resmi kerajaan Swedia kepada Putri Mahkota Victoria, yang lebih dominan berkuasa dibanding adik lelakinya, Pangeran Carl Philip, atau pun rencana pentahbisan Ratu masa depan Belanda, Putri Catharina-Amalia, dan semacamnya. Dalam pandangan global, dominasi wanita yang begitu inspiratif ini cenderung dapat diterima karena subjek terkaitnya merupakan para wanita yang memiliki peran dan latar belakang signifikan untuk berada dalam posisi sekaliber itu. 

Yang menjadi polemik adalah ketika, gerakan feminisme yang menjadi payung bagi harkat wanita tidak dapat menembus isu-isu tertentu. Hal ini yang justru banyak menuai kritik, karena dianggap "tidak masuk ranah feminisme" serta tidak berkaitan langsung dengan wanita, tidak dapat diselesaikan oleh gerakan feminisme dalam waktu dekat, hanya karena terafiliasi ke dalam beberapa disiplin ilmu yang masif. 

Padahal, pandangan semacam ini keliru. Banyak sekali isu-isu yang melibatkan wanita sebagai korban didalamnya, namun tidak dianggap begitu, karena banyaknya logika berfikir yang terlalu in-focus, dan minim kemajemukan refleksi. 

Contohnya saja untuk kasus kepemilikan tanah di Sumba yang sangat terbatas bagi wanita. Secara tradisional, seorang janda hanya berhak mengurusi tanah almarhum suami atau pun tanah anak laki-lakinya. Wanita yang relatif lebih kaya dapat membeli tanah, tetapi hak penguasaannya tidaklah terjamin sepenuhnya, karena dapat dibilang, jikalau wanita ini ingin menyetarakan haknya dengan laki-laki (sejauh ini belum ada), pastilah akan membuka forum argumentasi adat yang begitu pelik (Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. HUMA, 2010). Hal ini masih dianggap berada di luar lingkaran seputar feminisme, karena berkaitan dengan eksistensi adat yang kental, sehingga tidak dapat diintervensi, meskipun kaum wanita terkait berharap demikian. 

Apa yang terjadi dan telah dipraktekkan selama lebih dari hitungan satu abad di Sumba itu, turut mengingatkan saya pada fenomena abad ke-19 dan 20 di Jerman dan Prancis. Seorang istri dapat diperjualbelikan oleh suami secara legal, dilarang menyelenggarakan aktivitas bisnis, dilarang untuk mendapatkan hak voting dan pembelajaran, hingga dibatasinya waktu pembinaan dengan anak sendiri berdasarkan legitimasi izin dari representatif lelaki dalam keluarga.

Sehingga yang terjadi, wanita semakin menyerupai acala (arca yang tidak dapat dipindahkan, harus di satu tempat saja). Bahkan di Sparta, yang untuk parameter jaman kuno sudah menyadari kepiawaian wanita, masih melakukan diferensiasi yang begitu ketat. Wanita yang ketika meninggal dikubur dan diberi tempat layak, hanyalah wanita yang meninggal saat melahirkan bayi-bayi sehat untuk menjadi prajurit penerus Sparta.

Begitu pula dengan kasus seputar identitas yang berbau medikal. Ada David Reimer, salah satu korban malpraktik yang sempat membawanya menjadi seorang wanita secara paksa, hanya karena alat kelamin lelakinya rusak total akibat proses penanganan dokter yang salah, dan akhirnya bunuh diri karena frustasi. 

Ada juga Herculine Barbine, yang merupakan oposisi dari kasus Reimer. Barbin mulanya wanita, lalu didesign selayaknya pria setelah pemeriksaan medis, sehingga selalu menyandang label "Hermaphrodite" selama hidupnya. Meskipun mereka tidak dapat dikatakan sebagai wanita mutlak, namun setidaknya mereka pernah menjalani kehidupan sebagai wanita. 

Yang paling mendesak untuk ditangani dan diberikan solusi, adalah ketika wanita mulai menjadi sebuah produk propaganda politik dan sosial, yang ujung-ujungnya menguntungkan salah satu pihak yang berkonotasi negatif dalam lingkup bisnis. Praktik perbudakan, perdagangan orang (trafficking) dan eksploitasi tenaga kerja yang melibatkan wanita, dijadikan alasan untuk mengakhiri suatu permasalahan hingga pertalian hubungan (profesional atau pun percintaan), dan dibuat seakan-akan wanita harus memenuhi standarisasi yang mumpuni untuk menjadi wanita yang diidam-idamkan orang banyak. (Untuk referensi lanjutan, dapat dilihat juga profil dan pemberitaan tentang Callie Thorpe atau Tess Holiday, yang menjadi plus size columnists dan activists untuk memperluas campaign body positivity).

Menurut saya, justru kasus-kasus semacam ini yang membutuhkan gerakan feminisme secara lebih aktif dan konstan, karena efeknya bermuara pada kesenjangan idealisme hidup yang sebenarnya mereka harapkan. Padahal apa yang terjadi pada mereka belum tentu sesuai dengan apa yang telah mereka usahakan dan terbelit suatu kendala khusus. Embel-embel feminisme harusnya dapat mencocokkan diri dengan skema unik macam itu, sehingga tidak dianggap sebagai sebuah gerakan yang situasional saja, tetapi idealnya berlaku umum.

Terlepas dari kritik-kritik diatas, saya kira, secara keseluruhan gerakan feminisme sudah memberikan dampak yang signifikan. (apalagi jika upaya pemberantasan Gerwani seperti yang terjadi di rezim Orde Lama tidak terulang lagi, eksistensi adat uxorilokal dianggap normal dan legitim, dan pedagogi feminisme tidak dikelompokkan sebagai sebuah pembelajaran yang menyesatkan).

Feminisme juga tidak harus bergerak sendiri. Pemerintah dan masyarakat harus turut serta. Lelaki dan wanita. Terutama generasi muda yang haus pengalaman dan pembelajaran. Semuanya, yang tidak berpikiran kerdil. Yang pantas untuk disebut sebagai pejuang. Pelarut keniscayaan.

Tidak berguna rasanya, kalau Indonesia memimpikan sebuah negara adidaya yang berdiri berdasarkan konsep perjuangan dan keberhasilan makro, kalau wanita hanyalah dipandang sebagai sebuah ikon fertilitas, dan bukan sebagai subjek yang berhak untuk menerima pengakuan sesuai. Yang penting adalah penggerak yang bijak, bukan pembeda yang pandai menggertak.

Benar kata kawan saya itu, "wanita memang lah racun dunia". Tidak ada yang bisa menelisir, apa yang paling lumrah untuk dilakukannya, karena wanita mampu menaklukkan dunia. Asal bermain adil, tanpa beribu angkara.

#LombaEsaiPolitik

Putri Marsella Indriyana

Seorang non-bigot. Pecinta elegi.

Angkara Pembelit Femina

Sebuah Penalaran Terhadap Gerakan Feminisme

Stop "Bajual" Orang NTT

$
0
0
pexels.com

Term  bajual (kupang, NTT) sejajar arti dan makna dengan kata menjual. Bajual (baca: menjual)  merupakan bentuk kata kerja. Bentuk kata bendanya adalah jual. Dengan demikian menjual merupakan suatu actus humanum, tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk menjual sesuatu entah barang  pun jua jasa. Jual tidak bias dimengerti tanpa korelasi dengan beli. Jual mengandaikan adanya beli, demikian sebaliknya.

Menjual dan membeli erat kaitannya dengan dunia bisnis atau perdagangan. Di sini berlaku hukum pasar; di mana dari aktus menjual diharapkan akan mendapatkan keuntungan bagi si penjual dan tentunya ada nilai guna yang diperoleh pembeli dari barang yang dibelinya. Transaksi jual beli ini sudah dilakukan sejak lama. Bahkan sebelum adanya uang sebagai alat tukar resmi sudah dipraktekkan sistem barter. Transaksi jual beli ini dalam arti tertentu sudah seusia peradaban manusia.

Dalam melakukan transaksi jual beli, tentu harus ada barang/jasa sebagai objek. Barang/jasa inilah yang  menjadi alasan adanya transaksi jual beli, selain keuntungan yang akan diperoleh nantinya. Hukum pasar menjadi titik tolaknya di sini. Meraup keuntungan sebesar-besarnya sekaligus memperkecil kemungkinan kerugian.

Hemat saya, pemberlakuan hukum pasar inilah yang menjadi dasar adanya praktik curang dalam transaksi jual beli. Penjual berjuang semaksimal mungkin (bahkan dengan menghalalkan segala cara) demi meraup untung. Praktek “bajual orang” (baca: Human Trafficking) adalah salah satu contoh konkretnya.

NTT dan Human Trafficking

Oleh segelintir orang, NTT sering diplesetkan dengan “Nasib Tidak Tentu”. Ketidaktentuan nasib mengais rezeki di bumi NTT menjadi alasan bagi segelintir orang NTT mengadu nasibnya di negeri lain. Bukan cerita baru kalau ada banyak TKW asal NTT di Malaysia, Singapura, Hongkong dan Negara lainnya. Meski tidak mengantongi izin resmi serta tanpa bekal ketrampilan teknis dan bahasa yang mumpuni.

Ketidaktentuan nasib pulalah yang menjadi factor penentu kesiapan orang untuk direkrut menjadi TKW meski melalui jalur non-prosedural. Proses perekrutan tanpa melalui jalur formal-legal disertai iming-iming meraup uang sebanyak-banyaknya di Negara tujuan menjadikan bumi “NasibTidakTentu” ini sebagai gudang Human Trafficking.

Bukan tanpa alasan orang melakukan praktek ini. Jelasnya demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Praktek Human Trafficking sangat menjanjikan. Bayangkan, sejak terlibat dalam jaringan mafia human trafficking mulai tahun 2015 lalu, YLR, seorang petugas outsorching (tenaga lepas) PT Angkasa Pura di Bandara El Tari-Kupang berhasil meraup uang 2,6 miliar (pos kupang,24/08/2016).

Warta pos kupang di hari yang sama menyebutkan harga jual calon TKW asal NTT di Malaysia berkisar 4,5 juta-27 juta rupiah. Dan bahkan untuk mendapatkan satu unit mobil jenis Daihatsu Xenia, seorang mafia human trafficking cukup menukarkannya dengan 20 orang TKW asal NTT.

Menurut pengakuan para tersangka pelaku human trafficking sebagaimana disampaikan Kapolres Kupang, AKBP Adjie Indra Dwiatma (kompas.com, 23/08), harga jual para calon TKI sama seperti hokum pasar.

Ketika stok kosong, harga akan mengalami kenaikan. Menyimak fakta miris ini, lantas apa yang terlintas di benak kita? Bukankah menjadi mafia human trafficking adalah pekerjaan  yang sangat menjanjikan demi mengubah ketidaktentuan nasib? Hati-hati, manusia bukan komoditas yang pantas diperdagangkan. Stop bajual orang!

Ketika Manusia (NTT) menjadi Komoditi

Deklarasi universal hak asasi manusia  (Universal Declaration of Human Rights) yang diratifikasi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Paris pada 10 Desember 1948 merupakan moment kesadaran sejarah umat manusia. Pengakuan dan pemakluman sikap tentang pentingnya hak merupakan satu unsure penting yang menyingkapkan kesadaran historis manusia masa kini, yang bersumber pada pengakuan terhadap martabat manusia sebagai norma objektif bagi tingkahlaku moral-politik, yang dilihat sebagai operasionalisasi hormat terhadap HAM….(Frans Ceunfin (ed.), 2007).

 Keberadaan HAM tidak didasakan pada factor kontingen. Ia ada dan melekat dalam diri manusia karena kemanusiaannya. Bukan pemberian dari otoritas atau institusi tertentu. Dalam pasal 4 deklarasi universal HAM tertulis : “tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun harus dilarang”.

Ketika manusia (NTT) menjadi komoditi, pertanyaan yang bakal timbul ialah; sudah sejauh mana deklarasi universal HAM ini terinterrnalisasi dalam kesadaran historis kita orang NTT? Jelas masih banyak manusia NTT yang buta aksara. Minim akses pendidikan formal. Apalagi dipaksa menginternalisir butir-butir deklarasi tersebut. Agak sulit memang. Namun berhadapan dengan human trafficking pemberlakuan principium rationis sufficientis (prinsip alasan yang mencukupi) adalah tidak pada tempatnya.

Meski deklarasi ini belum pernah disosialisasikan kepada kita, setidak-tidaknya di dalam kesadaran nurani kita sebagai makhluk rasional dan berakal budi, human trafficking merupakan tindakan amoral. Manusia, siapa pun dia (NTT sekalipun), tidak bias dijadikan komoditi, apa pun alasannya. Merupakan penyangkalan radikal atas martabat luhur manusia ketika manusia dijadikan komoditi.

 Transaksi jual beli dan hukum pasar tidak pantas menjadikan manusia sebagai objek perdagangan. Nilai kemanusiaan manusia tidak bias ditakar dan ditukar dengan uang. Sekali lagi, manusia bukan komoditi. Implikasinya, jangan perdagangkan manusia.

Stop Human trafficking, save NTT

Human trafficking merupakan tindakan kejahatan kemanusiaan. Menangkap dan menghukum mafia human trafficking mesti menjadi opsi utama guna menyelamatkan para TKW asal NTT.

Manusia NTT (TKW) –sama seperti manusia lainnya- bukanlah komoditi yang pantas diperdagangkan. Wacana memerangi mafia human trafficking haruslah dibarengi aksi nyata. Untuk menyelamatkan TKW asal NTT tidak bias kita serahkan sepenuhnya tugas ini kepada pihak kepolisan dan pemerintah. Idealnya ialah tanggungjawab bersama seluruh masyarakat NTT.

Sebagai insan terdidik, terlebih khusus di sini saya mengajak seluruh teman mahasiswa sepersada flobamora; mari kita wujudkan aksi nyata kita memerangi human trafficking dengan terlebih dahulu memberdayakan lapisan kesadaran masyarakat di sekitar kita.

NTT kita bukanlah bumi yang tidak tentu nasibnya. NTT tidak miskin, Cuma stigmatisasi. Stigma buruk ini diperparah dengan mental pragmatis –konsumeristik. Inilah akar masalah mengapa manusia NTT gampang diperdagangkan. Mari kita patahkan pandangan serta mental pragmatis-konsumeristik ini, mental masyarakat NTT kita.

Uang ada untuk manusia bukan sebaliknya. Jadi tidak ada alasan manusia menghambakan diri pada uang.   Jangan tanyakan pada NTT apa yang sudah dibuatnya untuk kita, tapi tanyakan pada diri kita masing-masing, apa yang telah dan ingin kita buat untuk membangun NTT menjadi lebih baik. Memerangi human trafficking demi menyelamatkan NTT merupakan salah satu pemberian diri kita untuk membangun NTT. Stop bajual orang NTT, save NTT. Salam liberasi! #LombaEsaiKemanusiaan

wilibaldus sae delu

mahasiswa semester III fakultas filsafat Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang, NTT. Tercatat sebagai anggota KMK (KOmunitas Menulis Kreatif) St. Mikhael-Kupang, NTT

Stop "Bajual" Orang NTT

Meneropong Kasus Human Trafficking di NTT

Perempuan dan Fotografi

$
0
0
Ilustrasi/ Sumber: Pinterest

Paras nan anggun, lekuk tubuh yang sensual, dan mata  bernanarkan keeksotisan cukup mampu  memikat mata lensa untuk menjadikan perempuan sebagai objek estetis. Bahkan tubuh perempuan seakan telah menjadi komoditas pasar yang terus dinantikan. Seperti yang dikatakan oleh teman akrab Sarte dan sekaligus pemikir feminisme, Simone De Beuvoir dalam bukunya Malafide.

De Beuvoir mengatakan bahwa banyak perempuan yang telah sadar akan penampilannya sehingga mereka berusaha untuk memperbaiki penampilannya yang sesungguhnya merupakan jalan agar perempuan menjadi indah untuk dilihat oleh laki-laki.

Beuvoir seolah berasumsi bahwa laki-laki akan lebih terpuaskan jika menjadikan perempuan sebagai objeknya. Industri periklanan dan media massa saat ini sudah cukup membuktikan pernyataan Simone De Beuvoir bahwa perempuan hanya mampu sebagai objek bukan subjek. Begitu juga dalam dunia fotografi, perempuan hanya mendapat stigma sebagai aktor yang terlihat dalam view finder kamera bukan orang yang berada di baliknya.   

Dalam lensa kamera, perempuan hanya dapat tergambarkan sebagai objek yang eksotis, erotis, dan tragis. Misalnya dalam dunia foto model perempuan mampu menjelma sebagai mahluk yang menawarkan keindahan lekuk tubuh sesuai keinginan pasar dan fotografer tersebut. Namun di foto jurnalistik, perempuan juga mampu menjadi objek tragis yang juga teramat begitu menjual.

Pameran foto yang tengah berlangsung di Komunitas Utan Kayu misalnya. Sang fotografer Adrian Mulya mencoba menyelami kelam sejarah 65 melalui foto series perempuan-perempuan mantan Gerwani. Raut perempuan dalam foto tersebut  seakan mampu membawa haru sekaligus getir waktu kelam yang mereka telah lalui.

Begitu juga pameran foto Solilokui yang di gelar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tema dan objek perempuan begitu masih teramat menohok dalam setiap foto yang dipamerkan.

Di tengah maskulinitas fotografi, perempuan hari ini telah bertansformasi dari objek menjadi subjek fotografi. Sebagai contoh kita bisa melihat wartawan foto dalam negeri seperti Adek Berry dan fotografer perempuan lainnya yang berani menohok untuk menceraikan perempuan dari stigma hanya menjadi objek kamera. Gerak postif tersebut menjadi langkah awal bagaimana perempuan bisa menjadi aktor intelektual penting dalam dunia fotografi.

Hal ini juga adalah upaya merawat semangat feminisme. Terlepas apakah kesetaraan gender menjadi salah satu isu yang kerap mewarnai perbincangan pelbagai aspek dewasa ini, fotografer wanita tetap merambah dan berkembang untuk memajukan eksistensi salah satu bidang jurnalistik, yaitu fotografi. Karena Salah satu bentuk manifestasi dari kesetaraan gender ialah bebasnya perempuan untuk memilih prefensi hidup.

Keterwakilan perempuan mampu membuat cara pandang baru dalam setiap bidang, termasuk dalam dunia fotografi. Keterwakilan perempuan sangat dibutuhkan agar jurnalisme dan fotografi  memiliki sudut pandang baru.

Pada akhrinya, kita harus menilai perempuan tidak hanya dari seberapa besar buah dadanya, tetapi perempuan harus ternilai dari seberapa besar buah pengalamannya. Perempuan tidak hanya bisa tereksploitasi melalui keindahannya, namun juga pada karya dan  pencapaiannya.

Selebihnya saya dedikasikan tulisan ini untuk fotografer perempuan Indonesia yang telah membangun jembatan baru antara fotografi dan perempuan. Di tengah maskulinitas budaya dan keterdesakan fotografer perempuan mampu untuk memnuhi tantangan global dan bersaing.

Fakhrizal Haq

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Jurnalistik 2013 dan Kolumnis di Journo Liberta. t:@fakhricentris

Perempuan dan Fotografi

Wajah Feminis Politik

$
0
0

Fakta mengenai adanya ”keidakseimbangan” besar di antara wanita dan pria pada sejarah berbagai bangsa di belahan bumi ini, memunculkan opini sebagai respons dengan mengatakan bahwa dunia yang kita huni ini adalah dunia laki-laki, yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan norma atau nilai laki-laki.

Perempuan seakan hanyalah seorang aktris yang tampil di atas panggung teater yang diarahkan oleh laki-laki sebagai sutradara, dengan skenario yang ditulis laki-laki, dan juga dipertunjukkan untuk memuaskan selera penonton yang kebetulan juga laki-laki.

Mengenai kebenaran di balik anggapan di atas memang perlu kembali dikaji. Namun, cuilan ini benar terfragmentasi dalam sejarah dunia bahwa perlakuan terhadap perempuan memang tidak selalu menggembirakan, bahkan secara tegas dapat dikatakan “suram”.

Dalam sejarah peradaban Romawi, perempuan sepenuhnya berada di bawah kuasa ayahnya. Setelah menikah kekuasaan itu pindah ke tangan suaminya. Realita ini baru berakhir pada abad ke-5 Masehi.

Sementara yang disebut sebagai warga kota (polis) dalam masyarakat Yunani kuno hanyalah laki-laki. Perempuan tidak tidak memiliki hak-hak dalam politik, baik hak untuk memilih apalagi untuk dipilih. Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain hingga abad ke-17 M. Hak hidup seorang perempuan bersuami berakhir pada saat kematian suaminya, dengan turut dibakar ketika mayat suaminya dibakar.

Di negeri kita pun, kisah kelam itu dikenali dari nukilan-nukilan sejarah terutama saat terjadinya kolonialisme Belanda. Fenomena ini setidaknya terekam dalam goresan-goresan keprihatinan sekaligus protes R.A. Kartini dalam surat-suratnya kepada para sahabatnya di Belanda. Pun, meskipun fiktif, gambaran mengenai ketertindasan perempuan di bumi pertiwi ini dilukiskan secara apik oleh para sastrawan ke dalam tema-tema utama penulisannya.

Fenomen tersebut di atas menegaskan asumsi awal tadi bahwa kenyataan mengenai perempuan ditempatkan sebagai “the second sex”, warga kelas dua adalah realitas yang tak tersangkali.

Sejarah Kesadaran Pembentukan Gerakan Perempuan

Sejarah kelam hegemoni pria di hadapan inferioritas perempuan bukan sekadar kisah lama yang terkubur pusaran waktu. Dalam situasi sekarang, fenomena itu mungkin saja tetap berlangsung dalam aneka wajah yang berbeda. Perubahan zaman tidak hanya menghasilkan diskriminasi seks dalam kemasan baru, namun, juga memunculkan suatu perubahan respons dari masing-masing perempuan sebagai individu.

Evolusi kesadaran itu muncul dalam bentuk keinginan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

Secara historis, gerakan perempuan di berbagai negara di dunia dipicu oleh kondisi sosial politik setempat. Berkobarnya revolusi Perancis yang mengusung semboyan liberte, egalite, fraternite (kebebasan dari penindasan, persamaan hak, dan persaudaraan), turut menggerakkan kaum perempuan untuk ikut dalam perjuangan. Setelah melewati tahapan yang sulit, gerakan perempuan di Perancis menjadi solid dan kuat pada 1870.

Sedangkan di Inggris, gerakan serupa dimulai dengan adanya kesadaran akan terpasungnya hak-hak perempuan Inggris. Perjuangan perempuan Inggris meskipun berliku, tapi mendapatkan hasilnya pada saat Perang Dunia I berakhir.

Perempuan mendapat hak untuk memilih maupun dipilih. Kita ingat bahwa Inggris pernah melahirkan politisi wanita hebat, yang dikenal sebagai ‘wanita besi’, Margaret Thatcher (1979-1990). Dan PM wanita Inggris yang saat ini menjabat, Theresa May pun disejajarkan dengannya.

May digambarkan sebagai sosok pemimpin yang mampu menyatukan negara dan negosiator tangguh yang dapat menghadapi Uni Eropa. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri sejak 2010.

Keadaan serupa terjadi di belahan dunia bagian timur. Di antara negara-negara Asia-Afrika yang pernah mengalami penjajahan asing nampaknya ada benang merah dari timbulnya gerakan perempuan dimaksud. Gerakan itu muncul seiring dengan gerakan kemerdekaan. Juga sebagai perlawanan atas kolonialisme dan adat-istiadat yang dirasakan bertentangan dengan perikemanusiaan.

Gerakan perempuan yang sejak tahun 1960-an disebut sebagai gerakan feminis pada intinya memperjuangkan perlakuan yang lebih baik dan setara, dan meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam membentuk masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Tanggapan dunia internasional terhadap perlindungan HAM perempuan, ditegaskan dan diakomodir oleh organisasi internasinal PBB.

Untuk pembahasan khusus mengenai isu perempuan, PBB telah menyelenggarakan beberapa Konvensi Internasional tentang perempuan, yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1975 dengan pencanangan Tahun Wanita Interasional di Mexico City, yang diikuti dengan Konvensi Perempuan Kopenhagen (1980), lalu Konvensi Internasional Nairobi (1985) dan terakhir di Beijing tahun 1995.

Efek dari pengakuan dan penegasan akan HAM Perempuan, memicu lahirnya aliran-aliran feminis. Feminisme tidak bisa melepaskan dirinya dari konteks politik. Karena memang feminisme bertabiat politik. Politik berwajah feminis, yang mana selalu menggugat struktur kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.

Aliran-aliran pemikiran tentang feminis saat ini sangat pesat berkembang. Sebagai misal ada feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme Islam, dll. Namun di antara banyaknya aliran feminisme yang ada, ternyata ada homogenitas pemikiran di antara mereka bahwa tidak ada yang tidak mempertanyakan dominasi dan subordinasi antara laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks ini, ‘ke-laki-lakian’ dan ‘ke-perempuan’ tidak boleh dipahami secara biologis, yakni sebagai jenis kelamin (seks), melainkan sebagai konstruksi struktural, yang dikenal dengan sebutan gender.

Ruang bagi Gender di Indonesia

Perjuangan kesetaraan gender yang terjadi di Indonesia, sama halnya dengan negara-negara Asia-Afrika lainnya yang mana didesak oleh situasi ketertindasan kolonialisme. Ditambah lagi budaya dan adat-istiadat yang sedemikian kuat dianut bahwa laki-laki adalah kepala atau pemimpin atas perempuan.

Tantangan terbesar gender justeru muncul dari struktur budaya, sebagaimana terbaca dalam upaya gugatan RA Kartini, tokoh nasional pelopor kesetaraan dan perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Kartini memperjuangkannya dengan pendidikan. Memang ini adalah satu usaha yang brilian, bahwa hanya dengan pendidikan, sistem budaya yang mengekang kesetaraan dan ‘menindas’ kaum perempuan dapat dilonggarkan. Pendidikan membuka ruang bagi kelapangan pola pikir sempit yang terkungkung struktur budaya patriarki, mengubah sistem nilai dan membuka ruang bagi perempuan dalam pengaktualisasian dirinya.

Betul bahwa perjuangan panjang, yang sudah dimulai sejak era pra-proklamasi hingga era reformasi sekarang ini perlakuan terhadap perempuan perlahan-lahan lebih positif. Namun, secara total masih jauh dari harapan. Adanya regulasi mengenai persentase perempuan yang menduduki kursi parlemen yang lebih rendah dari laki-laki adalah suatu bukti valid bahwa hukum pun masih enggan menyetarakan kesempatan bagi partisipasi perempuan dalam berpolitik.

Hesikius Junedin

Mahasiswa Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang | Lahir di Jong-Lengko Ajang, Flores, NTT 16 juni 1993| Tertarik berdiskusi mengenai tema-tema aktual, baik Politik, Sosial, keagamaan dan kemasyarakatan.

Wajah Feminis Politik

Perempuan-Perempuan yang Menginspirasi

$
0
0
Nurma saat menjajakan dagangannya.

Inspirasi bisa datang dari mana saja. Tak butuh peristiwa besar yang diberitakan luas untuk menginspirasi. Peristiwa-peristiwa sepele yang mungkin kita anggap sebagai bagian dari keseharian pun dapat memberi inspirasi bila benar-benar diresapi dan direnungi. Inspirasi terbesarku datang dari perempuan-perempuan yang ada di sekitarku.

Perempuan pertama yang menginspirasiku adalah ibuku. Ia yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkanku secara normal. Tidak sedikit pun pernah terlintas di benaknya bahwa bentuk tubuhnya mungkin takkan seindah semasa gadis dulu atau resiko perdarahan yang mungkin terjadi.

Bagaimana pun, kondisi layanan kesehatan ketika aku dilahirkan hampir 35 tahun silam tentu tak sebaik saat ini. Toh, itu tak menyurutkan tekadnya. Baginya memang sudah kodrat seorang perempuan untuk mengandung selama sembilan bulan, melahirkan dengan susah payah, serta berjuang membesarkan sang buah hati terkasih hingga menjadi sosok yang membanggakan.

Bibiku juga adalah inspirasi bagiku. Ia, yang ditinggal meninggal suaminya lima tahun lalu, mampu menjalankan berbagai peran sekaligus. Pada saat yang bersamaan, ia menjadi ibu sekaligus ayah bagi kedua anaknya, pencari nafkah juga pengurus di sektor domestik. Hebatnya, beliau selalu punya waktu untuk melakukan semuanya tanpa pernah menggerutu atau mengeluh. Di mataku, beliau sungguh adalah perempuan perkasa.

Namun, bukan hanya mereka saja perempuan yang menginspirasiku. Inspirasi terbesarku justru datang dari bocah-bocah perempuan yang sama sekali tak kukenal sebelumnya.

Mereka adalah bocah-bocah yang mungkin dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang, namun bila direnungi justru memberi inspirasi betapa perempuan, berapa pun usia dan bagaimana pun keadaannya, ternyata memiliki keuletan yang mengagumkan. Dalam hal ini, kesulitan hidup di jalanan, terutama untuk sekedar memperoleh air demi bertahan hidup, menjadi tantangan mereka.

Elizabeth (7) dan Nurma (15) kukenal di jalanan. Sebelum mengenal mereka berdua, aku selalu berpikir bahwa kesulitan memperoleh air bersih hanya terjadi di pelosok yang sering dilanda kekeringan dan sangat sedikit memperoleh curah hujan.

Para ibu berebut pasokan air bersih atau harus berjalan puluhan kilometer demi mencapai sumber air yang kadang mengering pada kemarau panjang. Namun, perkenalan dengan Elizabeth dan Nurma, menyadarkan kealpaanku memperhatikan persoalan pelik yang tak jauh dari keseharian sendiri.

Ellis, panggilan akrab Elizabeth, terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga sederhana. Ayahnya telah tiada setahun lalu. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, ibunya lantas bekerja apa saja. Walau sulit, kala itu, Ellis masih bisa menikmati keceriaan belajar di sebuah SD tak jauh dari gubuk mereka yang terletak di pinggiran Sungai Deli, Medan. Tapi, semua tak berlangsung lama.

Enam bulan lalu, ibu yang sangat dicintai Ellis terserang diare berat hingga tubuhnya lunglai tak berdaya. Para tetangga yang hampir semuanya senasib dengan keluarga Ellis mencoba membawa berobat ke sebuah klinik swasta. Namun, jangankan mendapatkan perawatan, mereka malah tak dipedulikan dan diminta pergi ke puskesmas atau rumah sakit milik pemerintah. Sayangnya, di perjalanan, sang maut menjemput.

Ellis tenggelam dalam tangis. Ia tak mengerti mengapa ibunya harus pergi begitu cepat. Ada seorang tetangga yang mengatakan bahwa ibunya terserang diare karena mengkonsumsi air kotor. Memang, akibat dihimpit kemiskinan, terpaksa air Sungai Deli yang keruh digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari.

Bila akan diminum atau dipakai memasak, ibu Ellis biasanya mengendapkannya sehari semalam. Itu pun hasilnya masih keruh dan berbau, tapi tak ada pilihan lain. Air telah merenggut masa depan Ellis. Jadilah ia sekarang bergelut dengan kejamnya jalanan demi bertahan hidup.

Ellis kemudian bertemu dengan Nurma. Nurma pun tak memiliki keluarga lagi. Nurma terpisah dengan ayah, ibu, dan adiknya yang masih berusia beberapa bulan saat banjir besar melanda rumah kumuhnya di pinggiran Kota Medan bertahun lalu. Air telah menghanyutkan kebahagiaan Nurma.

Kini, Nurma melewatkan hari-harinya bersama Ellis. Di pagi hari mereka melakoni pekerjaan sebagai pedagang asongan. Pada siang dan malam hari, mereka akan sejenak mengistirahatkan tubuh mungil yang didera rasa lelah.

Untuk mandi sehari-hari, Ellis dan Nurma biasanya menumpang pada sebuah warung makan. Itu pun tak setiap hari. Rasa sungkan kepada pemilik warung membuat mereka lebih sering terpaksa membersihkan diri di air Sungai Deli yang kecoklatan. Walau berbekal sebatang sabun, keruhnya air tetap tak mampu menyingkirkan debu dan kotoran setelah bergelut seharian di jalanan. Bukannya bersih, kulit mereka malah menjadi gatal dan bersisik.

Karena tak tahan dengan rasa gatal, Nurma sering menggaruk sekujur tubuhnya hingga lecet dan penuh luka. Sedangkan Ellis yang acapkali merasa gatal pada organ kewanitaannya sesekali membasuhnya dengan air rebusan daun sirih, sesuai saran seorang perempuan tua yang juga tinggal di jalanan. Sebisanya saja, karena uang yang ia peroleh lebih sering habis untuk makan.

Tak setiap kali merasa haus Ellis dan Nurma bisa langsung meneguk air segar. Meski terik terasa menyesakkan, mereka memaksakan diri bertahan hingga tiba waktu makan siang. Ketika itu, barulah mereka akan minum sepuasnya sembari menikmati sepiring nasi berikut lauk seadanya di warung makan langganan.

Sang pemilik warung, yang kebetulan adalah seorang janda tanpa anak, tak pernah keberatan mengisi ulang teko air di meja. Mungkin ia maklum betapa sulit bagi keduanya untuk memperoleh air minum.

Bukan hanya kesulitan air yang harus mereka hadapi. Pelecehan, kekerasan oleh sesama anak jalanan atau aparat pemerintah, hingga tatap tak bersahabat dari orang-orang ketika melihat mereka juga menjadi keseharian yang takkan pernah mudah. Toh, senyum dan tawa riang tetap terlihat di wajah lugu mereka.

Dengan caranya masing-masing, empat perempuan tadi telah menginspirasiku. Mereka menyadarkanku bahwa perempuan sama sekali bukan makhluk lemah, melainkan sosok yang berdaya dan memiliki kapasitas untuk melakukan banyak hal bagi diri, keluarga, komunitas, dan masyarakatnya.

Sekarang, aku punya perspektif baru dalam memandang perempuan. Bukan lagi perspektif yang bias dan kental dengan seksisme, namun perspektif yang bijak memaknai keberadaan mereka sebagai mitra sejajar bagi laki-laki untuk berjuang bersama mewujudkan dunia yang lebih baik untuk semua.

Fritz Hotman S.D.

Sosiolog lulusan Universitas Sumatera Utara, Guru Sosiologi di Medan, serta Penulis di Bumi Aksara Grup dan Erlangga

Perempuan-Perempuan yang Menginspirasi

Intuisi Perempuan dalam Berpolitik

$
0
0

Perempuan adalah salah satu makhluk yang katanya paling lemah, walaupun sebenarnya masih belum ada yang bisa membuktikan pernyataan tersebut. Karena pada kenyataannya perempuan dan laki-laki itu sama saja, yang membedakan hanyalah kebiasaan mereka saja.

Mindset manusia dari zaman dahulu yang menyakini bahwa laki-laki tugasnya bekerja dan mencari nafkah sedangkan perempuan tugasnya hanya di dapur, sumur, kasurlah yang menyebabkan perempuan menjadi terlihat lebih lemah.

Walaupun dalam masa sekarang perempuan sudah diperbolehkan untuk bekerja dan berpolitik, tetap saja hal itu tidak bisa dilakukan perempuan secara maksimal karna masih banyak perempuan yang tertindas, dan tidak terwakilkan secara politik, dan berada di bawah tekanan laki laki.

Perempuan masih termarjinalisasi walaupun sudah ada peraturan UU yang memuat tentang kesetaraan gender, namun perempuan dari dulu hingga sekarang masih belum terwakilkan dalam hal politik dan malah mengalami degradasi perjuangan.

Hal ini yang membuat sebagian kecil perempuan yang sadar merasa bahwa perlu adanya sebuah perubahan secara menyeluruh tentang cara pandang manusia pada saat ini. Sehingga para perempuanpun mulai bergerak dan berfikir bagaimana cara untuk mengubah mindset manusia pada masa kini. Akan tetapi perjuangan perempuan tidak semulus yang diinginkan, selalu ada hambatan yang datang di kehidupan sekarang yang semakin hedon ini.

Mereka menyadari dalam berjuang kita butuh alat, namun jika alat tersebut adalah hambatan terbesar dalam perjuangan, lalu untuk apa kita tetap bertahan di dalamnya. Jika alat tersebut tidak bisa membantu mewujudkan perjuangan perempuan maka kita harus mencari alat lain atau membuat alat perjuangan itu sendiri.

Perempuan selalu menggunakan intuisinya dalam berbagai hal, begitupun dalam berpolitik. Ketika perempuan ingin berjuang, namun gagal karena perempuan itu tidak bisa untuk berkata “tidak” kepada orang terdekatnya. apa yang bisa dilakukannya? Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Satu hal yang harus dipahami, “perempuan diam, bukan berarti ia mau atau sebaliknya” mungkin saja dia merasa takut akan adanya pertengkaran atau mungkin itu hanya rasa tidak enak hati untuk menolak. Lalu bagaimana perempuan bisa berjuang ketika ia tidak mampu untuk memperjuangkan dirinya sendiri? Bagaimana perempuan bisa berjuang jika ia tak mampu untuk menolak hal-hal yang tidak diinginkanya terjadi padanya?

Bukankah seharusnya perempuan dan laki-laki berjalan beriringan untuk saling melengkapi dan saling mendukung? Lalu mengapa laki-laki menjadi hambatan terbesar bagi perempuan dalam mengembangkan ilmu politiknya?. Menurut saya sebagai seorang perempuan, kepemilikan pribadilah yang menjadi pemantik perempuan menjadi kaum subordinat.

Yah, faktanya memang karena hal tersebut. Hak kepemilikan pribadi yang menyebabkan perempuan tidak bisa menyamai kedudukannya dalam hal politik. Kepemilikan pribadi itu sengaja dimunculkan oleh kaum kapitalis agar perempuan tetap bisa diperbudak oleh kaum kapitalis.

Kepemilikan pribadi yang menyebabkan kaum laki-laki maupun perempuan berpikir bahwa jika perempuan dan laki-laki sudah bersepakat untuk menjalin hubungan atau istilah kerennya saat ini adalah pacaran, berarti  mereka sudah mempunyai “hak” terhadap pasangannya masing-masing. “hak melarang pasangannya bergerak dan sebagainya”. Kita bisa lihat bahwa ini adalah tujuan dari kaum kapitalis, agar perempuan susah bergerak dalam hal apa pun.

Perempuan akan susah mencari kerja karna tidak punya keahlian sebelumnya. Yang mereka punya hanya keahlian turunan seperti menjahit dan sebagainya. Sehingga kaum kapitalis akan sangat mudah memanfaatkan perempuan dengan menawarkan mereka sebuah pekerjaan sebagai buruh.

Perempuan tidak bisa menolak tawaran tersebut karena mereka juga butuh biaya hidup. Perempuan sekarang juga banyak yang kerjanya menjual tubuhnya untuk melancarkan perputaran modal. Menjual tubuhnya disini bukan berarti berhubungan seks tetapi seperti yang pekerjaannya dituntut untuk memakai pakaian yang serba kekurangan (rok mini, baju ketat dan sebagainya).

Bisa kita lihat di sini kondisi penindasan hari ini bentuknya maskulinitas, perempuan dijadikan sebagai komoditas, secara kultural dan secara historis. Di zaman dahulu memang pernah ada momentum dimana perempuan menguasai proses produksi, namun hanya sekejap saja, karena semua diambil alih kembali oleh kaum lelaki. Perempuan hari ini hanya mengetahui bahwa mereka tertindas dan terjebak dalam moralitas.

Saat ini masyarakat berpikir bahwa di balik laki laki yang sukses ada perempuan yang baik. Pemikiran ini membuat perempuan semakin terbelakang. Yang membuat perempuan dijadikan sebagai dewi yang ditololkan. Pendidikan bagi perempuan juga masih sangatlah semu.

Hal ini juga yang kemudian semakin menyudutkan perjuangan perempuan. Hanya tersisa segelintir orang yang mengerti bahwa semua itu terjadi atas dasar keinginan kaum kapitalis. Intuisi yang dimiliki perempuan semakin lama - semakin mempengaruhinya dalam berpolitik. Perempuan semakin susah bergerak, karena perempuan saat ini tidak sadar permasalahan mendasar bagi perempuan itu sendiri.

Perempuan saat ini tidak sadar jika mereka sedang dieksploitasi oleh para kaum kapitalis. Rasa yang dimiliki oleh perempuan ternyata membuat perempuan tidak ingin lagi berjuang, karna mereka merasa bahwa mereka melakukan semua hal seperti berdandan adalah karena keinginannya sendiri, mereka ingin tampil cantik. Padahal cantik itu relatif, tidak ada patokan bahwa perempuan yang berdandan dan berambut panjang adalah perempuan yang cantik.

Perjuangan perempuan ini membutuhkan proses panjang untuk mendapatkan hasil maksimal, karena seorang perempuan tidak sekedar berjuang  namun juga bergerak untuk melakukan perubahan dalam lingkup yang lebih luas, yakni dalam hal budaya, pendidikan, politik, dan keagamaan.

Yang dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut adalah  gagasan seorang perempuan yang mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dengan tidak menahapkan. Awalan yang kita kerjakan adalah bagaimana memahami perspektif perempuan.

Maka seorang pejuang wanita idealnya harus memiliki ketegasan, keadilan, jiwa kepemimpinan, tanggungjawab, mampu memotivasi, memimpin secara langsung dengan segala risiko dan mampu memperjuangkan hak-hak perempuan, dengan penjelasan di atas harapnya dapat menyatukan komunitas perempuan yang ada dan perempuan lain yang belum sadar untuk berjuang bersama.

Tidak ada kesejahteraan perempuan jika bukan perempuan itu sendiri yang memperjuangkannya.

#LombaEsaiPolitik

rika sabriyanti

hidup perempuan yang berlawan,,,!!!

Intuisi Perempuan dalam Berpolitik

Intoleransi Negara Terhadap Buruh Migran Perempuan

$
0
0
Foto: google.co.id

Sejarah kebudayaan manusia baik yang sakral maupun yang sekuler, senantiasa menunjukkan diri sebagai sejarah patriarki: lelaki yang membangun dunia dimana perempuan berada di dalamnya (Nugroho;2008). Kita bisa menyebut sejumlah tokoh perempuan seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, atau Nyi Ageng Serang.

Namun, kita hanya bisa menerjemahkannya sebagai sempalan-sempalan emansipatoris di tengah arus besar patriarkal. Hingga di setiap tempat dan sejarahnya, pada akhirnya perempuan berada pada the second sex dengan segala konsekuensinya.

Di kebanyakan daerah di nusantara sebagai entitas cultural otonom yang kemudian ditahbiskan menjadi representasi kebudayaan nasional, inferioritas perempuan dimaterialkan dalam pembagian kerja: perempuan yang dikenal lemah lembut, emosional, keibuan, bekerja di sektor domestik, sementara laki-laki yang dianggap kuat, rasional, bekerja di sektor publik. 

Dan semua sifat-ciri yang sebenarnya dapat dipertukarkan, berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari tempat ke tempat maupun dari kelas ke kelas lainnya itu, seakan hendak diabadikan (Mansoer Fakih:2007). Alhasil, perempuan banyak kehilangan hak dan kebebasannya dalam pengambilan setiap keputusan, baik yang menyangkut dirinya maupun masyarakat. Ketidakadilan gender juga termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, pelecehan, dan double burden.

Awal abad ke-19 di Indonesia, hal tersebut menjadi ration de ‘etre bagi munculnya gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Nama Kartini pun kemudian disebut-sebut sebagai pelopor gagasan emansipasi: ia yang pertama kali dengan sadar, argumentatif, serta terdokumentasi, menentang penindasan terhadap kaumnya.

Hingga di paruh pertama abad 20, organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Mereka menggugat adat istiadat yang melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Kemudian fokus dan strategi mereka menjadi dinamis seiring laju jaman—dari mulai undang-undang perkawinan, peran ganda, perkosaan, aborsi, KDRT, dan berbagai isu lainnya.

Faktanya, hingga hari ini, perempuan dan persoalannya terus berdampingan. Di era gegap gempita gerakan perempuan, persoalan perempuan berlanjut pada maraknya kasus buruh migran. Kita menemui fakta bahwa mayoritas buruh migran Indonesia yang ada di seluruh negara penempatan adalah perempuan.

Dan sialnya, sebagian besar ditempatkan pada ranah domestik. Hal tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan pada proses pembangunan begitu kecil. Meski demikian, keberadaan buruh migran menjadi salah satu pemasok terbesar bagi devisa negara.

Sayangnya, negara sebagai pihak yang sangat diuntungkan, tidak memberikan perlindungan memadai bagi mereka. Sekalipun kita tahu, buruh migran sangat berperan pada laju-kembang perekonomian negara dengan menyumbangkan devisa setiap tahunnya. Bahkan, dalam rentang 2004-2010 menempati urutan kedua setelah migas.

Di Indonesia, migrasi dalam skala besar bukanlah perkara baru. Hanya saja, pada masa-masa krisis ekonomi, kecenderungan migrasi internasional menjadi naik. Buchori (2006) menyebutkan bahwa sejak tahun 1980-an, migrasi perempuan sebagai pekerja terutama sektor domestik, mulai terjadi dalam jumlah signifikan akibat adanya kebijakan pemerintah yang mulai mengintegrasikan ekspor buruh ke luar negeri dalam rencana pembangunan.

Melalui data IOM, paling tidak sejak tahun 1995 hingga 2005 jumlah tenaga kerja meningkat sebesar 1,3 persen dimana rata-rata bertambah sebanyak 1,2 juta orang pertahun.

Namun dengan terjadinya krisis ekonomi di tahun 1998, perekonomian Negara mengalami penurunan sebelum kemudian pulih kembali setelah tahun 2000.

Hal ini pun berdampak pada jumlah penyerapan tenaga kerja dimana peningkatan tenaga kerja di tahun 2005 tidak dapat diserap secara efektif dan mengakibatkan angka resmi pengangguran meningkat dari 9,5 juta (2003) menjadi 10,8 juta (2005). Pengangguran pun semakin meningkat pada tahun 2006 dengan jumlah 22.036.693, hingga di tahun 2007 akhirnya menjadi 20.555.059, dan 9.258.954 orang di tahun 2009.

Darinya kita bisa menyimpulkan bahwa membengkaknya angka pengangguran di Indonesia disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan perluasan lapangan kerja. Minat masyarakat untuk melakukan migrasi dan mencari kerja di luar negeri sebagai buruh (migran) pun kian menguat.

Dalam situasi seperti itu, sikap negara tampak ambigu. Di satu sisi, Negara yang berkawijiban menjamin aktifitas dan kelayakan ekonomi masyarakatnya, dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar. Sementara di sisi lain, Negara seperti senang dan sekali lagi, terkesan membiarkan keadaan karena memang sangat diuntungkan.

Kita tahu, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, buruh migran pun menjadi penyumbang signifikan bagi devisa negara. Data yang tercatat oleh Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan empat tahun belakangan (2004-2007), buruh migran menyumbang hingga 13,87 miliar US$. Angka ini meningkat dari 1,9 miliar US$ di tahun 2004 menjadi 5,84 miliar US$ di tahun 2007.

Di Asia, Indonesia sendiri merupakan salah satu dari tiga Negara (bersama dengan Filipina dan Srilanka) yang lebih banyak mengirimkan pekerja wanita daripada pria. Angka ini sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah relatif pengiriman ke Malaysia dan Arab Saudi yang menempati 86 persen dari keseluruhan pengiriman pada tahun 2004.

Kemudian pada tahun 2007, pekerja migran Indonesia meningkat kembali dengan persentase jumlah tenaga kerja perempuan sebanyak 78 persen dari 696.746. Tahun 2008, jumlah tenaga kerja perempuan tercatat 73,3 persen dari 748.825.

Pada tahun 2009, walaupun jumlah tenaga kerja migran Indonesia sedikit mengalami penurunan, namun tenaga kerja perempuan mendominasi dengan persentase 83,7 persen dari 632.172. (Laporan BNP2TKI 2009). Sehingga sebenarnya, yang dimaksud “pahlawan devisa” adalah mereka kaum perempuan yang hingga kini terus menjadi korban tindak kekerasan dan pelecehan seksual.

Di Negara-negara tempat kerja buruh migran Indonesia, terdapat 44.438 kasus pelanggaran hak-hak TKI (2009). Di tahun 1998 hingga 2010, berdasar catatan Komnas Perempuan, tercatat 6266 kasus kekerasan seksual yang dialami buruh migran perempuan.

Fenomena tersebut, mau tidak mau—seraya mengaitkannya dengan isu-isu feminisme—menuntut “selesai”nya pembacaan negara berkenaan dengan diferensiasi kelamin secara ontologis, biologis dan sosiologis, sekaligus kejelasan sikap terhadapanya.

Jika di satu sisi buruh migran dinisbahkan menjadi “pahlawan devisa” atau “penyelamat ekonomi negara”, sementara di sisi lain itu hanya berarti eksploitasi yang sarat bias gender (ingat, mayoritas buruh migran yang notabene didominasi kaum perempuan dipekerjakan sebagai PRT dan rawan tindak kekerasan), maka dihadapan perempuan dan ekonomi, Negara berada di persimpangan krusial.

Negara sendiri tidak memiliki kebijakan hukum yang sesuai dengan hak asasi kaum buruh. Misalnya dalam UU No.39 tahun 2009 tentang PPTKILN, itu tidak cukup memberikan perlindungan bagi buruh migrant sejak pra penempatan hingga pemulangan. Kita juga melihat Pemerintah dan DPR yang menggantung pembahasan RUU PRT, dan tidak mengedepankan perlindungan hak-hak buruh dan justru hanya memikirkan bisnis imigrasi.

Kita juga menyayangkan sikap Negara yang tidak selektif terhadap Negara penerima tenaga kerja Indonesia seperti Filiphina yang menolak untuk memberangkatkan buruh migrant ke beberapa Negara yang tidak memiliki UU terhadap perlindungan tenaga kerja asing.. 

Persoalan buruh migran dan perempuan tidak berhenti hanya di situ. Selain faktor tidak berimbangnya jumlah angkatan kerja dan lapangan kerja, besarnya kuantitas buruh migran juga menunjukkan bahwa perempuan belum menerima akses kesehatan, pendidikan dan ketrampilan yang setara dengan kaum laki-laki, sehingga mereka hanya bisa menduduki posisi domestik dalam ketenagakerjaan.

Sayangnya, sampai kini pun itu bukan hal baru. Negara seperti tak memiliki konsep ketenagakerjaan yang kondusif. Negara juga seakan kebingungan mengatasi genders pathologic yang memang sudah berumur tua.

Dan, kita akan melihat, betapa keberlarutan semacam ini adalah bentuk lain dari keberpihakan yang jelas merugikan kaum perempuan. Kita pun akhirnya tahu bahwa negara ini, Negara yang berdiri di atas situs masyarakat patriarki ini—dalam banyak hal terutama soal ketanagakerjaan, ternyata masih sangat patriarki.

Dengan demikian, kita bisa menghadiri kesimpulan bahwa Negara tidak memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan buruh migran yang didominasi oleh perempuan. Kita juga akhirnya berkesimpulan bahwa di Negara ini, stereotype perempuan seperti terus dilanggengkan.

Nissa Rengganis

menulis puisi dan esai | bergiat di komunitas @sastraCirebon | junior lecture Univ Muhammadiyah Cirebon

Intoleransi Negara Terhadap Buruh Migran Perempuan

Viewing all 72 articles
Browse latest View live